Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute |
Strategi Global Amerika dan sekut-sekutunya dari Uni Eropa, semakin gencar menggulirkan isu pelanggaran HAM di Papua. Beberapa modus operandi yang mengarah pada pembentukan opini perlunya diadakan referendum di Papua, bisa ditelisik melalui beberapa peristiwa terkini.
|
Pertama, memanfaatkan serangkaian kejadian penyerangan terhadap aparat TNI sehingga ketika muncul dalam berbagai liputan berita di beberapa media internasional, terkesan situasi di Papua dalam keadaan tidak aman. Dan Pemerintah RI tidak mampu mengendalikan keadaan. Sebagai misal, terjadinya terjadinya penyerangan terhadap sebuah mobil ambulance yang berakiat tewasnya dua orang perawat.
Kedua, membenturkan antara aparat TNI/Polri versus OPM, sehingga memprovokasi aparat TNI/Polri untuk membantai warga sipil karena semuanya dianggap OPM. Sehingga menciptakan momentum bagi OPM dan para pendukung kemerdekaan Papua di Amerika maupun Uni Eropa, untuk menyerang pemerintah Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM di Papua.
Maka ketika itu, isu referendum akan digulirkan melalui berbagai forum internasional, sebagai langkah awal untuk menggiring opini dunia internasional menuju Papua Merdeka.
Nilai Strategis Papua Secara Geopolitik
Sebuah studi yang dilakukan oleh George A Maley, dalam bukunya bertajuk Grasberg yang setebal 384 halaman itu, terungkap bahwa tambang emas di Papua itu, depositnya terbesar di dunia. Sedangkan bijih tambangnya menempati urutan ketiga di dunia.
Seperti diutarakan oleh Maley pada 1995, di area ini cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dolar AS dan masih akan menguntungkan untuk 45 tahun ke depan. Bahkan menurut Maley, kota Tembagapura yang seharusnya lebih tepat disebut Emaspura, mengandung cadangan emas dan tembaganya terserak di permukaan tanah, sehingga PT Freeport Indonesia tinggal menggali dan mengambilnya. Tak heran jika untuk area yang begitu tinggi nilai strategisnya Papua secara geopolitik, ternyata biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia tersebut, termasuk yang termurah di dunia. Benar-benar menyedihkan.
Begitulah. Manuver AS dan Uni Eropa, termasuk di dalamnya Australia dan Belanda, untuk mendorong diselenggarakannya Referendum sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, sebenarnya mempertaruhkan kepentingan-kepentingan bisnis para konglomerat-konglomerat AS yang menanam investasinya di Freeport.
Sepertinya Freeport sama sekali tidak mau kehilangan tambang emasnya itu, sehingga kemudian membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine) atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika.
Maka tak usah heran, begitu muncul skenario penembakan di Papua, seperti kasus penembakan 8 aparat TNI/Polri beberapa bulan yang lalu, maupun kasus penembakan mobil Ambulance, baru-baru ini, sejatinya sedang terjadi pengapalan dan pengiman hasil-hasil tambang dan emas di Kota Tembangapura.
Oleh sebab itu, jangan memandang kasus penembakan seperti insiden pada 31 Juli 2013 di Puncak Senyum Papua sebagai kasus taktis, tetapi merupakan pelaksanaan strategi untuk menginternasionalisasikan masalah Papua yang diharapkan muaranya akan berujung dengan diselenggarakannya referendum seperti kasus Timor Timor.
|
0 komentar:
Posting Komentar