Oleh: DR. Adian Husaini
DALAM beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku.
Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya
Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar
dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari
Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta.
Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini
berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN
Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam
mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan
apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini
yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka,
tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis
untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions)
sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari
konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA
tersebut.
Penulis buku ini sudah meyakini
kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada
karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim
klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja,
kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam
pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam
diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini
dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi
argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain.
Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang
mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran
pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing
pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak
keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim
kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan,
bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut.
Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua
jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan
jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang
meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran
semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran
paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri
(bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai
kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran
pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita
tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua
agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara
melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya
lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan
berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya
mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang
berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang
“pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan
agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum
pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar
sendiri dengan pendapatnya, tetapi menyalahkan umat beragama yang
meyakini kebenaran agamanya sendiri!
Kedua, dalam buku ini
tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya?
Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam
arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih
baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang
Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin
kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau
berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN
Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah
ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di
Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran,
bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya
manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan
nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah
Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen,
1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah
pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi
persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul
Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung
Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan
448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika,
Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam?
Di era modern ini, masih banyak dijumpai
agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya
bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan.
Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen
Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa?
Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh
para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah
satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana
kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga
mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya
sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut.
Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan
Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme
agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama
lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka
popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia ke
arah-Ku, semuanya Kuterima. Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti
itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006,
terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini,
Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa
Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua
agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka
mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke
arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut
“Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga,
Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan
tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan
hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan
kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak
Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi
Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila
Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan:
“Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila
ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya
agama yang dapat memelihara dan mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai
modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham
pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari
legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan
Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada
persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau
meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan
Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam
Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab,
disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul
Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang
sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu,
mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan
Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah
Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha
menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah
dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan
kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk
melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Mereka mengatakan
bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang
lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi
pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini
lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak
mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan
bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman
yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh
iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan
dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan
kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga:
Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si
penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat
seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara
seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen
Ushuluddin.
Keempat, penulis buku
menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana
ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal.
2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut
dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron
di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi
Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah
menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of
Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar
referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin
Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan
posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may
we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the
Trancendentalists have been right or have been deviated by their own
belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan
kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik
cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut
ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan
Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan
bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’
(religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran
transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama
sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).
Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C.
Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak
pengikut di Indonesia.
Untuk mendukung klaimnya, biasanya
‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya
kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu
menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi
menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, Ka‘bah tempat
orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku
adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;
demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri
(self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu
Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same
summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books,
1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan
maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu
Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin
asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31,
“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah,
maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi
Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus
dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
(al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang
dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan bukan ‘la religion
du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu. Menurut Ibn Arabi,
semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam
konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. “Nabi
Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami
kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak
akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza
‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu
fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep
mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam
tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang
mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin
Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang
penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori
Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil
kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis
disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal
penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa
kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak
sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat
Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh
Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk
memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun
tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World;
Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century,
Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon
sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that
esoteric practice was what really mattered and that its esoteric
framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi
melukis. Ia juga tak segan-segan membuat lukisan telanjang, sebagai
simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148).
Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda
Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang
menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang
sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol
untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the
unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.”
(Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia
menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan
suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan
vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).
Penutup. Sebenarnya,
teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya,
semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori
fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke
laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai
airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan
beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang
mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama
yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi.
Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan.
Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin
sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis.
Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran
itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa
agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa
Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap
Iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut
paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek
eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah –
pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu
aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan
menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya
masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diutus? Yang bisa
dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan
aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam
tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris
direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan
merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan
konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan,
Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran,
misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan
Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya,
yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan
tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan
agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu
(revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama
Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan
Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Karena itulah, saya membaca syahadat: Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Jadi, Tuhan saya jelas, yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan
asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim,
saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya
bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan
saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya,
meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain
mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual
understanding.
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan
Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless).
KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang
Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa
Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di
Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam.*/ Depok,
20 Oktober 2011
Sumber: hidayatullah.com
Gerakan Yahudi, Terbongkarnya Kedok Yahudi di Jakarta
Teka-teki itu terjawab. Selama ini
menjadi sangat sulit memahami. Kemana arah gerakan yang mengusung
ideologi plurasime? Para penganut ideologi pluralisme itu mula-mula
hanya menginginkan kebebasan beragama. Mereka menuntut setiap paham
agama itu, diberi ruang hidup secara bebas di Indonesia. Tidak ada
restriksi atau pembatasan. Termasuk adanya undang-undang yang mengatur
keberadaan agama di Indonesia.
Gerakan yang mendapatkan dukungan media
massa, lembaga swadaya internsional, dan pemerintahan Barat, berusaha
dengan sangat gigih, memperjuangkan paham pluralisme di Indonesia.
Mereka menggunakan segala kemampuan dan kekuataan yang mereka miliki,
agar paham pluralisme itu eksis, dan kemudian mereduksi agama mayoritas
di Indoensia, yaitu Islam.
Makanya, mereka berlindung dibalik baju
pemerintah yang sekarang sedang getol-getolnya memerangi "terorisme".
Mereka - penganut pluralisme sekarang meniupkan dengan sangat keras
tentang ancaman radikalisme, ekstrimisme, dan fundamentalisme. Kaum
pluralis dengan menggunakan media yang ada, terus melakukan kampanye
tentang ide-ide kotor, yang ingin mereduksi secara total nilai-nilai
Islam dalam kehidupan kaum Muslimin.
Tetapi, sekarang semua menjadi sangat
terang benderang, para pengusung gerakan pluralisme itu, hanyalah alat,
dan menjadi "brokers", yang tujuannya hanyalah untuk melegalkan agama
dan komunitas Yahudi di Indonesia. Mereka menginginkan agar pemerintah
melegalkan agama dan komunitas Yahudi Indonesia. Di mana selama ini,
aktivitas mereka tertutup, dan selalu menggunakan berbagai "cover" untuk
menutupi gerakan mereka.
Gerakan Yahudi, Terbongkarnya Kedok Yahudi di Jakarta
Gerakan pluralisme yang menginginkan
pemerintah memberikan pengakuan dan hak yang sama setiap agama, hanyalah
"prolog" (mukaddimah) dari gerakan yang lebih besar, yang tujuannya
ingin menjadikan agama Yahudi dan para pengikutnya di Indonesia menjadi
legal. Dengan semakin mencairnya sikap umat Islam terhadap berbagai
ideologi dan agama, maka itu menjadi peluang akan legalisasi terhadap
agama Yahudi dan para pendukungnya di Indonesia.
Gerakan pluralisme itu, sudah menyusup
ke seluruh Ormas Islam, dan ada tokohnya, yang memperjuangkan secara
permanen dan terus menerus paham dan ideologi pluralisme itu. Gerakan
ini mendapatkan angin saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dan
dilanjutkan oleh "Wahid Institute", yang terus menggelorakan tentang
pluralisme di Indonesia.
Esensi gerakan pluralisme itu, bukan hanya ingin mereduksi agama Islam, tetapi gerakan ini juga ingin menjadikan agama Yahudi sebagai "centrum" (pusat) dari semua agama, karena pandangan agama Yahudi, yang sangat rasis. Dengan menelanjangi agama Islam, dan dengan ide-ide semua agama sama, kebebasan agama, dan toleransi agama, maka dititik inilah masuk agama Yahudi dan para pengikutnya, dan kemudian melakukan kooptasi terhadap semua agama dan ideologi yang ada di Indonesia.
Esensi gerakan pluralisme itu, bukan hanya ingin mereduksi agama Islam, tetapi gerakan ini juga ingin menjadikan agama Yahudi sebagai "centrum" (pusat) dari semua agama, karena pandangan agama Yahudi, yang sangat rasis. Dengan menelanjangi agama Islam, dan dengan ide-ide semua agama sama, kebebasan agama, dan toleransi agama, maka dititik inilah masuk agama Yahudi dan para pengikutnya, dan kemudian melakukan kooptasi terhadap semua agama dan ideologi yang ada di Indonesia.
Sekarang langkah-langkah deterent dan
deideologisasi, khususnya terhadap paham agama, khususnya Islam, karena
Islam akan menjadi batu sandungan bagi masuknya agama Yahudi di
Indonesia. Mereka menggunakan 'trik-trik' politik, yang akan membuat
kalangan pemeluk Islam kehilangan sikap "sajaah" (keberanian) untuk
menyatakan dirinya sebagai Muslim. "Isyhadu bi anna muslimin" mereka
lucuti dengan sederet isu yang sengaja mereka semburkan. Teroris,
ekstrimis, fundamentalis, dan radikal. Dengan gempuran yang mereka
lakukan melalui media itu, mentalistas umat Islam menjadi ciut nyalinya,
dan kemudian mereka melenggang untuk mendirikan agama Yahudi di
Indonesia.
Sabtu depan, 14 Mei, 2011, rencananya
akan berlangsung peringatan ulang tahun atau peringatan hari kemerdekaan
Israel di Jakarta. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana ini bisa
berlangsung di negeri yang mayoritas penduduk beragama Islam?
Sementara itu, Israel berdiri menjadi
sebuah negara, tak lain melalui pengusiran, penghancuran, dan pembunuhan
terhadap rakyat Palestina. Berulang kali terjadi pembantaian terhadap
rakyat Palestina. Jumlahnya tidak sedikit. Mereka yang tewas dibunuh
milisi Yahudi di Palestina. Jutaan orang yang diusir ke negara-negara
lain, dan tanah kelahiran mereka dirampas. Kemudian, diduduki dan
dijadikan negara yang bernama Israel. Terakhir umat Islam disuguhi
Israel sebuah episode tragedi kemanusiaan yang tiada taranya, yaitu
berlangsungya genoside terhadap muslim Palestina Gaza, saat invasi
militer Israel terhadap Gaza, bulan Januari 2010.
Hari-hari ini, rakyat Mesir, Jordania,
Suriah, dan Arab lainnya, sedang mempersiapkan peringatan "Nakba",
peringatan yang memperingati pengusiran dan pembantaian yang dilakukan
Yahudi di Palestina. Israel juga secara sistematis berusaha
menghancurkan Masjidil Aqsha, dan menggali torowongan di bawahnya.
Kejahatan yang dilakukan Israel tidak akan pernah berhenti terhadap
rakyat Palestina. Kejahatan yang tiada taranya, yang hanya bisa disamai
oleh Hitler.
Selama ini, kaum Muslimin hanya menjadi
objek dan tertuduh sebagai teroris, fundamentalis, ekstrimis, pelaku
kekerasan. Tetapi, kenyataannya umat Islam yang selalu menjadi korban
kaum rasis Yahudi-Israel. Mereka terus berkampanye bahwa umat Islam itu
selalu diidentikkan dengan pelaku kekerasan. Tetapi, sejatinya sejak
dahulu kala, sampai yang paling banyak membunuh ummat Islam adalah kaum
Yahudi dan Nasrani.
Mengapa umat Islam berdiam diri membiarkan dirinya terus menerus didzalimi secara kejam oleh mereka yang selalu meneriakkan pluralisme, kebebasan beragama, toleransi agama, inklusivisme. Mereka itu sejatinya gerakan yang haus darah umat Islam. Di mana saja mereka menumpahkan darah umat Islam dengan menggunakan tangan orang lain. Tak layak orang beradab memperingati kemerdekaan Israel. Wallahu'alam.
Mengapa umat Islam berdiam diri membiarkan dirinya terus menerus didzalimi secara kejam oleh mereka yang selalu meneriakkan pluralisme, kebebasan beragama, toleransi agama, inklusivisme. Mereka itu sejatinya gerakan yang haus darah umat Islam. Di mana saja mereka menumpahkan darah umat Islam dengan menggunakan tangan orang lain. Tak layak orang beradab memperingati kemerdekaan Israel. Wallahu'alam.
akhirzaman.info
0 komentar:
Posting Komentar