Kapal Induk Vikramaditya milik Angkatan Laut India. (Foto: Snafu Solomon Blogspot) |
Surabaya: Menjadi Poros Maritim Dunia
berarti bisa mengambil alih poros pelayaran perdagangan dunia yang saat
ini masih didominasi kepentingan ekonomi internasional negara-negara
besar dunia; direpresentasikan Singapura di kawasan Asia Tenggara. Hal
tersebut merupakan bentuk kolonialisme zaman dahulu yang masih bertahan
hingga sekarang.
“Negara kaya ingin mempertahankan dominasinya melalui pelayaran
internasional,” ujar Prof. Daniel M. Rosyid dalam perbincangannya
bersama JMOL, Sabtu (25/10/2014).
Menurut Daniel, jika Indonesia mau mengambil alih posisi poros
pelayaran dunia, tidak bisa sendirian, namun harus mengajak Tiongkok dan
India sebagai partner membangun poros baru.
“India dan Tiongkok paling tidak bisa menjadi balance,” papar Daniel.
Mengapa harus Tiongkok dan India? Karena, Tiongkok dan India saat ini
menjadi titik tumpu pertumbuhan dunia. Daniel menjelaskan, meski mereka
bukan Negara Maritim, namun mereka sedang membangun kekuatan maritim.
“Kita punya posisi strategis. Sekarang, harus lewat Singapura.
Tantangan kita menjadi Poros Maritim adalah mengalahkan Singapura,”
ungkap Daniel.
Merebut posisi Singapura bagi Indonesia, menurut Daniel, bisa
dilakukan dengan membangun pelabuhan berstandar internasional di Kuala
Tanjung, Sumatera Utara. Dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan
perencanaan tata ruang hinterland yang kuat, bisa menjadi strategi pengurangan dominasi tersebut.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan, persoalan dominasi Singapura bukan
hanya persoalan posisi, namun juga persoalan koneksi. Koneksi jalur
pelayaran perdagangan dunia saat ini dimonopoli oleh Singapura.
“Koneksi ini juga harus kita lawan,” tegasnya.
Daniel melihat, melawan dominasi Singapura dalam pelayaran
internasional sejalan dengan strategi Bung Karno dan Gus Dur. Apabila
platform kebijakan yang dilandaskan kepada doktrin Nawacita sebagaimana
dicetuskan Bung Karno konsisten dijalankan, seharusnya bisa diarahkan
untuk melawan dominasi tersebut.
“Kebijakan Jokowi, jika melihat Nawacita, seharusnya ke arah sana.
Kita harus kembali ke strateginya Bung Karno dan Gus Dur. Hanya keduanya
keburu jatuh. Kalau Pak Jokowi mengerti jalan pikirannya Bung Karno, seharusnya bisa itu dijalankan,” pungkas Daniel.
Sumber: JMOL
0 komentar:
Posting Komentar