Radar KFX-C103-iA Korea menggunakan active electronically scanned array (AESA)/ active phased array radar dan sistem sensor optik “Electro-Optical Distributed Aperture System” EODAS. Sistem EODAS dari KFX tempur-C103-iA diatur di depan kokpit kaca depan. Desain ini mirip dengan tata letak pada Su-30/35 atau tempur SU T-50 Rusia
Jakarta – Impian pemerintah untuk memproduksi pesawat tempur buatan dalam negeri tampaknya masih memerlukan waktu yang cukup lama. Kepala Perencanaan PT Dirgantara Indonesia, Sonny Saleh Ibrahim, mengatakan, realisasi pembuatan pesawat tempur tipe KF-X itu belum akan terwujud dalam waktu dekat. “Karena untuk penelitian awalnya saja butuh waktu lama,” ujar dia kepada Tempo di Kemayoran, Jakarta, Jumat, 7 November 2014.
Sonny mengatakan, saat ini pemerintah melalui Kementerian Pertahanan tengah menjajaki kemungkinan produksi pesawat tempur bersama Korea Selatan. Kedua Negara sepakat membagi rata modal yang diperlukan untuk investasi awal. PT DI disebutnya ditunjuk sebagai kontraktor dari pihak Indonesia.
Proses penelitian awal yang berlangsung sejak 2010 sebenarnya sudah rampung pada 2012. PT DI bersama kontraktor asal Korea Selatan sudah membuat preliminary design alias desain awal pesawat tempur. Hasilnya, penelitian itu menghasilkan dua opsi penggunaan mesin, yakni dual-engine dan single-engine.
Kementerian Pertahanan lebih cenderung menginginkan penggunaan dual-engine. Sebab, teknologi tersebut memungkinkan pesawat menjadi lebih lincah dan bertenaga. Hal itu juga menjamin superioritas pesawat tempur di udara menjadi lebih tinggi. “Selain itu, jika salah satu mesin mati masih ada mesin lain jadi masih bisa terbang,” ujar dia.
Namun, pemerintah Korea Selatan lebih menginginkan proyek bersama itu untuk memproduksi pesawat bermesin tunggal. Namun Sonny mengaku tidak tahu alasan pemerintah Negeri Gingseng itu lebih menginginkan satu mesin saja. “Padahal dari sisi teknologi jelas lebih unggul dual-engine,” kata dia.
Nantinya pemilihan mesin itu akan dibahas bersama antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan. Jika kedua pihak tak menemukan kata sepakat, bukan tidak mungkin kerja sama tersebut akan dihentikan. “Tapi itu kewenangan Kementerian Pertahanan, kami cuma kontraktor saja,” ujarnya.
Saat ini, pihak Korea Selatan masih menunda kelanjutan kerja sama tersebut. Hal itu tak lepas dari pergantian presiden yang terjadi tahun 2013 lalu. Meski begitu, PT DI disebutnya terus melakukan penelitian sendiri tanpa mitranya di Korea Selatan. Jika tak terealisasi, perusahaan pelat merah itu menyatakan siap melanjutkan proyek militer tersebut.
Nantinya jika desain awal disetujui, tahap selanjutnya adalah mematangkan desain tersebut hingga siap diproduksi. Tahap finalisasi desain itu sendiri paling cepat membutuhkan waktu 8 tahun hingga benar-benar siap. Artinya, desain akhir pesawat tempur KF-X itu baru selesai tahun 2022 mendatang. “Karena memang investasi untuk pesawat tempur ini membutuhkan waktu sekitar 50 tahun,” ujarnya.
Dia mengakui jika pembuatan pesawat tempur itu memang tidak bisa dilakukan dengan cepat. Apalagi, pesawat tempur yang digunakan tersebut juga harus disesuai dengan teknologi sehingga harus terus diperbaharui. Salah satu tantangannya adalah menyiapkan material untuk badan pesawat. “Ibaratnya kalau mobil itu ban untuk jalan, kalau pesawat tempur itu body pesawat yang vital,” katanya. (Tempo.Co / Dimas Siregar). JKGR
0 komentar:
Posting Komentar