Jumat, 14 Februari 2014

NEFOS, Inspirasi untuk Memberdayakan Kembali Politik Luar Negeri RI

ANALISIS
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)



Barang siapa punya imajinasi terhadap masa depan, maka dialah yang akan dimenangkan oleh sejarah. (Bung Karno)

Saya teringat kala menyusun buku perdana saya, “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia”, pada 2010. Buku ini mengkonstruksikan jalinan kisah seputar “Operasi Senyap” CIA dalam membantu penggulingan beberapa kepala negara yang dipandang Washington sebagai musuh. Para kepala negara yang berpotensi bertabrakan kepentingan dengah korporasi global di balik kebijakan strategis luar negeri Paman Sam.



Saat membaca dokumen, maupun sumber sekunder lain, sontak muncul temuan-temuan baru yang tentunya juga perspektif baru memaknai jalinan kisah yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut.

Ternyata, ada beberapa kepala negara yang ikut serta dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, pada April 1955, yang kemudian tergusur dari pentas politik negaranya secara paksa.

U Nu, Perdana Menteri Birma (Myanmar), digulingkan junta militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 1962. Bung Karno, digulingkan melalui kudeta merangkak berliku sejak 1965 yang mencapai kulminasi 1967. Pangeran Norodom Sihanouk digusur lewat kudeta militer Jenderal Nguyen van Thiu pada 1970.

Menariknya lagi, Presiden Aljazair Ben Bella, yang tidak ikut KAA di Bandung, namun pemrakarsa sekaligus tuan rumah KAA di negaranya, digulingkan Kolonel Houari Boumedienne pada 19 Juni 1965. Alhasil, KAA yang sedianya 23 Juni 1965 dibatalkan.

Kwame Nkrumah dari Ghana, digusur militer pada Februari 1966. Pada KAA Bandung, Nkrumah belum ikut. Namun dia salah satu pemrakarsa Konferensi Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 di Beograd bersama Bung Karno, Gamal Abdel Nasser (Mesir), Joseph Broz Tito (Yugoslavia), dan Pandit Jawaharlal Nehru (India).

Kenapa digusur? Apa karena dipandang Washington sebagai komunis yang berkiblat ke Uni Soviet dan China? Bukan. Mereka ini pemrakarsa KAA dan GNB yang bermaksud membangun “Kekuatan Ketiga” di luar skema AS-Inggris maupun Soviet-China.

Mereka berbahaya di mata para pemain tingkat tinggi Washington kala itu, seperti David Rockefeller, Allen Dulles, Augustus C Long (senior CEO Texaco Group), yang mewakili setidaknya 600 korporasi global AS yang menguasai industri-industri berat seperti migas, tambang batubara, emas, dan tentu industri strategis pertahanan.

“Kekuatan Ketiga” macam apa yang begitu menakutkan sehingga para arsitek KAA dan GNB jadi target untuk digulingkan?

Gagasan pembentukan “Kekuatan Ketiga” memang baru dikumandangkan Bung Karno secara konseptual pada pertengahan 1960-an, yang kemudian populer disebut NEFOS atau The New Emerging Forces. Kekuatan ketiga yang bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-China.

NEFOS merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif “Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju melalui perang non militer.

Sayang, harus terhenti sebelum menemukan format pas, menyusul tergusurnya Bung Karno, Ben Bella, U Nu, Nkrumah dan Sihanouk.
Lebih sayang lagi, NEFOS yang harusnya jadi harta karun, seakan dengan sadar dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia sejarah” untuk menghidupkan, apalagi merevitalisasi NEFOS.

Dalam berbagai kesempatan, secara provokatif, saya selalu mengingatkan berbagai kalangan agar siap, jika sewaktu-waktu terjadi “Perang Asia Timur Raya Jilid II”.

Mengapa? Sesuai prediksi Samuel Huntington, antara 2015-2017, persaingan global AS versus China akan makin menajam. “Proxy war” antara kedua kutub --yang berlangsung di Asia Tengah sejak 2001 dan di Timur Tengah seperti tercermin dalam konflik berdarah Suriah -- akan bergeser ke kawasan Asia Tenggara.

Siapkah kita? Sebagaimana kesiapsiagaan Bung Karno dan para perintis kemerdekaan Indonesia saat mengantisipasi pecahnya Perang Asia Timur Raya pada 1941-1945, dan berhasil mewujudkan kemerdekaan 17 Agustus 1945?

Saya khawatir, para elit politik kita tak punya rujukan menjawab isu global yang cukup krusial tersebut. Apalagi, menawarkan diri sebagai pusat solusi dunia seperti saat Bung Karno menggulirkan gagasan penyelenggaraan KAA dan GNB sebagai dasar kemunculan gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”.

Padahal, meski tidak ada “Perang Dingin”, sejak China dan Rusia bersepakat membentuk Aliansi Strategis di bawah payung “Shanghai Cooperation Organization” (SCO), seharusnya kita siap memprakarsai kembali gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”, jika menghayati betul makna NEFOS.

India, Brasil yang kemudian disusul Afsel, tampaknya jauh lebih imajinatif daripada kita. Mereka mampu menyerap inspirasi terbentuknya SCO dan kemudian memprakarsai Blok Ekonomi BRICS dengan mengikutsertakan Rusia dan China sebagai kontra skema kapitalisme global AS-Uni Eropa.

Inilah perang asimetrik yang berhasil dilancarkan India, Brasil dan Afsel memanfaatkan polarisasi kutub AS-Uni Eropa versus China-Rusia.
Kita dan negara-negara ASEAN umumnya, yang menyadari betapa makin tajamnya persaingan AS versus China merebut “Sphere of Influence” di Asia Tenggara, sebenarnya cukup berpeluang melakukan sebuah inisiatif politik di dunia internasional. Untuk membangun sebuah aliansi strategis baru di kawasan Asia Tenggara dan mengimbangi aliansi konservatif AS-Uni Eropa.

Dengan didasari gagasan merevitalisasikan NEFOS dalam kerangka membangun “Kekuatan Ketiga”, model kerjasama ala SCO dan BRICS cukup inspiratif sebagai bahan menyusun “Perang Asimetrik” terhadap kekuatan-kekuatan politik internasional yang sedang menyasar Indonesia dan Asia Tenggara.

Inilah relevansi yang saya katakan, apakah kita siap menyongsong Perang Asia Timur Raya Jilid II dan muncul sebagai pemenang? Seperti kita memanfaatkan momentum Perang Asia Timur Raya untuk kemerdekaan Indonesia.


Politik Luar Negeri RI Perlu Berkiblat pada BRICS


Konstruksi kisah di atas, sejatinya menggambarkan secara nyata betapa imajinatifnya pemerintah Indonesia pada era pemerintahan Bung Karno, dalam menjabarkan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Tidak terjebak ke dalam pusaran konflik global antara AS versus Soviet-Cina, namun pada saat yang sama mampu menawarkan sebuah gagasan alternatif seraya menciptakan sebuah kekuatan alternatif di luar dua kubu yang terlibat dalam perang dingin.

Bagaimana dengan penjabaran politik luar negeri bebas aktif kita saat ini? Ada kesepakatan umum bahwa Indonesia belum memiliki blue print atau cetak biru Kebijakan Luar Negeri yang secara imajinatif menjabarkan makna Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif sesuai dengan perkembangan konstalasi Global Saat ini, dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.

Maka sudad mendesak kiranya agar kementerian luar negeri erperan memadukan seluruh aspirasi para stakeholders kebijakan luar negeri, sehingga pelaksanaan kebijakan politik luar negeri RI dapat selaras dengan pembangunan ekonomi nasional maupun kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.

Dengan demikian, keterpaduan seluruh stakeholders kebijakan luar negeri RI mensyaratkan peran aktif Kementerian Luar Negeri sebagai fron garis depan dari pelaksanaan Multy-Track Diplomacy atau DIPLOMASI TOTAL untuk memperjuangkan Kepentingan Nasional Indonesia.

Dengan demikian, Pelaksanaan dan penjabaran Kebijakan Luar Negeri RI yang bebas dan aktif, bukan semata-mata domain atau garapan kementerian luar negeri, melainkan haruslah terintegrasi secara holistic dengan kementerian terkait lainnya seperti Politik-Keamanan, Pertahanan, Ekonomi, Perdagangan, Perindustrian, dan Intelijen.

Berdasarkan kerangka gagasan perlunya pelaksanaan Kebijakan Luar Negeri RI Bebas dan Aktif yang lebih imajinatif dan sesuai perkembangan situasi global saat ini dan tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan, maka dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara sahabat baik yang bersifat bilateral (hubungan antar dua negara) maupun yang bersifat multilateral, hendaknya didasarkan pada upaya mensinergikan potensi-potensi nasional dari negara-negara mitra dengan kepentingan nasional Indonesia yang bertumpu pada pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional, maupun kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Maka itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mempertimbangkan kerjasama strategis ala BRICS (Brazil, Russia, India, Cina dan Afrika Selatan), sebagai derivasi dari kerjasama strategis Cina-Rusia di bawah payung Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001. Kesepakatan Cina dan Rusia inilah yang pada perkembangannya mengilhami negara-negara berkembang seperti Brazil, India, dan belakangan Afrika Selatan, untuk memanfaatkan momentum kerjasama Cina-Rusia tersebut. Apalagi ketika saat ini pertarungan berskala global antara AS versus Cina semakin menajam di kawasan Asia Pasfik.

Jika kita merujuk pada semangat Dasa Sila Bandung pada Konferensi Asia-Afrika April 1955 maupun Konferensi Gerakan Non Blok pada 1961 di Beograd Yugoslavia, maka sudah seharusnya Indonesia mengambil posisi memihak pada kepentingan strategis negara-negara berkembang sebagaimana sudah dipertunjukkan oleh Brazil, India dan Afrika Selatan dalam kerangka kerjasama BRICS bersama Cina dan Rusia.

Itulah sebabnya sejak diselenggarakannya KTT APEC di Vladivostok 2012 maupun di Bali pada 2013, dan juga KTT G-20, saya mengusulkan agar kerjasama ekonomi Indonesia harus diletakkan dalam perspektif pemberdayaan dan revitalisasi politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Jelasnya, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri dari semua kementerian terkait, sudah saatnya mengeluarkan kebijakan luar negeri yang bertumpu pada kedaulatan dan kemandirian sebagaimana tercermin dalam azas politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.

Terlepas format yang paling pas nantinya apakah dengan membentuk blok ekonomi tersendiri bersama beberapa negara berkembang dengan merujuk model BRICS, atau untuk sementara menyatukan aspirasi bersama negara-negara yang tergabung dalam BRICS, namun kedua opsi tersebut harus didasari gagasan untuk menyelaraskan diri dalam kerangka kerjasama strategis dengan Cina dan Rusia.

Karena kedua negara tersebut dalam berbagai kesempatan secara terbuka membuka diri terhadap berbagai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang seperti yang pernah ditawarkan oleh Rusia untuk membantu negara-negara berkembang dalam bidang alih teknologi sewaktu diselenggarakan Konferensi APEC Business Advisory Council (ABAC) pada 2012 lalu. Sayang sekali pada forum tersebut yang sejatinya merupakan pertemuan para pimpinan KADIN se-Asia Pasifik, Indonesia sama sekali mengabaikan tawaran strategis Rusia tersebut.

Karenanya, khususnya dengan Rusia yang saat ini merupakan ketua G-20 dan sekaligus anggota G-8 yang telah memperakarsai kerjasama strategis dengan negara-negara berkembang di luar kerangka G-8, sudah semestinya Indonesia mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan seksama sebuah kerjasama strategis ala BRICS yang dimotori Rusia.

Selain itu, ada satu pelajaran penting yang bisa diserap dari Rusia, ketika negara beruang merah ini berhasil memadukan kebijakan luar negeri berbasis geopolitik sebagai aset untuk melayani kepetingan strategis Rusia di bidang ekonomi.

Hal terbukti ketika Rusia mempresentasikan The Siberian Russian Far East, program investasi yang didukung oleh pemerintah dalam rangka mendukung Pembangunan Sosial-Ekonomi di kawasan Timur Jauh Rusia.

Gagasan menarik di balik konsepsi The Siberaian Russian Far East tersebut adalah, fakta bahwa Siberia yang selama ini oleh Rusia dijadikan “halaman belakang” dan diabaikan, namun saat ini oleh pemerintah Rusia dijadikan “pintu masuk” menuju kawasan Asia Pasifik.

Adapun pelajaran penting yang bisa diserap para pengambil kebijakan luar negeri adalah, betapa geopolitik sudah seharusnya menjadi bahan untuk menyusun dan merumuskan kepentingan nasional sebagai dasar kebijakan politik luar negeri RI kini dan kelak.

Menguatkanya Pengaruh Cina di Asia Tenggara 

Segi lain dari kemungkinan Indonesia menjalin aliansi strategis di Asia Tenggara merujuk pada model BRICS, adalah dengan memanfaatkan momentum semakin menguatnya pengaruh Cina di kawasan ini.

Keberadaan Kemitraan Lintas Pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP) yang dirancang Amerika Serikat dan blok ekonomi negara-negara maju yang tergabung dalam G-8, semakin nyata dimaksudkan untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.

Apalagi sejak November 2012 lalu, Cina pun melakukan langkah balasan dengan secara resmi mulai membentuk blok baru perdagangan bebas se-Asia. Tentu saja ini sebuah manuver Cina yang tidak bisa dianggap remeh oleh Amerika dan sekutu-sekutu G-8. Sebab jika rencana strategis Cina tersebut terwujud, berarti Cina akan menggalang sebuah kekuatan ekonomi baru Asia yang mencakup 28 persen dari total pertumbuhan ekonomi dunia berdasarkan GDP (Produk Domestik Bruto).

Karena itu, keberadaan dan kiprah RECP harus dibaca sebagai gerakan tandingan Cina terhadap strategi pengepungan AS melalui terbentuknya TPP yang digagas oleh Presiden Barrack Obama. Forum secara potensial memang bisa menjadi kekuatan ekonomi yang cukup strategis karena beranggotakan sepuluh negara anggota ASEAN (termasuk Indonesia). Juga termasuk negara-negara Asia lainnya seperti Cina, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

Blok ekonomi perdagangan bebas se-Asia yang diberi nama Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RECP) tersebut, secara resmi diumumkan pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, jelas punya makna strategis.

Sejak perang dingin antara blok AS dan negara-negara barat versus Uni Soviet dan Cina, Kamboja dan Cina menjalin hubungan yang amat mesra. Bahkan ketika Kepala Negara Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk digulingkan oleh junta militer pimpinan Jenderal Lon Nol pada 1970, Cina yang waktu itu masih berada dalam kekuasaan Mao Zedong, tetap mengakui Sihanouk sebagai kepala negara Kamboja yang sah (Baca Prince Norodom Sihanouk, My War with CIA, 1974).

Pada tataran ini, Indonesia harus membaca trend global ini secara cermat dan penuh perhitungan.

Merujuk pada artikel Ranap Simanjuntak, Bangkitnya Negara Adidaya Asia, dihttp://www.sindoweekly-magz.com/artikel/37/i/15-21-november-2012/highlight/72/bangkitnya-negara-adidaya-asia, terungkap bahwa berdasarkan riset yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Cina bakal menjadi negara adidaya di bidang ekonomi yang baru. OECD memprediksi Negeri Tirai Bambu itu akan berhasil menggusur AS sebagai negara ekonomi terbesar dunia empat tahun mendatang.

Tentu saja ini bukan prediksi sembarangan. Seperti menurut riset OECD, Meski dilanda perlambatan dan tekanan ekonomi beberapa bulan terakhir, Cina ternyata mampu menggeliat kembali. Dalam aktivitas manufaktur sebagai indikator utama ekonomi, Cina mengalami penguatan. Purchasing Managers Index atau PMI pada Oktober lalu tercatat mengalami kenaikan, menjadi 50,2 (dalam skala 100). Sebelumnya, PMI Cina di bawah angka itu. Juli : 49,3, Agustus : 47,6, dan September mengalami penguatan hingga 49,8.

Kedigdayaan Cina sepertinya tidak sekadar di ranah ekonomi. Di bidang pertahanan dan militer pun, negara tirai bambu inipun cukup Berjaya. Cina, pada tahun 2011, menjadi negara dengan anggaran belanja militer terbesar, yakni 90 miliar dolar AS atau naik 4 kali lipat sejak 2000. Ini adalah anggaran militer terbesar kedua setelah AS yang mencapai 600 miliar dolar AS.

Postur angkatan bersenjatanya pun semakin agresif. Sejak 2011, Cina telah melancarkan diplomasi militer dengan mengirimkan perwira tinggi dan pejabat senior kementerian pertahanannya untuk mengunjungi 14 negara tetangga seperti Vietnam, Myanmar, Nepal, Singapura dan Filipina.

Bukan itu saja. Cina bahkan mengembakan bentuk kerjasama militernya dengan ikut serta dalam delapan latihan militer bersama dengan negara lain, termasuk dengan Pakistan dan Indonesia. Khusus dengan Indonesia, Cina bahkan telah memberikan program pelatihan kepada pasukan khusus Indonesia. Bahkan memberikan juga pelatihan kepada pasukan penerjun Belarusia.

Dalam program pengembangan persenjataan nuklir pun, Cina semakin meningkatkan terus kemampuannya. Termasuk dalam pengembangan rudal antar benua yang berbasis di darat, rudal yang diluncurkan dari kapal selam, dan bahkan bom nuklir berbasis pesawat udara.

Karena itu terbentuknya RECP tak pelak lagi merupakan isyarat bahwa Cina akan muncul sebagai kekuatan hegemoni baru di kawasan Asia Pasifik. Sekaligus sebagai TPP tandingan rancangan AS yang tidak memasukkan Cina dalam keanggotaan TPP. 

Maka tak heran jika kebangkitan Cina sebagai adidaya baru di Asia Pasifik sangat mengkhwatirkan Amerika, sehingga menjadi salah satu isu yang dimunculkan Obama ketika kampanye presiden untuk kedua kalinya, ketika menghadapi Mitt Romney November tahun lalu.

Jadi jelas lah sudah, dalam skema TPP memang bukan sekadar membendung Cina, melainkan untuk mengisolasi Cina dari negara-negara Asia Pasifik. Dengan demikian, skema TPP AS memang dirancang dengan motif-motif politis.

Alhasil, dalam menanggapi adanya RECP yang digagas Cina pun, Obama membaca manuver Cina ini sebagai manuver politik.

Obama mengungkapkan bahwa pembentukan RECP dilatarbelakangi oleh rencana negosiasi dagang trilateral antara China, Jepang, dan Korsel. Belakangan, negara-negara ASEAN merasa berkepentingan untuk turut dilibatkan. Namun, Obama juga menjelaskan motif pembentukan RECP ini tak lepas dari TPP yang digagas AS. 

"Posisi Cina atas integrasi ekonomi di Asia Timur ini didorong oleh TPP," kata Obama dalam kuliah umum di Jenewa. "Di masa lalu, Cina hanya ingin ASEAN plus enam, melainkan hanya ingin format plus tiga. Jepang memilih ASEAN plus enam. Cina lalu memilih apapun tanpa ada AS," kata Obama.

Lepas dari semakin pesatnya kemajuan Cina di kawasan Asia Pasifik, Indonesia harus mencermati secara seksama dan penuh perhatian adanya persekutuan strategis yang sudah terjalin antara Cina dan Rusia melalui Payung kerjasama Shanghai Cooperation Organization (SCO) sejak 2001.

Kerjasama strategis Cina-Rusia tersebut pada perkembangannya telah mengispirasi terbentuknya blok ekonomi lintas kawasan yang terdiri dari Brazil, Rusia, India dan Cina (BRIC) yang dimaksudkan sebagai blok ekonomi baru yang berada di luar skema G-20 yang sejatinya telah dijadikan alat bagi G-8 untuk mengikutsertakan negara-negara berkembang dalam krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika dan Eropa Barat.

Karena itu, adanya dua blok ekonomi yang bertumpu pada gagasan untuk membentuk kemitraan lintas pasifik baik dari Amerika maupun Cina, Indonesia sudah saatnya harus mengambil posisi untuk mendukung Skema yang sehaluan dengan aliansi strategis Cina dan Rusia dalam kerangka SCO. Seraya pada saat yang sama, senafas dan sehaluan dengan skema BRIC sebagai kontra skema terhadap G-20 yang berada dalam kendali skema G-8.

Atas dasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka kerjasama strategis dengan Rusia maupun Cina dengan merujuk pada skema SCO, BRIC dan RECP, hendaknya menjadi dasar pertimbangan penting untuk penyusunan kebijakan strategis politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Sehingga Indonesia akan mempunyai posisi tawar kuat dalam menghadapi konstalasi politik global saat ini.



0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *