F-22 dan F-35 terbang bersama (photo: airforceworld.com) |
Pada awalnya, program F-35 Lighting II (F-35 Joint Strike Fighter/F-35 JSF) diproyeksikan sebagai pesawat masa depan generasi lima multi guna dengan biaya terjangkau. Dimunculkan sebagai pegganti F-22 Raptor yang berbiaya tinggi dan tidak bisa dieksport keluar AS. Negara peserta program ini kebanyakan adalah Sekutu dekat AS dan anggota NATO.
Dalam perjalanannya program JSF mengalami berbagai penundaan dan kendala. Pembengkakan biaya 68% lebih besar dari perkiraan awal hingga nyaris melewati $400 milyar USD, menjadikan proyek F-35 JSF adalah program persenjataan konvensional termahal sepanjang sejarah. Saat ini harga satu unit F-35 JSF mencapai $180-200 juta dollar AS. Harga per unit yang terus naik membuat banyak negara peserta menghitung ulang jumlah unit yang akan mereka beli. Bahkan militer AS sendiri juga telah menurunkan jumlah pesanan unit F-35. Pembatalan 409 unit oleh Pentagon turut membuat harga per unit semakin tinggi. Tidak mengherankan kemudian AS gencar menawarkan pesawat ini pada negara-negara lain yang bukan termasuk peserta program JSF ini sebagai upaya menurunkan harga jual per unit.
Selain harga jual yang tinggi, biaya operasional pesawat inipun tidak murah. Estimasi pendahuluan Pentagon untuk kongres menyebutkan angka $1 triliun USD untuk biaya perawatan dan operasional armada F-35 AS selama 2 dekade ke depan. IHS Jane’s memperkirakan biaya operasional F-35 bisa mencapai $21.000-$31.000 USD per jam.
Estimasi biaya operasional per jam
Yang lebih getir dari pesawat tempur yang super mahal adalah jika kualitasnya tidak sesuai dengan harga yang dikeluarkan. Setelah hampir 10 tahun sejak penerbangan pertama, saat ini F-35 masih saja terus menuai kontroversi akibat berbagai kendala teknis.
Pada tahun 2011, team pemeriksa Pentagon masih menemukan 13 area yang perlu diperbaiki. Kendala teknis semacam itu juga masih ditemukan di tahun 2013. Tapi kemudian ada kesan Pentagon yang mengalah dan terpaksa menerima kondisi F-35 apa adanya. Daripada menuntut Lockheed untuk mengejar kemampuan yang disyaratkan, justru akhirnya Pentagon (untuk kesekian kalinya) menurunkan standard persyaratan kemampuan minimal bagi semua varian F-35 JSF. Rencana awal penghematan biaya operasional dan logistik pada satu pesawat multi fungsi pun gagal. Rencana awalnya akan ada 80% kesamaan antara semua type F35 yang ternyata kemudian hanya tercapai 20-40% saja. Artinya tujuan penyederhanaan logistik gagal, dan nyaris sama saja seperti halnya mempunyai 3 pesawat berbeda.
Kemampuan F-35 dalam berakselerasi juga diturunkan. Untuk berakselerasi dari kecepatan 0.8 Mach mencapai kecepatan 1.2 Mach melambat (waktunya bertambah) 8 detik untuk F-35 type A, 16 detik untuk type B dan 43 detik untuk type C. Bahkan dalam beberapa laporan menyatakan bahwa F-35 belum teruji dalam test fight mampu melewati kecepatan 1 Mach dari kecepatan maksimal 1.6 Mach yang direncanakan. Kemampuan lain yang dikurangi adalah kemampuan berbelok. Kemampuan F-35A menahan beban G-force dalam berbelok telah berkurang dari maksimal 5.3 G menjadi hanya 4.6 G. F-35B dari 5 menjadi 4.5 G, sementara G load force F-35 Angkatan Laut berkurang dari 5.1 G menjadi 5 G.
Kemampuan menahan G-force di kisaran 5G adalah level kemampuan pesawat tua sekelas F-4 atau F-5. Seorang pilot AS mengatakan bahwa kondisi penurunan performa airframe akan membuat kemampuan maneuver F-35 jauh berkurang dan inferior terhadap pesawat tempur lain dalam dogfight, bahkan jika dihadapkan dengan pesawat generasi 4 yang ada sekarang. Sebagai perbandingan, “lawan” F-35 di dunia nyata adalah pesawat tempur keluarga Sukhoi yang punya kemampuan hingga 9 G. Kondisi ini juga membuatnya semakin rentan terhadap rudal darat ke udara (SAM) jarak jauh ketika terbang tinggi, dan rentan terhadap SAM jarak pendek atau bahkan artillery anti pesawat ketika terbang rendah.
Isu miring lain datang dari sebuah lembaga non pemerintah yang mengatakan bahwa kemampuan software untuk pesawat F-35 juga masih mengalami berbagai kendala mendasar. Bahkan kemampuan software F-35B dikatakan hanya mencapai 50% dari kemampuan awal yang diharapkan. Singkatnya, semua varian F-35 tidak akan secepat, selincah dan sepintar yang dijanjikan.
Situasi pilihan terbatas ini disebabkan karena keengganan AS untuk berbagi teknologi siluman F-22 Raptor pada pihak lain, walau pada sekutu dekatnya sekalipun. Bukan karena ketidakmampuan Lockheed sendiri atau rekanan industri mereka yang lainnya. Mereka dituntut membuat pesawat dengan kemampuan siluman seperti F-22, tapi tidak boleh menggunakan teknologi siluman yang ada pada F-22 Raptor, jelas bukan perkara mudah dan menimbulkan banyak kendala teknis. Dalam semua aspek utama pesawat tempur generasi lima, F-35 JSF berada dibawah kemampuan F-22 Raptor. Dan menambahkan situasi suram pesawat gen 5 blok barat ini, ternyata bahkan F-22 Raptor sekalipun pun (yang sangat dilindungi teknologinya) bukanlah pesawat yang tak terkalahkan.
Dalam latihan tempur Red Flag di Alaska, pilot pesawat tempur EF Typhoon Angkatan Udara Jerman secara secara terpisah mengklaim mereka berhasil ‘menghajar’ F-22 Raptor USAF, klaim yang tidak bisa dikonfirmasi dan tidak diakui oleh pihak AS. Namun kemudian tersebar berita hangat ketika muncul photo kill marking berupa silhouette F-22 di body pesawat Boeing EA-18 Growler yang juga milik AS. Hal ini tidak sengaja muncul, marking itu menarik perhatian wartawan yang kemudian mendapat penjelasan dari seorang pilot yang menyertainya bahwa pesawat yang sedang terparkir itu adalah pesawat F-18G yang telah berhasil menembak jatuh F-22 Raptor dalam simulasi tempur.
Kill Marking F-22 Raptor pada badan pesawat F-18 Growler
Tersiar kabar juga bahwa F-18 termasuk dalam daftar panjang ‘korban’ EF Typhoon. Kill markings-nya sempat terekam kamera tertempel di badan pesawat EF Typhoon milik AU Italia. Walau ada yang menganggap kill marking yang diperoleh dari simulasi tidaklah ‘sah’, namun sebagian berpendapat bahwa simulasi perang yang hanya menggantikan rudal dengan tembakan simulasi sangat realistis dan layak dijadikan catatan perolehan prestasi suatu jenis pesawat di masa damai.
Kill Markings F-18, F-16 dan Mirage 2000 pada badan pesawat EF Typhoon Angkatan Udara Italia
Pada tahun 2009, dilakukan latihan bersama ATLC (The Advanced Tactical Leadership Course) yang dilangsungkan di Al Dhafra, Uni Emirat Arab. Latihan ini diikuti pesawat Typhoon Angkatan udara Inggris, Rafale Angkatan udara Perancis dan F-22 Raptor angkatan udara Amerika Serikat. Diantara latihan yang dilangsungkan adalah pertarungan WVR (Within Visual Range) alias dogfight. Setelah acara tersebut selesai pilot Amerika menyatakan bahwa F-22 Raptor mereka tidak terkalahkan selama latihan. Tapi mungkin karena Rafale sendiri sedang dalam upaya pemasaran produk, salah satu rekaman video selama latihan ‘tidak sengaja’ bocor dan diketahui umum. Video itu pertama muncul dari blog berbahasa Perancis (portail-aviation). Dalam pendahuluannya tertulis “Setelah mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan, dan meyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak melanggar rahasia dagang atau rahasia pertahanan, saya hadirkan video untuk Anda yang saya terima secara anonim”. Dalam video tersebut pesawat Rafale Angkatan Udara Perancis terlihat mampu bertarung dengan F-22 AS, dan setidaknya berhasil menembak 1 diantara 6 pesawat F-22 Raptor.
Tujuan awal pembangunan F-35 adalah penghematan biaya bagi kebutuhan
pesawat masa depan dengan kemampuan siluman. Faktor penghematan jelas
telah gagal total, sementara mengenai kemampuan siluman F-35 JSF ada di
level Low Observable, masih inferior terhadap kemampuan pendahulunya
F-22 Raptor yang punya level Very Low Observable.
Jika program F-35 JSF ini mempunyai begitu banyak masalah, lalu
mengapa masih saja diteruskan? Program JF-35 ini memang berhasil lolos
melewati hearing senat AS pada Juni 2013. Tapi nara sumber yang ikut
sesi hearing tersebut memberikan gambaran alasan dan situasinya: “Tidak ada alternatif pengganti F-35″.
Program JSF ini telah menghabiskan dana yang begitu besar dan waktu
yang begitu lama dalam pengembangannya, hingga tidak mungkin dihentikan
di tengah jalan. Terlalu banyak yang sudah dikorbankan, opsi
satu-satunya adalah maju terus.
Bagi Indonesia sendiri ada beberapa kondisi terkait dengan rencana
produksi F-35 JSF ini. Pertama adalah kedatangan pesawat F-35 di negara
tetangga. Kedua adalah kemungkinan F-35 JSF sebagai alternatif pesawat tempur masa depan TNI AU.
Setelah pro dan kontra panjang akhirnya RAAF akan mulai menerima
batch pertama F-35 di sekitar bulan Juli -September tahun ini. Australia
sendiri adalah partner awal proyek Joint Strike Fighter. Proyek ini
memberikan pekerjaan senilai $6.3 milyar USD bagi industri dalam negeri
Australia. Singapura juga adalah peserta program ini. Bergabung pada
tahun 2006 sebagai Security Cooperative Participants (SCP) bersama
Israel. Tapi belum ada keputusan kapan dan berapa unit RSAF akan
mengoperasikan F-35 Lighting II walau sudah menyatakan minat mereka.
Melihat pemotongan anggaran pertahanan Amerika Serikat dan sudah
membengkaknya dana program pengembangan F-35, sepertinya para peserta
program terpaksa pasrah menerima pesawat ini dengan level dibawah
harapan awal. Tapi walau bagaimanapun pesawat Low Observable sekelas
F-35 JSF masih bisa sangat strategis dan bisa jadi game changer,
terutama jika digunakan untuk menghadapi negara dengan kemampuan radar
dan dan payung udara yang minim. Apalagi jika negara yang terancam
dengan kehadiran F-35 itu adalah negara kepulauan yang luas dan
karenanya bisa terancam dari berbagai penjuru. (by nowyoudont).
0 komentar:
Posting Komentar