Menyusup ke negeri Singa, meledakkan bom di MacDonald House
KRI Ahmad Yani 351 di Selat Singapura |
Tentara Nasional Indonesia menyematkan nama Usman dan Harun pada KRI baru mereka yang dibeli dari Inggris. Nama itu ditetapkan lewat diskusi panjang dan disahkan 12 Desember 2012.
Usman bin H Ali Hasan dan Harun bin Said bukan orang sembarangan. Keduanya anggota Korps Komando Operasi (kini disebut Marinir) berpangkat Sersan Dua dan Kopral yang menjalankan misi rahasia, menyusup ke Singapura, meledakkan bom di jantung negeri itu. Saat itu Indonesia tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia, dan Singapura masih menjadi bagian negeri jiran.
Usman dan Harun yang kemudian dihukum mati menjadi pahlawan bagi Indonesia. Namun bagi negeri Singa, keduanya tidak lebih dari teroris. Begitu mendengar keduanya akan dijadikan nama salah satu dari tiga kapal fregat Indonesia, Singapura langsung meradang. Lewat jalur resmi, Kementerian Luar Negeri Singapura melayangkan protes kepada Menlu Marty Natalegawa. Pemberian nama itu membuka kembali kenangan pahit di masa lampau.
Singapura meminta Indonesia mempertimbangkan kembali keputusannya menggunakan nama Usman-Harun untuk kapal sepanjang 90 meter yang dijadwalkan tiba di perairan Indonesia pada Juni 2014 nanti.
Usman, kelahiran Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, masih berumur 22 tahun, saat aksi heroiknya meledakkan bom di kandang musuh terjadi. Bahkan Harun yang lahir di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur baru menginjak usia 18 tahun ketika itu.
Harun baru tiga bulan menjadi anggota KKO ketika Presiden RI pertama, Soekarno, menggelorakan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964. Dwikora digaungkan menyusul pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia pada 17 September 1963 setelah sehari sebelumnya Inggris membentuk negara federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei dan Sabah. Soekarno menganggap ini sebagai bentuk neokolonialisme dan dikhawatirkan mengganggu jalannya revolusi Indonesia.
Bersama Usman dan Gani bin Arup, 10 Maret 1965 Harun mendapat tugas menyusup ke jantung Singapura yang hanya terpisah Selat Malaka. Mereka berhasil menembus pertahanan negeri itu. Target mereka adalah MacDonald House di Jalan Orchad Road. Gedung berlantai 10 ini merupakan kantor Hongkong and Shanghai Bank. Saat itu, hujan turun sangat deras dengan petir yang sambar menyambar. Mereka lalu meletakkan bom di dekat lift.
Tujuh menit setelah layanan bank tutup, tepatnya pukul 15.07 waktu setempat, bom meledak, merobek pintu lift, dan menghancurkan salah satu dinding di gedung itu. Reruntuhan tembok menimpa 150 karyawan bank yang sedang menyelasaikan tugasnya. Meja, kursi dan mesin ketik terpental hingga ke jalan. Harian Singapura, The Strait Timesmelaporkan, tiga orang meninggal dunia dan 33 lainnya terluka. Puluhan mobil rusak berat. Kaca-kaca jendela gedung sepanjang Orchad Road dengan radius 100 meter hancur. Sebagian karyawan yang selamat awalnya penduga ledakan bom dan kilatan yang menyilaukan mata itu petir yang menghujam gedung.
Usman dan Harun berhasil melarikan diri. Negeri Singa pun gempar. Pasukan khusus kemudian disebar untuk mencari otak peledakan. Pasukan khusus Australia ikut membantu. Usman dan Harun tertangkap saat boat yang dikemudikannya kehabisan bahan bakar.
Pengadilan Singapura yang menyidangkan kasus ini kemudian menjatuhkan hukuman mati untuk keduanya. Hukuman itu dilaksanakan tiga tahun setelah peristiwa peledakan bom di penjara Changi pada 17 Oktober 1968. Harun berusia 21 tahun saat tali yang menjulur dari tiang gantungan melingkar di lehernya, dan Usman berumur 25 tahun. Sebelum eksekusi dilaksanakan, permintaan mereka: dimandikan di tanah air dengan air Indonesia.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Harun dan Usman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968. SK ini dikeluarkan bersamaan dengan pelaksanaan hukuman mati tersebut. Keduanya lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar