Jakarta | Komisi I
DPR menyayangkan kerja sama pembuatan pesawat tempur Korean
Fighter-Xperiment (KF-X)/Indonesian Fighter-Xperiment (IF-X) yang tidak
berjalan mulus. Seharusnya, dalam menjalin hubungan kerja sama
pemerintah teliti mempelajari nota kesepahaman (MoU).
"Saya dapat masukan ada beberapa istilah dalam berbagai perjanjian
jual beli atau kerja sama pengembangan alutsista yang multitafsir," ujar anggota Komisi I DPR Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Selasa (5/3).
Seharusnya, lanjut dia, pemerintah tidak akan rugi jika Kementerian
Pertahanan melakukan riset sebelum menjalin kerja sama. Apalagi sebagai
negara penganut politik luar negeri bebas aktif, Indonesia tidak
selayaknya didikte negara lain.
Ke depannya, Susaningtyas menyarankan agar Kemenhan memakai ahli bahasa
untuk dilibatkan dalam pembuatan MoU. Itu penting untuk mencegah adanya
multitafsir dalam kerja sama pembuatan pesawat tempur generasi 4,5 itu.
Terlebih, di dalam Undang-Undang Industri Pertahanan telah disepakati tidak boleh ada 'kondisionalitas politik' ketika pemerintah memilih kebijakan impor alutsista.
"Seyogyanya, kita harus egois di mana kepentingan Indonesia harus kita dapatkan dari MoU tersebut," jelas dia.
0 komentar:
Posting Komentar