oleh: Alwi Alatas REPUBLIK Mali di Afrika Barat meraih kemerdekaannya
dari Prancis pada tahun 1960. Negeri dengan jumlah penduduk mendekati 15
juta orang itu mayoritasnya beragama Islam. Mata pencaharian utama
penduduknya adalah dalam bidang pertanian dan perikanan. Garam dan emas
merupakan sumber daya alam utama yang ada di negeri itu. Sebenarnya Mali
merupakan negeri penghasil emas ketiga terbesar di Afrika. Tetapi
separuh penduduknya hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 Dollar
Amerika per hari (https://en.wikipedia.org/wiki/Mali). Memiliki kekayaan
tambang tetapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan, Mali menampilkan ironi
yang kurang lebih sama dengan Indonesia dan beberapa negeri Muslim
lainnya.
Terjadinya perpecahan di negeri itu baru-baru ini serta masuknya
intervensi asing (Prancis) sejak Januari 2013 tentu membuat keadaan
masyarakat Mali menjadi semakin susah. Boleh jadi adanya sumber daya
alam, serta upaya mempertahankan hegemoni atas bekas daerah jajahan,
merupakan alasan sebenarnya dari kedatangan pasukan Prancis ke negara
itu, walaupun yang dijadikan pretext oleh Prancis untuk melakukan invasi
adalah munculnya kelompok Islam militan di sana. Kendati menuai protes
dari kelompok kiri di Prancis dan dianggap memiliki tujuan tidak jelas,
dewan nasional Prancis memutuskan untuk memperpanjang keberadaan militer
Prancis di Mali
(http://www.globalresearch.ca/mali-under-french-military-occupation/5334200).
Keadaannya sungguh sangat berbeda pada tujuh abad sebelumnya. Seperti
yang ditulis oleh A.J.H. Goodwin (1957: 110): “Kerajaan Ghana-Melle
(Mali, pen.) pada abad keempat belas jauh lebih kuat, jauh lebih kaya,
jauh lebih terorganisir, dan bahkan jauh lebih melek huruf dibandingkan
kekuasaan Kristen yang mana pun di Eropa.” Berbicara tentang Mali,
Islam, dan emas pada abad pertengahan, ada hal menarik dari sejarah
negeri itu yang akan kita bahas berikut ini.
Dinasti Lion King
Pada abad ke-13 dan 14 di wilayah ini pernah berdiri Kerajaan Mali.
Informasi tentang kerajaan ini disebutkan dalam cerita lisan setempat
yang biasanya bercampur dengan legenda. Selain itu, ia bisa ditemukan
juga dalam kisah perjalanan Ibnu Batutah serta beberapa kitab sejarah,
terutama yang ditulis oleh Ibnu Khaldun dan Shihabuddin al-Umari.
Kerajaan Mali didirikan oleh Sun-Djata Keita (1217-1255) atau
Sundiata. Ia berasal dari suku Mandinka (Malinke) yang banyak menetap di
Mali dan wilayah sekitarnya. Dalam Tarikh Ibn Khaldun, jilid 6 (2000:
266-7) tokoh ini disebut dengan nama yang sedikit berbeda, yaitu Mari-Djata, yang bermakna lion king. Dalam bahasa setempat, Mari bermakna ‘raja’ dan Djata bermakna ‘singa’ (al-asad).
Tokoh ini berhasil menyatukan bangsanya yang sempat dikuasai oleh
Kerajaan Soso (Susu). Ia mengalahkan dan menaklukkan kerajaan itu serta
mendirikan Kerajaan Mali. Ia memerintah selama 25 tahun dan memakai
gelar Mansa (Raja diraja) di depan namanya, begitu juga dengan raja-raja berikutnya.
Islam sudah mulai berkembang di wilayah ini pada abad ke-11 dan 12.
Al-Bakri, seorang sejarawan yang hidup pada abad ke-11 menyebutkan bahwa
pada masa itu sudah ada satu kerajaan kecil bernama Malal yang
penguasanya masuk Islam setelah kedatangan seorang Muslim ke wilayah itu
saat terjadi kekeringan. Muslim tadi melakukan shalat Istisqa (shalat minta hujan) dan dengan izin Allah wilayah itu selamat dari kekeringan.
Ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Soso sebenarnya merupakan
sebuah reaksi atas perkembangan Islam di wilayah itu. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, Sun-Djata berhasil menumbangkan kerajaan
itu dan mendirikan kerajaan Mali. Kerajaan baru yang didirikan oleh
Sun-Djata ini terus berekspansi dan berkembang hingga mencakup wilayah
Senegal, Niger, dan Gambia. Ketika kerajaan ini berdiri, Islam sedang
tumbuh dengan cukup pesat di Afrika Barat. Aktifitas perdagangan lintas
Sahara yang didominasi para pedagang Muslim pada gilirannya
menghubungkan Mali dengan negeri-negeri Muslim di Afrika Utara. Hal ini
lantas mendorong para penguasa Mali menjalankan kebijakan yang lebih
memihak pada Islam (Bosworth, 1991: 257-8).
N. Levtzion dalam artikelnya, “The Thirteenth- and Forteenth- Century Kings of Mali” (1963),
telah menyusun daftar raja-raja Mali berikut perkiraan masa
pemerintahan masing-masing dengan merujuk pada Tarikh Ibn Khaldun dan
beberapa sumber lainnya. Raja Muslim pertama di wilayah Mali yang
disebut oleh Ibnu Khaldun adalah Barmandana. Sayangnya tidak ada
informasi yang cukup untuk mengetahui apakah tokoh ini sama dengan raja
Malal yang disebutkan oleh al-Bakri. Selain itu juga tidak diketahui apa
hubungan antara Barmandana dengan raja berikutnya yang lebih dikenal
luas sebagai pendiri Kerajaan Mali, yaitu Sun-Djata (Mari-Djata) yang memerintah selama 25 tahun. Mansa (raja) berikutnya adalah Uli yang merupakan anak Sun-Djata. Masa pemerintahannya beririsan dengan masa pemerintahan Baybars (1260-1277) di Mesir. Dua raja berikutnya adalah anak-anak Sun-Djata lainnya,
yaitu Wati dan Khalifa. Yang terakhir ini digambarkan sebagai penguasa
yang kejam sehingga akhirnya dijatuhkan dari kekuasaannya. Ia digantikan
oleh keponakannya, Abu Bakar, yang merupakan cucu Sun-Djata dari
seorang anak perempuannya. Abu Bakar lalu digantikan oleh seorang
bernama Sakura yang memerintah pada pergantian abad ke-13. Sakura adalah
seorang budak yang dibebaskan (freed slave) yang rupaya muncul sebagai orang kuat di istana. Tapi ia mati dibunuh dan kemudian digantikan oleh Qu yang merupakan anak Uli dan cucu dari Sun-Djata. Setelah itu Qu digantikan oleh anaknya Muhammad yang memerintah hingga sekitar tahun 1312. Sun-Djata mempunyai seorang saudara lelaki, Abu Bakar, yang
membantunya dalam mendirikan kerajaan Mali. Pemerintahan Mali setelah
kepemimpinan Mansa Muhammad (w. 1312) berpindah kepada
keturunan Abu Bakar ini. Yang pertama menjadi raja dari jalur ini adalah
Mansa Musa (1312-1337) yang merupakan cucu Abu Bakar. Ia adalah raja
terbesar yang pernah memerintah Kerajaan Mali. Kemudian ia digantikan
oleh anaknya yang bernama Magha, yang menurut lisan setempat bermakna
Muhammad. Setelah memerintah selama empat tahun, kepemimpinan diteruskan
oleh Sulaiman, saudara Musa, yang memerintah selama 24 tahun. Selepas
itu masih ada beberapa raja Mali lainnya, tetapi keadaannya sudah banyak
menurun, karena sering terjadi intrik dan konflik di dalam istana.
Kerajaan Mali masih bertahan hingga abad ke-15 dan 16, tetapi hanya
dalam bentuk kerajaan lokal, bukan sebagai imperium sebagaimana
sebelumnya. Ia semakin tenggelam dengan masuknya penjajah Eropa pada
masa-masa setelahnya.*/bersambung Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib"
0 komentar:
Posting Komentar