Kapal Selam KRI Nanggala 402. TEMPO/Fahmi Ali
Surabaya - Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) M. Firmansyah Arifin mengatakan program transfer of technology (ToT) kapal selam ke Korea Selatan cenderung merugikan kepentingan nasional. Setelah mempelajari klausul kontraknya, Firmansyah melihat program ToT itu lebih menekankan pada learning by seeing, bukan learning by doing.
Akibatnya, tenaga ahli Indonesia yang dikirm ke Korea Selatan sebatas melihat proses pembuatan tanpa terjun langsung mempelajari teknologinya. Skema kerja sama seperti ini, menurut dia, lebih menguntungkan Korea ketimbang Indonesia. "Memang kami harus mencuri teknologinya karena Korea dulu juga mengambil teknologi dari Jerman," kata Firmansyah usai menandatangani nota kesepahaman dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di gedung Rektorat ITS, Jumat, 21 Juni 2013.
Daewoo Shipbuilding Marine Engineering co. Ltd, kata dia, sekedar memberikan gambar kapal selam. Padahal, mempelajari rekayasa teknologi kapal selam tidak cukup dengan melihat gambar. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kini Firmansyah tinggal berharap bisa menempatkan lebih banyak tenaga ahli dari kampus dalam program ToT untuk melakukan kajian ilmiah.
Dirinya yakin Korea Selatan tidak akan memberikan ilmu secara tulus kepada Indonesia. Firman juga mengaku kesal dengan campur tangan orang-orang yang sebetulnya tidak paham dengan teknis pembuatan kapal selam. Padahal, seorang tenaga ahli harus mempunyai jam terbang, intelegensia tinggi, dan kecakapan. "Kalau tidak, ke sana hanya jadi wisatawan saja. Yang dikirim bukan pure dari industri galangan saja, tapi harus disisipi orang perguruan tinggi," kata Firmansyah.
Saat ini ada delapan orang ahli desain yang berangkat ke Korea Selatan. Rencananya yang diberangkatkan sejumlah 206 jiwa dengan rincian 20 tenaga ahli desain dan 186 tenaga ahli bagian produksi. Program ini terkait dengan pemesanan tiga unit kapal selam buatan Korea oleh pemerintah Indonesia.
Rektor ITS Triyogi Yuwono turut prihatin dengan skema kerja sama kapal selam tersebut. Triyogi menjamin tenaga ahli ITS di industri perkapalan dan kapal selam sudah mempunyai pengalaman. Saat ini pihaknya sedang melakukan riset kapal selam jenis Midget 22 Meter di laboratorium hidrodinamika milik BPPT.
Setelah disekolahkan ke Korsel, ia berharap kemampuan intelektual anak bangsa bisa membikin kapal selam secara mandiri. "Kita libatkan lintas disiplin ilmu. Kementerian Pertahanan juga sudah menujuk ITS sebagai tim leader," kata Triyogi.
Ketua Pusat Kerja Sama dan Promosi IPTEKS-ITS, Raja Oloan Saut Gurning, mendesak pemerintah untuk lebih serius memperhatikan usaha transfer teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) demi kepentingan nasional. Sebab, realisasi penguatan alutsista Indonesia dalam dua tahun terakhir, kata Saut, lebih menguntungkan kepentingan asing. "Kita ini banyak dikendalikan asing. Jangan sampai program ToT kapal selam ke Korea justru merugikan Indonesia," ucap Saut.
tempo
Surabaya - Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) M. Firmansyah Arifin mengatakan program transfer of technology (ToT) kapal selam ke Korea Selatan cenderung merugikan kepentingan nasional. Setelah mempelajari klausul kontraknya, Firmansyah melihat program ToT itu lebih menekankan pada learning by seeing, bukan learning by doing.
Akibatnya, tenaga ahli Indonesia yang dikirm ke Korea Selatan sebatas melihat proses pembuatan tanpa terjun langsung mempelajari teknologinya. Skema kerja sama seperti ini, menurut dia, lebih menguntungkan Korea ketimbang Indonesia. "Memang kami harus mencuri teknologinya karena Korea dulu juga mengambil teknologi dari Jerman," kata Firmansyah usai menandatangani nota kesepahaman dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di gedung Rektorat ITS, Jumat, 21 Juni 2013.
Daewoo Shipbuilding Marine Engineering co. Ltd, kata dia, sekedar memberikan gambar kapal selam. Padahal, mempelajari rekayasa teknologi kapal selam tidak cukup dengan melihat gambar. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kini Firmansyah tinggal berharap bisa menempatkan lebih banyak tenaga ahli dari kampus dalam program ToT untuk melakukan kajian ilmiah.
Dirinya yakin Korea Selatan tidak akan memberikan ilmu secara tulus kepada Indonesia. Firman juga mengaku kesal dengan campur tangan orang-orang yang sebetulnya tidak paham dengan teknis pembuatan kapal selam. Padahal, seorang tenaga ahli harus mempunyai jam terbang, intelegensia tinggi, dan kecakapan. "Kalau tidak, ke sana hanya jadi wisatawan saja. Yang dikirim bukan pure dari industri galangan saja, tapi harus disisipi orang perguruan tinggi," kata Firmansyah.
Saat ini ada delapan orang ahli desain yang berangkat ke Korea Selatan. Rencananya yang diberangkatkan sejumlah 206 jiwa dengan rincian 20 tenaga ahli desain dan 186 tenaga ahli bagian produksi. Program ini terkait dengan pemesanan tiga unit kapal selam buatan Korea oleh pemerintah Indonesia.
Rektor ITS Triyogi Yuwono turut prihatin dengan skema kerja sama kapal selam tersebut. Triyogi menjamin tenaga ahli ITS di industri perkapalan dan kapal selam sudah mempunyai pengalaman. Saat ini pihaknya sedang melakukan riset kapal selam jenis Midget 22 Meter di laboratorium hidrodinamika milik BPPT.
Setelah disekolahkan ke Korsel, ia berharap kemampuan intelektual anak bangsa bisa membikin kapal selam secara mandiri. "Kita libatkan lintas disiplin ilmu. Kementerian Pertahanan juga sudah menujuk ITS sebagai tim leader," kata Triyogi.
Ketua Pusat Kerja Sama dan Promosi IPTEKS-ITS, Raja Oloan Saut Gurning, mendesak pemerintah untuk lebih serius memperhatikan usaha transfer teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) demi kepentingan nasional. Sebab, realisasi penguatan alutsista Indonesia dalam dua tahun terakhir, kata Saut, lebih menguntungkan kepentingan asing. "Kita ini banyak dikendalikan asing. Jangan sampai program ToT kapal selam ke Korea justru merugikan Indonesia," ucap Saut.
tempo
0 komentar:
Posting Komentar