Oleh : Rina Dewreight
Apa yang terjadi selama ini sebetulnya
bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari
konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK.
Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian
menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang
sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap
akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan
ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar.
Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan
Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun
dibabat, termasuk besan Presiden SBY.
Antasari yang disebut-sebut sebagai
orangnya Megawati (PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang
terkait korupsi langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam —
yang kasusnya masih menggantung pada era sebelum era Antasari, sudah
masuk dalam agenda pemeriksaaanya.
Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri,
dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap
Kejaksaan Agung yang tebang pilih, dimana waktu Hendraman jadi
Jampindsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari
Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP,
dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka
Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.
Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman
makin resah, karena waktu itu banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar
kasus BLBI yang melibatkan banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih
terkatung –katung di Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau
diambilalih KPK. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima kalangan
kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama ini para pengusaha ini adalah
tambang duit dari para aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya
Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah supplier keuangan untuk
Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.
Sikap
Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat
marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus
menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati Pemilu,
dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh orang-orang
dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye,
bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. SBY
terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa Pohan, suka
menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.
Dendam SBY yang membara inilah yang
dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk mendekati SBY, dan
menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari. Tak hanya itu, Jaksa
Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI
[seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan
lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti
James Riyadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota
Lippo, Billy Sindoro terhadap oknum KPPU dalam masalah Lipo-enet/Astro,
dimana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe
(kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK),
Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali
diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan
beberapa konglomerat lainnya].
Para konglomerat hitam itu berjanji akan
membiayai pemilu SBY, namun mereka minta agar kasus BLBI, dan
kasus-kasus lainnya tidak ditangani KPK. Jalur pintas yang mereka tempuh
untuk “menghabisi Antasari “ adalah lewat media. Waktu itu sekitar
bulan Februari- Maret 2008 semua wartawan Kepolisian dan juga Kejaksaan
(sebagian besar adalah wartawan brodex – wartawan yang juga doyan suap)
diajak rapat di Hotel Bellagio Kuningan. Ada dana yang sangat besar
untuk membayar media, di mana tugas media mencari sekecil apapun
kesalahan Antasari. Intinya media harus mengkriminalisasi Antasari,
sehingga ada alasan menggusur Antasari.
Nyatanya, tidak semua wartawan itu
“hitam”, namun ada juga wartawan yang masih putih, sehingga gerakan
mengkriminalisaai Antasari lewat media tidak berhasil.
Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back up
SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut,
justeru malah menjadi-jadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari
yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan
duit negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar
skandal bank itu. Antasari sangat tahu siapa saja operator –operator
Century, dimana Sri Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari
kas negara, kemudian Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra
Sanpurna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan
dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang
digunakan untuk biaya kampanye SBY.
Tentu saja, dana tersebut dijalankan
oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Partai
Demokrat, dan diawasi oleh Eddy Baskoro plus Djoko Sujanto (Menkolhukam)
yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY. Modus penggerogotan duit
Negara ini biar rapi maka harus melibatkan orang bank (agar terkesan
Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskan lah Agus
Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan Gubernur
BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang
terkenal lici dan korup) untuk memimpin Bank Century saat pemerintah
mulai mengalirkan duit 6,7 T ke Bank Century.
Antasari bukan hanya akan membongkar
Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU,
dimana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya
(Bendahara Demokrat). Antasari sudah menjadi bola liar, ia membahayakan
bukan hanya SBY tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat,
serta para innercycle SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan
Agung membungkam Antasari. Melalui para intel akhirnya diketahui
orang-orang dekat Antasari untuk menggunakan menjerat Antasari.
Orang
pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang
cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih
menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus
(Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin
melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT Rajawali Nusantara Indonesia
(induk Rajawali Putra Banjaran). Antasari minta data-data tersebut,
Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan catatan Antasari harus menjerat
seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan merekomendasarkan ke Menteri
BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT RNI, begitu jajaran direksi
PT RNI ditangkap KPK.
Antasari tadinya menyanggupi transaksi
ini, namun data yang diberikan Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk
menyeret direksi RNI, sehingga Antasari belum bisa memenuhi permintaan
Nasrudin. Seorang intel polsi yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya
mengajak Nasrudin untuk bergabung untuk melindas Antasari. Dengan
iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi
uang yang banyak, maka skenario pun disusun, dimana Nasrudin disuruh
mengumpan Rani Yulianti untuk menjebak Antasari.
Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan
Kejaksaan, yang diikuti Kabareskrim, melihat kalau skenario menurunkan
Antasari hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti
Antasari sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan
Nasrudin, dimana dibuat skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar
lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono.
Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin,
Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh
Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp
400 miliar.
Sigit yang pernah menjadi staf ahli di
Depsos ini ternyata menggelapakan dana bantuan tsunami sebesar Rp 400
miliar. Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik
mengaku, sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya
hubungan dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan
Antasari. Di situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit
dengan meminta untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol
seputar tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang
berkait dengan “terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri
ketiga Nasrudin.
Nasrudin yang sudah berbunga-bunga,
tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban,
untuk melengserkan Antasari selama-lamanya dari KPK. Dan akhirnya
disusun skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya.
Kalau mau jujur, eksekutor Nasrudin bukanlah tiga orang yangs sekarang
ditahan polisi, tetapi seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.
Bibit dan Chandra. Lalu
bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir
dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya,
tidak demikian. Bibit dan Chandra, termasuk yang rajin meneruskan
pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan
wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran
Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.
Itulah
sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus
melakukan penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan,
nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp
10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau
180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran
Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu
biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil
jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami,
soalnya polisi kan tahu modus operansi pembobolan duit negara melalui
Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan
KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua
orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan
Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui,
bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka
dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan
wewenang.
Nah,
saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra
bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah,
maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari
dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum
tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan
Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang
memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselsaikan masalahnya Kepolisian
dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkan Anggodo,
karena Angodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus. Persoalan
menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikir rekaman yang ada
kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga
orang-orang dekatnya,
apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan
Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak
meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya
penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik
maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk
menghubungi para pakar hukum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Demikian, sebetulnya bahwa ujung
persoalan adalah SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para
konglomerat hitam, serta innercycle SBY (pengumpul duit untk pemilu
legislative dan presiden). RASANYA ENDING PERSOALAN INI AKAN PANJANG,
KARENA SBY PASTI TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP. Satu catatan, Anggoro dan
Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang paling besar.
Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menangkap Anggodo!
Terkait: KPK, Lawanlah!Sumber: fakta kriminalisasi
0 komentar:
Posting Komentar