Selasa, 11 November 2014

Presiden Jokowi Dalam Telikungan Neoliberalisme di APEC, G20 dan KTT ASEAN


Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute




Sepanjang November ini, Presiden Jokowi untuk pertama kalinya akan memulai debut internasionalnya di tiga forum internasional yang cukup penting dan strategis. Pada 10-11 November, Jokowi akan berada di Beijing, Cina, menghadiri KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). 12-13 November, ke Nay Pyi Daw, Myanmar, untuk menghadiri KTT Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ke-25, dan terakhir pada 15-16 November ke Brisbane, Australia, untuk mengikuti KTT G-20.


Ketiga KTT tersebut tak pelak lagi merupakan forum diplomasi berskala internasional yang mana pertaruhan kepentingan nasional ekonomi Indonesia sangatlah besar, mengingat APEC dan G-20 praktis dikuasai oleh persekutuan strategis Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam blok ekonomi G-7. Begitupula halnya dengan G-20, meskipun ada Rusia sebagai kekuatan penyeimbang, namun tetap saja didominasi oleh pengaruh kuat Amerika dan Uni Eropa.

Sayang sekali, terkesan Presiden Jokowi beserta tim kabinetnya, seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri perekonomian, tidak terlalu siap untuk menampilkan debut pertamanya di forum internasional dengan mengajukan isu-isu strategis untuk dilemparkan forum APEC, G20 maupun KTT ASEAN. Visi Ekonomi Jokowi 5 tahun ke depan hanya menyoroti pentingnya integrasi dan konektivitas ekonomi. Sedangkan di KTT ASEAN, Indonesia akan mengangkat 6 isu seperti kesehatan terkait Ebola, konflik Laut Cina Selatan, dan ASEAN Community Building 2015.

Konflik Laut Cina Selatan, sepertinya dipandang secara spesifik sebagai sengketa kelautan antar bebeberapa negara yang melibatkan Cina, tapi sayangnya tidak dilihat dalam lingkup yang lebih strategi, yaitu trend untuk menjadikan Laut Cina Selatan sebagai Medan Peperangan antara dua negara adidaya : Amerika versus Cina di kawasan Asia Tenggara. Akan menjadi blunder ketika masalah konflik Laut Cina Selatan semata dipandang sebagai persengketaan di wilayah laut antar beberapa negara.

Masalah Kesehatan terkait penyebaran virus Ebola, jelas tidak bisa dipandang semata-mata sebagai isu kesehatan, melainkan harus dilihat dalam perspektif Amerika dan sekutu-sekutu baratnya untuk memanfaatkan momentum mewabahnya virus Ebola untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan strategisnya di bidang ekonomi, politik dan bahkan kemiliteran, di negara-negara yang sedang dilanda wabah Ebola.

Dan yang paling krusial terkait KTT ASEAN, yaitu kesiapan Indonesia menyongong ASEAN Economic Community 2015, yang agenda tersembunyinya adalah, adanya rencana strategis dari negara-negara asing untuk menguasai sektor-sektor strategis bidang ekonomi di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, melalui diterapkannya Free Trade Agreement di kawasan ASEAN. Di sinilah aspek paling krusial dari ASEAN Economic Community berdasarkan skema AFTA (ASEAN Free Trade Agreement).

Berdasarkan amatan terhadap beberapa isu yang akan diangkat pemerintahan Jokowi-JK di tiga KTT berskala internasional tersebut, ada satu benang merah yang bisa ditarik, yaitu betapa paham ekonomi neoliberalisme sedang mengepung secara besar-besaran kawasan Asia Tenggara, yang berarti juga Indonesa termasuk negara yang telah ditetapkan sebagai sasaran penguasaan ekonomi.

Karena itu, Indonesia harus mengajukan prakarsa ekonomi yang jauh lebih strategis daripada sekadar mengangkat tema integrasi dan konektivitas ekonomi yang tidak terlalu jelas tujuan dan sasaran strategisnya. Apalagi ketika pemerintahan Jokowi-JK sedang dalam kepungan dan telikungan kekuatan-kekuatan kapitalis global yang dimainkan melalui Skema Ekonomi Neoliberalisme.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintahan Jokowi-JK harus mempunyai pemetaan yang jelas mengenai akar masalah perekonomian Indonesia saat ini, sehingga mempunyai referensi dan landasan yang kuat untuk melakukan perang diplomasi di tiga forum internasional tersebut: KTT ASEAN, KTT APEC dan KTT G20.

Neoliberalime Indonesia Pasca Reformasi

Akar masalah Indonesia Pasca Reformasi, kekuatan kekuatan asing bekerjaasama dengan para kolaboratornya:
1. Berhasil melalukan de-ideologisasi Pancasila.
2. Berhasil melakukan de-politisasi TNI.
3. Berhasil Mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002.
4. Berhasil menciptakan sistem demokrasi liberal dengan semangat federalisme dan kapitalisme.
5. Dan sebagai turunan langsung dari poin 4, maka pemerintahan RI pasca reformasi membuat berbagai peraturan perundang-undangan yang sangat berpihak untuk kepentingan asing, yang tentunya tidak pro rakyat.

Untuk melaksanakan konsepsi Neoliberalisme, Amerika Serikat dan sekutu-sekutu baratnya, mereka membentuk Sebuah Tata Dunia Baru dengan menempatkan AS sebagai Polisi Dunia.

Tujuannya:
Memaksakan proses demokratisasi dengan paham liberalisme-kapitalisme sebagai ideologi politik di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Guna mengganti Pancasila.
Memaksakan proses liberalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, terutama negara-negara berkembang, khususnya Indoenesia. Dengan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yang didasarkan musyawarah, mufakat, kekeluargaan dan gotong royong, dengan mengganti atau mengubah UUD 1945 sebagai landasan konstitusi.
Menguasai secara paksa sumber-sumber ekonomi yang potensial di berbagai negara berkembang terutama Indonesia, yang memiliki sumberdaya alam dan sumber hayati yang berlimpah ruah, melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang menguntungkan kepentingan asing.

Untuk mendukung tujuan-tujuan kaum Neolib tersebut, maka mereka menempuh strategi sebagai berikut:
Memaksakan perubahan perundang-undangan yang menjadi sasarannya di Indonesia.
Mencampuri serta menciptakan berbagai konflik yang terjadi di suatu negara dan di Indonesia khususnya melalui invisible hands alias tangan-tangan tersembunyi. Seperti dalam konflik di Aceh, Poso, Ambon dan Papua.
Mempengaruhi pola pikir dengan melakukan brainwashing kepada para intelektual terutama golongan menengah yang berada di perguruan tinggi ternama, dan para elit politik serta perwira-perwira militer yang siap menjadi agen-agen dan kaki tangan mereka.

Era Kepresidenan Ronald Reagan, Neoliberalisme Menemukan Momentumnya Kembali di Amerika Serikat

Pada awal 1980-an, menyusul terpilihnya Presiden Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat dan Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, gagasan neoliberalisme menemukan momentumnya kembali untuk diterapkan secara luas. Di Amerika, hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya swastanisasi BUMN secara massal.

Terkait dengan negara-negara berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai Paket Kebijakan Konsensus Washington.

Inti kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah:
1. Pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi.
2. Liberalisasi Sektor Keuangan
3. Liberalisasi perdagangan dan
4. Pelaksanaan Privatisasi (Swastanisasi) BUMN.

Secara lebih rinci, kebijakan Konsensus Washington mencakup sepuluh kebijakan. Kesepuluh ajaran Neoliberal tersebut adalah sebagai berikut:
Disiplin Fiskal, yang intinya adalah memerangi defisit perdagangan.
Public Expenditure atau anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini untuk memperioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi.
Pembaharuan Pajak, seringkali berupa pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak.
Liberalisasi Keuangan, berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar.
Nilai tukar uang yang kompetitif berupa kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah.
Trade Liberalization barrier, yakni kebijakan untuk menyingkirkan segenap hal yang mengganggu perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi perdagangan dengan tarif dan pengurangan bea tarif.
Foreign Direct Investment, berupa kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing.
Privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada swasta.
Deregulasi Kompetisi
Intellectual Property Right atau Hak Paten.

Membaca Dasar Pendirian Kaum Neoliberal

Adapun pokok-pokok pendirian kaum Neoliberal yang perlu kita pahami adalah sebagai berikut:
Membebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintahm misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang-bidang perburuhan, investasi, dan harga, serta membiarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan, seperti Otorita Batam, NAFTA (North American Free Trade Agreement), SIJORI (Singapore-Johor dan Riau), dan lain sebagainya.
Menghapus Subsidi negara kepada rakyat, karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip neoliberal tentang jauhkan campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan prinsip dasar dan persaingan bebas. Karena itu, pemerintah juga harus melakukan privatisasi/swastanisasi semua perusahaan milik negara. Karena perusahaan negara pada dasarnya dibuat untuk melaksanakan subsidi negara pada rakyat, dan itupun menghambat persaingan bebas.
Menghapuskan ideologi kesejahteraan bersama dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat tradisional. Paham kesejahteraan dan pemilikan bersama mereka menghalangi pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut, maka yang kemudian dianjurkan adalah “serahkan manajemen sumberdaya alam pada ahlinya, dan bukan kepada masyarakat tradisional (sebutan bagi masyarakat adat) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif.

Sarana yang digunakan untuk mengglobalkan sistem neoliberal adalah melalui IMF, Bank Dunia dan WTO, sekaligus sebagai pintu masuk ke negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Cara yang mereka tempuh adalah melalui jebakan utang, yang diberikan secara terus menerus tanpa ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana utang tersebut. Akibatnya, pemerintahan nasional negara dunia tersebut menjadi kecanduan dan akhirnya tidak berdaya lagi menolak perubahan sistem ekonomi nasionalnya dengan mekanisme SAP (Structural Adjustment Program).

Melalui SAP inilah, pemilik modal besar di dunia internasional mampu mengobah sistem ekonomi yang sudah ada menjadi sistem ekonomi yang sesuai dengan keinginan mereka dalam mengembangkan invetasi dan keuntungan.

SAP ini dilakukan melalui Beberapa Langkah:
Pembukaan keran impor sebebas-bebasnya dan adanya aliran uang yang bebas.
Devaluasi.
Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan pokok.

Adapun terkait kebijakan luar negeri/Foreing Policy, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi atau melalui intervensi militer. Yang pada intinya bertujuan memaksa negara-negara sasaran untuk membuka pasarnya dalam kerangka kebijakan Perdagangan Bebas.

Perdagangan bebas merupakan konsep ekonomi yang merujuk pada penjualan produk antarnegara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme dalam kerangka perdagangan bebas: Bea Cukai, Kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan dari pemerintah pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti dumping.

Menurut kaum neolib, pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah.
Kelahiran neoliberalisme itu sendiri didorong oleh empat faktor utama:
Munculnya perusahaan multinasional(MNC) sebagai kekuatan riil dengan nilai aset lebih besar daripada kekayaan yang dimiliki oleh negara-negara kecil.
Munculnya organisasi (rezim internasional) yang berfungsi sebagai surveillance system (Sistem Pengawasan) dalam memastikan prinsip-prinsip ekonomi liberal berjalan atas seluruh negara di dunia.
Revolusi bidang teknologi komunikasi dan transportasi yang menjadi katalisator dan fasilitator terlaksananya pasar bebas dan perdagangan bebas secara cepat ke seluruh dunia.
Keingnan negara-negara kuat untuk mendominasi dan menciptakan hegemoni atas negara-negara yang lebih lemah.




Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16599&type=4#.VGHA-smIqDE

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *