Rabu, 12 Maret 2014

FPDA. Warisan Kolonialisme?

Negara anggota FPDA di sekeliling Indonesia











“A man may die, nations may rise and fall, but an idea lives on.” – John F. Kennedy



FPDA (Five Power Defence Arrangements) dibentuk dimasa perang dingin dalam konteks penarikan militer oleh Inggris dari Asia. Muncul untuk menenangkan Singapura dan Malaysia yang khawatir akan tindakan Indonesia setelah ditinggal pergi militer Inggris. Pada tahun 1967, akibat upaya penghematan pengeluaran, pemerintah Inggris memutuskan kebijakan untuk menarik militer mereka berbagai lokasi di luar negeri.

Keputusan ini mengejutkan Malaysia dan Singapura yang saat itu dua-duanya bergantung secara militer pada Inggris. Tanpa perlindungan kehadiran militer Inggris, mereka akan rentan terancam dianeksasi oleh Indonesia yang sebelumnya di bawah Presiden Soekarno telah melakukan konfrontasi dan mengkampanyekan “Ganyang Malaysia”. Presiden Soekarno melihat pembentukan Federasi Malaysia adalah neo-colonial rancangan Inggris.

Pemerintahan baru di Inggris kemudian memutuskan untuk mempertahankan beberapa keterlibatan militer di wilayah ini dengan menggantikan AMDA (Anglo-Malayan Defence Agreement) tahun 1957 dengan “kerangka politik konsultatif longgar”. Sebagai Realisasinya para menteri pertahanan dari Australia, Malaysia, Selandia Baru, Singapura dan Inggris pembentukan FPDA di London pada tanggal 16 April 1971.

Malaysia Timur (Sabah dan Serawak) tidak termasuk dalam lingkup perjanjian karena Australia ingin mencegah terlibat dalam sengketa teritorial dengan Filipina dan Indonesia atas pulau Borneo Pilipina/Sulu mengklaim sebagian Sabah sebagai wilayah mereka yang disewa oleh Malaysia). Pengecualian Malaysia Timur dari ‘perlindungan’ FPDA ini tetap relevan sampai sekarang. Artinya bahwa FPDA tidak harus atau bisa ikut campur jika terjadi bentrokan militer antara Malaysia dan China atas Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Saat ini China sendiri mengklaim wilayah hingga lepas pantai Sabah dan Serawak.

Kejatuhan Sukarno pada tahun 1965 dan pembentukan ASEAN bulan Agustus 1967 melambangkan akhir periode Konfrontasi, hubungan regional antar anggota terus ditandai oleh ketidakpercayaan dan ketegangan. Meskipun telah dilakukan rekonsiliasi politik antara Kuala Lumpur dan Jakarta, Malaysia tetap takut terhadap potensi ancaman Indonesia. Demikian juga Singapura, setelah mengalami serangan selama periode konfrontasi tidak mempercayai pemerintahan Indonesia.

Aneksasi Indonesia atas Timor Timur pada bulan Desember 1975 adalah masalah lain yang memperumit hubungan Indonesia – Singapura. Negara kota itu, pada tahun 1975-an, masih menghkawatirkan niat regional dan potensi ambisi hegemonik Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia praktis adalah rujukan dari alasan pembentukan FPDA selama 1970-an dan 1980-an. Target dan ‘musuh bersama’.

Indonesia sendiri melihat FPDA sebagai “Asuransi terhadap kemungkinan kembalinya Indonesia pada pendekatan lama” (Konfrontasi). Presiden Soeharto sangat berkeberatan dengan kemungkinan ekspansi keanggotaan FPDA dengan memasukkan Brunei. Sampai akhir tahun 1990, mantan menteri luar negeri Indonesia, Mochtar Kusmaatmadja, menyerukan FPDA dibubarkan dan diganti dengan hubungan pertahanan trilateral antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Kemudian Indonesia secara bertahap melunak, mantan Menteri Pertahanan Jenderal Benny Murdani pada tahun 1994 menyatakan bahwa “jika FPDA membuat anggotanya merasa aman, maka keamanan regional meningkat dan Indonesia pun juga senang”.

Saat ini FPDA dipandang sebagai sisa Perang Dingin yang sudah kadaluarsa dan tidak relevan dengan masalah keamanan saat ini dan masa depan negara-negara regional. Namun tampaknya masih relevan bagi Indonesia. Walau Indonesia dibawah pemerintahan SBY mampu menjaga stabilitas domestik dan memainkan peran yang konstruktif di lingkungan regional dan internasional, namun negara-negara bentukan Ingris tersebut masih saja menjadi tetangga yang kurang menyenangkan. Intervensi pasukan keamanan ke Timor Leste pada tahun 1999 yang dipimpin Australia menyertakan pasukan dari seluruh negara-negara anggota FPDA.

Inggris sendiri tidak pernah memberikan kontribusi kekuatan atau menunjukkan antusiasme diplomatik terhadap FPDA. Strategic Defence and Security Review (SDSR) pada 2010 semakin memperlemah kemampuan Inggris untuk memproyeksikan ekspedisi kekuatan militernya. Selama ini Australia lah yang paling berperan aktif dalam kegiatan FPDA. Walau demikian negara-negara anggota lain FPDA tetap mempertahankan keterlibatan Inggris dalam FPDA. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Inggris punya nilai signifikan bagi FPDA terhadap regional kawasan karena bobot nilai strategis diplomasinya. Inggris masih tetap hadir pada FPDA Defence Chiefs’ Conference (FDCC) di Singapura pada 8 November 2014 lalu.

Pertemuan Menteri Pertahanan Anggota FPDA Photo: mindef.gov.sg

FPDA jelas adalah upaya untuk mengurung dan mengancam Indonesia agar tidak bangkit. Kebijakan warisan negara kolonial dengan menggunakan negara-negara bentukan mereka.

Indonesia berjuang memerdekakan diri dari kolonialisme bangsa asing, sementara FPDA terdiri dari negara kolonial dan negara bentukan penjajah kolonial. Indonesia bisa menjaga sikap dan kenyamanan negara-negara tersebut seperti yang selalu diharapkan mereka, atau kembali ke sikap menentang kolonialisme baru seperti yang dulu dilakukan Soekarno. Dengan penolakan membubarkan FPDA, saling percaya akan sangat sulit tercapai. Setelah upaya rekonsiliasi pada masa Suharto dan upaya SBY untuk berperan aktif mempererat hubungan ternyata berbalik pahit, saat ini semua tergantung pada sikap mereka sendiri terhadap kita. Dan sikap mereka sudah jelas



0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *