Oleh: Alwi Alatas
SEBAGAIMANA pernah dijelaskan
dalam beberapa rtikel sebelumnya, kaum Muslimin mengalami kekalahan yang
menyakitkan pada masa Perang Salib I (1096-1099). Salah satu penyebab
utamanya adalah karena perpecahan di dalam tubuh kaum Muslimin.
Perpecahan itu terjadi di banyak lini. Para ulama berpecah belah
disebabkan perbedaan mazhab, sebagaimana diterangkan secara detail dalam
buku Misteri Masa Kelam Umat Islam. Para penguasa pun berpecah belah
hebat. Para emir berusaha mempertahankan kekuasaan masing-masing dan
merasa enggan untuk menyatukan langkah dalam membangun peradaban dan
melayani masyarakat. Dalam situasi seperti inilah Pasukan Salib datang
ke Suriah dan Palestina dan menaklukkan sebagian wilayah itu, termasuk
al-Quds.
Setelah Pasukan Salib berhasil menguasai al-Quds
dan beberapa wilayah Muslim lainnya, para pemimpin Muslim di wilayah itu
masih tetap bermusuhan satu sama lain. Bahkan ada di antara mereka yang
bekerja sama dengan orang-orang Frank (Pasukan Salib) dalam menghadapi
saudara Muslimnya. Sementara pada saat yang sama, orang-orang Frank
cenderung bersatu, terutama saat berhadapan dengan kekuatan Islam. Hal
ini menyebabkan orang-orang Frank itu berhasil menguasai sebagian
wilayah Suriah-Palestina untuk waktu yang cukup lama.
Angin Perubahan
Keadaan ini mulai berubah pada saat terjadinya
Perang Salib II (1147-1148). Pada masa ini, kaum Muslimin mulai berusaha
menyatukan langkah mereka dan bekerja sama, sementara kekuatan salib
justru mulai mengalami perpecahan. Rupanya para ulama dan pemimpin Islam
di wilayah ini pada akhirnya mampu merespons tantangan yang mereka
hadapi dengan baik. Dan ketika kaum Muslimin mulai menyatukan shaf,
Allah menjadikan keadaan musuh justru berkebalikan dari itu. Situasi ini
kemudian membawa kaum Muslimin pada kemenangan-kemenangan yang besar
dalam menghadapi kekuatan salib, sehingga mereka berhasil membebaskan
al-Quds 40 tahun kemudian.
Perang Salib II dipicu oleh jatuhnya kota Edessa
(al-Ruha) ke tangan kaum Muslimin pada tahun 1144. Ketika itu yang
memimpin penaklukkan Edessa adalah Imaduddin Zanki (1085-1146), pemimpin
terkuat di Suriah ketika itu. Imaduddin Zanki mati terbunuh 2 tahun
kemudian. Posisinya di Suriah digantikan oleh anaknya, Nuruddin Mahmud
bin Zanki (1118-1174), seorang sultan yang soleh yang nantinya memberi
perubahan besar di Suriah dan sekitarnya.
Jatuhnya Edessa menimbulkan kemarahan Eropa. Paus
kemudian menyerukan dilakukannya Perang Salib II. Maka digalanglah
kekuatan dan dihimpunlah pasukan dalam jumlah besar untuk berangkat ke
Suriah dalam rangka membalas kekalahan di Edessa. Pasukan Salib II lebih
banyak dan lebih hebat dibandingkan pasukan pada Perang Salib I. Pada
Perang Salib I tidak ada raja yang menyertainya, hanya ada pangeran.
Namun pada Perang Salib II ada dua raja yang memimpin pasukan, yaitu
Raja Conrad III (1093-1152) dari Jerman dan Raja Louis VII (1120-1180)
dari Perancis. Walaupun pasukan yang berangkat ini lebih dahsyat, tapi
situasi yang mereka hadapi tidak lagi sama sebagaimana sebelumnya.
Dalam Perang Salib II ini Pasukan Salib mengalami
beberapa perpecahan. Perpecahan itu tidak dalam bentuk konflik terbuka,
tetapi dampaknya sangat serius.
Berikut ini perpecahan-perpecahan yang terjadi di kubu Pasukan Salib.
1. Perpecahan orang-orang Frank dengan Byzantium
Pada Perang Salib I, orang-orang Frank (Eropa
Barat) bekerja sama dengan Byzantium (Eropa Timur) dalam serangan ke
wilayah Muslim. Di antara kedua pihak ini memang menyimpan perasaan
saling tidak suka antara lain karena perbedaan keyakinan di antara
mereka, yang satu Katholik dan yang lainnya Kristen Orthodoks. Namun,
mereka berusaha menjaga hubungan demi menghadapi musuh yang sama, yaitu
kaum Muslimin. Pada Perang Salib I, pihak Byzantium-lah yang mengundang
orang-orang Frank untuk membantu mereka masuk ke Asia Minor (kini Turki)
dan Suriah. Namun, pada akhirnya ketegangan di antara kedua belah pihak
ini semakin sulit untuk didamaikan, terutama pada masa-masa selepas
Perang Salib I.
Pada Perang Salib II, Kaisar Byzantium sama sekali
tidak mengharapkan datangnya gelombang Pasukan Salib yang baru. Ia
belajar dari pengalaman kaisar sebelumnya bahwa kehadiran orang-orang
Frank di Suriah-Palestina hanya menimbulkan masalah baru bagi mereka.
Byzantium memang membantu menyeberangkan
orang-orang Frank pada Perang Salib II dari Konstantinopel ke wilayah
Asia Minor. Namun, belakangan diduga Kaisar Byzantium secara diam-diam
telah memberikan informasi kepada orang-orang Turki Saljuk di Asia Minor
tentang perjalanan Pasukan Salib ini. Keadaan berikutnya memang sangat
tidak menguntungkan bagi Pasukan Salib. Mereka menjadi bulan-bulanan
pasukan Turki Saljuk, sehingga pada saat mereka berhasil tiba di Antioch
(Antakya) yang terletak di perbatasan Suriah dan Asia Minor, jumlah
pasukan mereka sudah menyusut jauh.
2. Perpecahan orang-orang Frank di Utara (Antioch-Edessa) dan Selatan (Palestina)
Pada masa Perang Salib II ini juga mulai terjadi
perpecahan di antara para pemimpin Frank yang berada di Utara dan
Selatan Kerajaan Latin, kerajaan yang mereka tubuhkan setelah
penaklukkan al-Quds. Para pemimpin Frank di Utara, dalam hal ini Antioch
dan sisa-sisa wilayah Edessa, ingin agar Pasukan Salib yang baru datang
ke Suriah membantu mereka merebut kembali Edessa dan menghadapi pasukan
Nuruddin Zanki yang merupakan kekuatan Muslim paling menonjol di
Suriah. Namun, para pemimpin Frank di Selatan justru berkeinginan untuk
menaklukkan Damaskus. Itulah sebabnya, ketika akhirnya sikap terakhir
inilah yang diambil, para pemimpin Frank di Utara tidak mau ikut
berpartisipasi.*/bersambung
Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib
Red: Cholis Akbar
Hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar