BILA aliran sesat LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) kini kian berani, itu karena memang ada dalihnya.
Pertama,
kehadiran KH Ma’ruf Amin Ketua Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama
Indonesia) –saat itu– pada acara Rapat Kerja Nasional LDII yang
berlangsung di Balai Kartini Jakarta, Selasa 6 Maret 2007. Kehadiran
Ma’ruf Amin ketika itu atas nama pribadi. Padahal, MUI telah
mengeluarkan ketetapan bagi seluruh pengurusnya berupa larangan
menghadiri acara-acara yang diselenggarakan LDII seperti Rakernas dan
semacamnya, termasuk kehadiran secara pribadi. Alasannya, karena MUI
tetap menyatakan LDII sebagai aliran sesat, meski mereka secara gencar
telah mengkampanyekan (kebohongan) bahwa LDII sudah berubah.
Larangan
menghadiri acara LDII itu sejalan dengan hasil Munas Ulama 2005. MUI
dalam Musyawarah Nasional VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005,
merekomendasikan bahwa aliran sesat seperti Ahmadiyah, LDII (Lembaga
Dakwah Islam Indonesia) dan sebagainya agar ditindak tegas dan
dibubarkan oleh pemerintah karena sangat meresahkan masyarakat. Bunyi
teks rekomendasi itu sebagai berikut:
“Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah.
MUI
mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai
ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan membubarkannya,
karena sangat meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lembaga Dakwah
Islam Indonesia (LDII),dan sebagainya.
MUI supaya melakukan kajian secara kritis terhadap faham Islam Liberal
dan sejenisnya, yang berdampak terhadap pendangkalan aqidah, dan segera
menetapkan fatwa tentang keberadaan faham tersebut. Kepengurusan MUI
hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat
mendangkalkan aqidah. Mendesak kepada pemerintah untuk mengaktifkan
Bakor PAKEM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat
maupun daerah.” (Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun 2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah).
Anehnya,
setelah itu ada unsure pimpinan MUI yang justru (walau mengaku atas
nama pribadi) menghadiri rakernas LDII, Maret 2007. Padahal beberapa
hari sebelumnya sudah diputuskan oleh para pemimpin MUI: larangan hadir
di acara LDII, sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Munas MUI
tersebut.
Rapat
Kerja Nasional LDII yang berakhir 8 Maret 2007 kala itu, ditutup oleh
Agung Laksono, salah satu Ketua DPP Golkar yang juga menjabat sebagai
Ketua DPR RI.
Kedua,
kehadiran Jusuf Kalla Ketua Umum Golkar dan Wakil Presiden RI di sarang
LDII Kediri, Jawa Timur, pada tanggal 23 Januari 2009 lalu. Kehadiran
Jusuf Kalla saat itu untuk meresmikan masjid dan menara pondok Pesantren
LDII Burengan, Kediri. Menara ponpes yang disebut dengan julukan menara
agung itu, tingginya mencapai 100 meter dengan kubah berlapis emas
murni seberat 90 kilogram.
Ketika
itu, Jusuf Kalla tidak hanya memberikan pembekalan kepada para santri
ponpes Burengan dan meresmikan menara agung, tetapi juga meminta
dukungan LDII dalam pemilu legislatif dan pilpres mendatang. Jusuf
Kalla mengatakan, “Di LDII ini serasa rumah sendiri, untuk itu saya
sebagai Ketua Umum Golkar dan Wapres meminta dukungan bapak-bapak
pimpinan pondok pesantren Burengan dan pengurus DPP LDII dalam pemilu
dan pilpres mendatang…”
Pernyataan
Kalla itu direspon oleh Kyai Haji Kasmudi (Dewan Penasehat DPP LDII),
dengan memanjatkan doa agar Wapres dapat perlindungan Allah dan maju
dalam pemilu legislatif dan pilpres.
Kehadiran petinggi MUI (walau dilarang oleh MUI), petinggi Golkar sekaligus petinggi negara tadi, tentu saja membuat LDII mangkak.
Kehadiran mereka telah meningkatkan moral aktivis LDII untuk melawan
pihak-pihak yang selama ini gencar membuka kedok LDII yang sebenarnya
sebagai sebuah aliran sesat.
Di
tahun 2005 saja, sebelum Ma’ruf Amin, Agung Laksono, dan Jusuf Kalla
memberikan suntikan moral kepada LDII, mereka sudah berani membawa
Bambang Irawan Hafiluddin (BIH) ke proses hukum, hingga BIH dikenai
hukuman pidana penjara 4 bulan, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri
Bekasi No. 445/Pid.B/2006/BN.Bks tanggal 01 Juni 2006. BIH pun
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Pada 24 Agustus 2006,
Pengadilan Tinggi Bandung malah menetapkan hukuman pidana penjara yang
lebih tinggi yaitu 6 bulan.
BIH
dan pengacaranya melanjutkannya dengan Permohonan Kasasi ke Mahkamah
Agung (MA). Pada tanggal 19 Februari 2009 lalu, Pengadilan Negeri Bekasi
memberitahukan lewat surat resmi bahwa Permohonan Kasasi BIH ditolak,
berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung tanggal 28 April 2008.
Bambang
Irawan Hafiluddin memang bukan orang sembarangan. Sosok ini sangat
ditakuti pentolan aliran sesat LDII. Karena, ia selama 23 tahun pernah
menjadi bagian inti dari Islam Jamaah yang setelah dilarang tahun 1971
oleh Jaksa Agung kemudian muncul dengan nama LDII itu. Bahkan, karena
loyalitas dan pengabdian yang begitu tinggi, BIH kemudian bisa menjadi
orang nomor dua di kelompok itu, mendampingi Sang Amir (Nur Hasan
Ubaidah Lubis) dalam urusan apa pun dan ke mana pun dia pergi.
Di tahun 2007, Ustadz
Hajarullah (Sekretaris Forum Komunikasi Masjid dan Musholla Tanjung
Pinang, yang juga pegawai di Badan Amil Zakat Daerah Propinsi Riau)
mengalami peristiwa yang sama dengan Ustadz Bambang Irawan Hafiluddin.
Suatu
pagi di bulan Oktober 2007, Ustadz Hajarullah berceramah tentang aliran
sesat di RRI Riau. Ketika itu, masyarakat sedang diramaikan oleh
kehadiran aliran sesat al Qiyadah Islamiyah. Ustadz Hajarullah pun pada
kesempatan itu menyinggung aliran sesat yang lainnya seperti Ahmadiyah
dan LDII. Ternyata, ceramahnya itu membuat aktivis LDII marah dan
mengadukan Hajarullah ke pengadilan negeri Tanjung Pinang.
Tanpa
dimintai keterangan pendahuluan, oleh kepolisian ia langsung ditetapkan
sebagai tersangka. Ini membuat Hajarullah menjadi heran.
Oleh karena itu, Hajarullah pun melayangkan surat ke Mabes Polri. Tapi
hingga kini tidak ada tanggapan. Maka sejak November 2008, Ustadz
Hajarullah menjalani proses hukum. Sampai tanggal 18 Februari 2009 lalu,
sudah sekitar 12 kali ia menjalani sidang, yang hingga kini belum ada
keputusan.
Sudah
lebih dari 16 tahun Ustadz Hajarullah berdakwah Islam ke berbagai
daerah, termasuk menyampaikan berbagai tipu daya aliran sesat seperti
LDII. Sumber-sumbernya juga jelas. Untuk menyampaikan kesesatan LDII,
Ustadz Hajarullah menggunakan rujukan buku-buku resmi antara lain
sebagaimana diterbitkan LPPI. “…buku terbitan LPPI itu nggak dilarang oleh Kejaksaan Agung, kenapa saya dituntut?” begitu tanya Hajarullah.
Golkar dan LDII
Jauh
sebelum Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar, LDII sudah menjadi
sebuah gerakan aliran sesat yang akrab dengan Golkar. Informasi tentang
hal ini dapat dilihat pada buku karya Hartono Ahmad Jaiz berjudul Aliran dan Paham Sesat di Indonesia khususnya halaman 63-64.
Lembaga
Dakwah Islam Indonesia (LDII) ini adalah nama baru dari sebuah aliran
sesat terbesar di Indonesia, yang selama ini sudah sering berganti nama
karena sering dilarang oleh pemerintah Indonesia.
Lembaga ini didirikan oleh Mendiang Madigol alias Nurhasan Ubaidah Lubis (luar biasa), pada awalnya bernama Darul Hadits (DH),
pada tahun 1951. Karena ajarannya meresahkan masyarakat Jawa Timur,
maka Darul Hadits dilarang oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) Jawa Timur.
Setelah dilarang, Darul Hadits itu berganti nama menjadi Islam Jama’ah. Ketika aliran sesat ini menggunakan nama Islam Jama’ah,
banyak artis-artis terkenal di Ibu Kota (Jakarta) yang masuk ke dalam
ajaran sesat ini, di antaranya Benyamin S, Ida Royani, Keenan Nasution
dan lain-lain. Para artis dan penyanyi itu masuk aliran sesat ini karena
tertarik dengan ajaran tebus dosanya.
Karena ajaran sesatnya meresahkan masyarakat, terutama Jakarta, maka aliran sesat Islam Jama’ah
ini pun secara resmi dilarang di seluruh Indonesia berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung RI. No.Kep-08/D.A./10.1971, tgl 29 Oktober 1971.
Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal
13 Januari 1972, tanggal ini dalam Anggaran Dasar LDII sebagai tanggal
berdirinya LDII. Maka perlu dipertanyakan bila mereka bilang bahwa
mereka tidak ada kaitannya dengan LEMKARI atau nama sebelumnya Islam
Jama’ah dan sebelumnya lagi Darul Hadits.). Pengikut tersebut pada pemilu 1971 mendukung GOLKAR.
Teks Pelarangan
Pelarangan Islam Jama’ah dengan nama apapun dari Jaksa Agung tahun 1971, teksnya sebagai berikut:
Surat
Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-089/D.A./10/1971 tentang: Pelarangan
terhadap Aliran- Aliran Darul Hadits, Djama’ah jang bersifat/ beradjaran
serupa.
Menetapkan:
Pertama:
Melarang aliran Darul Hadits, Djama’ah Qur’an Hadits, Islam Djama’ah,
Jajasan Pendidikan Islam Djama’ah (JPID), Jajasan Pondok Peantren
Nasional (JAPPENAS), dan aliran-aliran lainnya yang mempunyai sifat dan
mempunjai adjaran jang serupa itu di seluruh wilajah Indonesia.
Kedua:
Melarang semua adjaran aliran-aliran tersebut pada bab pertama dalam
keputusan ini jang bertentangan dengan/ menodai adjaran-adjaran Agama.
Ketiga: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan:
Djakarta pada tanggal: 29 Oktober 1971,
Djaksa Agung R.I.
tjap.
Ttd (Soegih Arto).
Karena
sudah dilarang di seluruh Indonesia, maka imam Islam Jama’ah Nurhasan
Ubaidah Lubis mencari taktik baru, yaitu mendekati dan meminta
perlindungan kepada Letjen Ali Murtopo (Wakil Kepala Bakin dan staf
OPSUS (Operasi Khusus Presiden Soeharto) waktu itu. Letjen Ali Murtopo
adalah seorang Jenderal yang dikenal sebagai orang yang berseberangan
dengan misi Islam.
Setelah
mendapat perlindungan dari Letjen Ali Murtopo, Islam Jama’ah menyatakan
diri masuk dalam Golkar (Golongan Karya) organisasi politik milik
pemerintah yang sangat berkuasa sebelum tumbangnya Orde Baru (rezim
Soeharto, yang tumbang 1998).
Di bawah naungan pohon beringin (lambang Golkar) ini Islam Jama’ah semakin berkembang dengan nama Lemkari (Lembaga Karyawan Dakwah Islam). Lemkari ini karena meresahkan masyarakat pula, maka dibekukan
oleh Gubernur Jawa Timur, Soelarso, dengan SK Nomor 618 tahun 1988,
tanggal 24 Desember 1988, dan pembekuan itu mulai berlaku 25 Desember
1988. Namun kemudian pada Musyawarah Besar Lemkari IV di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, November 1990, Lemkari diganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), atas anjuran Mendagri Rudini agar tidak rancu dengan nama Lembaga Karatedo Republik Indonesia.
Kini,
meski Ali Moertopo dan Rudini (tokoh Golkar) sudah meninggal dunia, dan
Nur Hasan Ubaidah Lubis sudah mati mengenaskan, namun kemesraan
hubungan antara aliran sesat LDII dengan Golkar ini dilanjutkan oleh
generasi penerusnya, seperti Agung Laksono dan Jusuf Kalla.
Kedekatan Golkar dengan aliran sesat LDII nampaknya bisa dijadikan salah satu materi black campaign bagi lawan politik Golkar. Tentunya Golkar harus siap menghadapinya. Kemesraan
Golkar dengan aliran sesat LDII nampaknya membuat Ummat Islam yang
istiqomah semakin yakin, bahwa Golkar sama sekali tidak layak didukung. Begitu
juga dengan pencalonan Jusuf Kalla sebagai capres dari Golkar,
nampaknya akan kesandung-sandung oleh kemesraan Jusuf Kalla dengan
aliran sesat LDII. Keadaan itu mesti perlu kewaspadaan.
Rasanya
mustahil bagi tokoh Islam yang istiqomah mau mendampingi Jusuf Kalla
sebagai cawapres pada pilpres mendatang. Karena, Jusuf Kalla sudah
jelas-jelas minta dukungan kepada aliran sesat LDII untuk pemilu
legislatif dan pilpres 2009 mendatang. Kecuali kalau sikapnya berubah
dan dibuktikan dengan tindakan nyata yang menunjukkan tidak ada lagi
kedekatannya dengan aliran sesat, syukur-syukur memberantasnya, demi
menjaga keselamatan aqidah Ummat.
Dari
fakta-fakta di atas, ternyata, bukan kemusyrikan saja yang terbentang
luas di Indonesia ini, tetapi juga kesesatan telah berjangkit dari wong cilik hingga petinggi pemerintahan dan bahkan ulama. (haji/tede)
Foto: Hidayatullah
nahimunkar.com
0 komentar:
Posting Komentar