Saya akan memulai pembahasan ini dengan hadits-hadits Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam yang ada hubungannya dengan kemasyarakatan.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam
pernah bersabda: “Akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul
di masjid untuk shalat berjamaah tetapi tidak seorang pun di antara
mereka yang mukmin”
Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam
juga bersabda, “Nanti akan datang suatu zaman di mana seorang muazin
melantunkan azan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi di
antara mereka tidak ada yang mukmin” (Kanzul ‘Ummal, hadits ke-3110)
Sabda-sabda Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam yang
mulia di atas jelas menarik bagi kita. Akan muncul pertanyaan di benak
kita, “Mengapa shalat yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai tanda
seorang mukmin?” Dan mengapa orang yang melakukan shalat di masjid itu
tidak dihitung sebagai mukmin?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat
dijawab dengan menunjukkan tanda-tanda seorang mukmin. Shalat bukanlah
tanda bahwa seseorang yang melakukannya dapat disebut sebagai mukmin.
Tetapi ia merupakan tanda bahwa yang melakukannya adalah seorang Muslim.
Oleh karena itu, tanda seorang mukmin ialah shalat ditambah dengan
syarat yang lainnya.
Saya ingin menyebutkan karakteristik seorang mukmin yang di muat dalam Shahih Bukhari. Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam yang mulia bersabda:
Pertama, barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia menghormati tetangganya.
Kedua, barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia senang menyambungkan tali persaudaraan.
Ketiga, barangsiapa yang
beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbicara
yang benar, dan kalu tidak mampu berbicara dengan benar, maka lebih baik
dia berdiam diri.
Keempat, Tidak dianggap sebagai
orang beriman apabila seseorang tidur dalam keaadaan kenyang, sementara
para tetangganya kelaparan disampingnya.
Dengan hanya mengambil empat macam
hadits diatas, anda melihat bahwa tanda seorang mukmin itu terlihat dari
taggung jawabnya di tengah-tengah masyarakatnya. Kalau dia menghormati
tetangganya, menyambung tali persaudaraan, dan berbicara dengan benar,
atau memiliki keprihatinan di antara penderitan yang dirasakan oleh
saudaranya di sekitarnya, maka barulah dia boleh dikatakan sebagai
seorang mukmin.
Jadi, dengan kata lain, Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam
menyebutkan bahwa nanti akan datang suatu zaman, orang-orang berkumpul
di masjid untuk mendirikan shalat tetapi tidak akur dengan tetangganya,
yaitu tidak menyambungkan tali persaudaraan diantara kaum muslim. Mereka
menyebarkan fitnah dan tuduhan yang tidak layak terhadap kaum muslim,
mereka melaksanakan shalat tetapi tetapi tidak sanggup mengatakan
kalimat yang benar, mereka melaksanakan shalat tetapi acuh tak acuh
dengan penderitaan yang dirasakan oleh sesamanya. Kata Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam, mereka adalah orang-orang yang melaksanakan shalat, tetapi sebetulnya tidak dihitung sebagai orang yang melakukan shalat.
Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam
juga pernah bersabda, “Ada dua orang umatku yang melakukan shalat, yang
rukuk dan sujudnya sama akan tetapi nilai shalat kedua orang itu
jauhnya antara langit dan bumi.”
Dalam hadits Qudsi, juga disebutkan mengenai orang-orang yang diterima shalatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Sesunggunya Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
hanya akan menerima shalat dari orang yang dengan shalatnya itu dia
merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong dengan mahkluk-Ku yang
lain. Dia tidak mengulagi maksiat kepada-Ku. Dia menyayangi orang-orang
miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup shalat orang itu
dengan kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat untuk menjaganya. Dan
kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankannya. Perumpamaan dia
dengan mahkluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di
surga.”
Dalam hadits Qudsi tersebut disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang diterima shalatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah:
Pertama, dia datang untuk
melaksanakan shalat dengan merendahkan diri kepada-Nya. Dalam Al-Qur’an,
keadaan seperti itu disebut khusyu’. dan shalat yang khusyu’ adalah
salah satu tanda orang yang mukmin. Yang disebut dengan shalat yang
khusyu’ itu bukan shalat yang tidak ingat apa pun. Karena orang yang
tidak ingat apa pun itu disebut pingsan.
Diriwiyatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi
Thalib karamallahu wajhah, apabila hendak melakukan shalat, tubuhnya
gemetar dan wajahnya pucat pasi. Sehingga ketika ada orang yang bertanya
kepadanya, “Mengapa anda ya Amirul Mukminin?” Sayyidina Ali menjawab,
“Engkau tidak tahu bahwa sebentar lagi aku kan menghadapi waktu amanah.”
kemudian Sayyidina Ali membacakan ayat Al-Qur’an,
“Sesungguhnya kami telah menawarkan
amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya. Dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim
dan amat bodoh” (QS al-Ahzab 33:72).
Kemudian Sayyidina Ali melanjutkan
ucapannya, “shalat adalah suatau amanat Allah yang pernah ditawarkan
kepada langit, bumi, dan bukit untuk memikulnya. Tetapi mereka
menolaknya dan hanya manusia yang sanggup memikulnya. Memikul amanat
berarti mengabdi kepada-Nya.”
Kedua, Dia tidak sombong dengan
makhluk-Ku yang lain. Jadi, tanda orang yang diterima shalatnya ialah
tidak takabur (sombong). Takabur, menurut Imam Ghazali, ialah sifat
orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain. Kemudian ia
memandang enteng orang lain itu. Boleh jadi ia bersikap demikian
dikarenakan ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak buah, atau
kecantikannya.
Kalau anda merasa besar karena memiliki
hal-hal itu dan memandang enteng orang lain, maka anda sudah takabur.
Dan shalat anda tidak diterima. Bahkan dalam hadits lain disebutkan
bahwa Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Takkan masuk surga seseorang yang didalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu saja.”
Biasanya masyarakat akan menjadi rusak
kalau di tengah-tengah masyarakat itu ada orang yang takabur. Kemudian
takabur itu ditampakkan untuk memperoleh perlakuan yang istimewa. Dan
anehnya, seringkali sifat takabur ini menghinggapi para aktivis masjid
atau aktivis kegiatan keagamaan. Mereka biasanya takabur dengan ilmunya
dan menganggap dirinya paling benar.
Ketiga, tanda orang yang diterima shalatnya ialah orang yag tidak mengulangi maksiatnya kepda Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi yang mulia bersabda: “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya
dari kejelekan dan kemungkaran, maka shalatnya hanya akan menjauhkan
dirinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala” dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallalau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Nanti, pada hari kiamat, ada orang yang membawa shalatnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian shalatnya diterima dan dilipat-lipat seperti dilipat-lipatnya
pakaian pakaian yang kotor dan usang. Lalu shalat itu dibantingkan
kewajahnya.”
Allah tidak menerima shalat itu karena
shalatnya tidak dapat mencegah perbuatan maksiatnya setelah ia melakukan
maksiat tersebut. Bukankah Al-Qur’an telah mengatakan: “… Sesungguhnya
shalat mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar….” (QS
al-Ankabut 29:45)
Keempat, orang yang diterima
shalatnya ialah orang yang menyayangi orang-orang miskin. Kalau di
terjemahkan dengan kalimat modern, hal ini berarti orang yang mempunyai
solidaritas sosial. Dia bukan hanya melakukan rukuk dan sujud saja,
tetapi dia juga memikirkan penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan
sebagian waktu dan rezekinya untuk membahagiakan orang lain.
Kalau dalam shalat anda, anda sudah
merasakan kebesaraan Allah dan tidak takabur, dan kalau anda sudah tidak
mengulangi perbuatan maksiat sesudah shalat, dan kalau anda sudah
mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejahteraan orang lain, maka
Allah akan melindungi anda dengan jubah kebesaran-Nya. Allah akan
memberikan kepada anda kemuliaaan dengan kemuliaan-Nya, dan akan
membungkus anda dengan busana kebesaran-Nya. Di samping itu, Allah akan
menyuruh para malaikat untuk menjaga anda, dan para malaikat itu akan
berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
“kamilah pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan di dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu akan memperoleh apa
yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang telah
dijanjikan oleh Allah kepadamu.” (QS Fushshilat 41:31)
Sumber: MajelisVirtual.com
0 komentar:
Posting Komentar