SANEPO atau Ungkapan Rahasia Nusantara | |
Penulis : Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute | |
Banyak
yang bertanya-tanya tentang negeri nusantara ini. Candi itu sebenarnya
apa sih? dan hampir semua buku-buku sejarah yang kebanyakan mengacu ke
sumber luar (penjajah) justru makin mendangkalkan makna sebenarnya dan
cenderung dibuat makin samar atau mistis yang dalam bahasa belandanya
disebut Klenik.
| |
Statement Juri Lina, penulis Swedia dalam buku "Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry" (2004) layak menjadi rujukan.
Ia berasumsi, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Antara lain:
(1) kaburkan sejarahnya,
(2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
(3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Nah
kembali ke ungkapan rahasia atau bahasa "Sanepo" atau kiasan agar
jikalau segala sesuatunya kacau balau atau chaos dikemudian hari maka
kata sandi tersebut bisa memecahkan arti sesungguhnya sehingga tidak
menjadikan syirik (ingkar) buat generasi yang akan datang.
Di Nusantara ini banyak sekali bahasa sanepo dan dalam skala besar dinamakan Candi atau Sandi.
Misalnya sebutan Jumatul Kubro tersebut juga mengingatkan kita bahwa
dulunya Majapahit adalah kerajaan Islam adanya yang dalam aplikasinya
bukan mengacu gaya Timur Tengahan. Ini sangat bertolak belakang dengan
sanggahan Anhar Gonggong yang menyebutkan bahwa Majapahit itu kerajaan
Hindu yang mengacu ke literatur barat atau dalam bahasa umumnya disebut
komprador.
"Jumatul" itu misalnya diambil dari kata Jumu'ah atau Jum'at yang bermakna "berkumpul" atau "Bersatu" atau "Penyatuan". Dan "Kubro" artinya Besar atau Megah, ramai, dan seterusnya.
Jadi pada hari tersebut tengah dilangsungkannya penyatuan yang besar
atau dalam bahasa Sansekertanya disebut Palapa. Dan sumpahnya adalah
Sumpah Palapa.
Bahasa SANEPO atau Kiasan
Sebenarnya
bicara Sanepo atau kata sandi ini sudah dipikirkan masak-masak oleh
leluhur kita zaman baheula (doeloe) sejak era/zamannya Wangsa Keling.
Waktu
itu, saking hebatnya ilmu yang dipunyai masing-masing orang dizamannya
wangsa Keling yang konon keilmuwannya sama dengan Nabi MUSA untuk
seukuran itu membuat apa-apa yang dihasilkan dari peradabannya terasa
dan dirasa sangat kuat (keling), termasuk membuat adonan
perumpamaan-perumpamaan yang diwujudkan dalam bentuk Sandi atau Candi
tentang perjalanan ummat manusia agar selamat dunia-akheratnya
Candi zaman itu dibuatnya dari adonan pasir dan beberapa jenis logam tambahan, lalu dicetak satu persatu menjadi potongan unik.
Dan jika potongan unik ini disatukan menjadi satu dengan cara didudukkan cangkok'annya maka jadilah wujud Candi Batu.
Hebatnya,
adonan ini seiring waktu jika makin lama tergerus panas, hujan, dingin,
dan setrusnya maka akan menjadi keras dan keras serta kuat seiring
dengan bertambahnya waktu.
Namun ada yang disesalkan, ternyata diantara candi-candi itu karena saking kuatnya lantas disembah oleh generasi berikutnya.
Padahal
generasi sebelumnya mewanti-wanti bahwa Candi ini tidak ada apa-apanya
dibanding ilmu-Nya Sang Hyang Widi atau Yang Maha Esa.
Candi
dibikin guna mengingat-ngingat kembali ajaran-Nya, ajaran Akhlakul
Kharimah atau perbuatan baik yang dalam hal ini disebut dengan Njawani
atau JAWA. Ajaran yang mengajarkan perilaku mulia yang nantinya
diungkapkan dalam bentuk ujud syukur melakukan Tapa
Brata/semedi/Topo/Tafakkur kepada Tuhannya dan juga melaksanakan salah
satu peninggalan ummat-nya Nabi Adam yaitu berupa SUGUHAN atau
Persembahan baik berupa hasil ternak maupun hasil pertanian, kelautan
maupun perkebunannnya.
Proses
Nyuguh ini merupakan dasar-dasar sendi kehidupan ummat manusia sejak
zaman doeloe kala sebelum Allah, Tuhan yang Maha Esa memerintahkan
perintah Sholat 5 waktu kepada nabi akhir Muhammad Rasulullah SAW (sang
pembawa risalah kebenaran) dan juga sholat qodim atau kontinyu kepada
nabi-nabi sebelumnya.
Kembali
ke Candi Batu tadi, karena banyak yang sudah keluar dari jalur
KETAUHIDAN atau Meng-ESA-kan Sang Hyang Widi justru menyembah batu tadi
yang diwakili dengan kehadiran sang penggoda yang dalam hal ini diwakili
oleh golongan keturunannya IBLIS yakni bangsa JIN yang mengaku-ngaku
sebagai malaikat atau meyerupai malaikat yang membawa kebenaran,
dst..dst...yang berujung mereka-mereka ini minta di ritual atau di
sesaji atau di suguh / disembah sehingga berakhir "Musryik" lah dia.
Menyekutukan DIA yang menciptakan alam semesta ini.
Atas
dasar itulah akhirnya diakhir Wangsa Keling yang dilanjut dengan era
Medang Kamulan, maka para RESI, Pandhito dan Pemuka Agama sepakat untuk
mengganti material Candi atau Sandi tersebut bahan dasar batu bata.
Maksud
dan tujuan pembuatan batu bata ini tiada lain mengingatkan kita ummat
manusia bahwa apapun kuatnya keilmuwan atau kefahaman manusia yang
diaktualisasikan dalam bentuk ajaran kemanusiaan atau dalam bentuk
faham, keilmuwan , metodologi, isme, syari'at, ideologi maka lambat lain
pastinya akan musnah atau SIRNA. Tiada ajaran atau ilmu yang bisa
menandingi Ilmu-Nya, Dia Rabb Yang Kekal Abadi.
Batu
bata tadi mewakili makna kesirnaan tersebut bahwa tiada yang lebih
indah dan kuat kecuali laku Tauhid atau Meng-ESA-kannya dan laku SUGUH
atau Persembahan itu sendiri.
Suguh
atau persembahan yang diperuntukkan demi KEIKHLASAN mahluk yang lemah
ini kepada Tuhannya dalam ujud RASA Syukur kepada-Nya atau kepada Sang
Hyang Widi maka tiada sesuatu yang lebih istimewa kalau kita bisa
mendapatkan RIDHLA-nya atau mendapatkan IJIN-nya, Pangestu-Nya.
Ya...
Persembahan
yang diterima oleh Tuhannya maka akan terlihat dalam kehidupan si fulan
itu. Makin banyak suguh maka makin enak dan banyak rezeki yang
didapatkannya yang itu tiada lain merupakan berkah dari-Nya.
Kalau seandainya DIA berkehendak maka tiada satupun mahluk di dunia ini yang sanggup menandingi ke-PERKASAAN-nya.
Bisa jadi nanti sawah ladang dan ternaknya ludes ditimpa gonjang-ganjing, wabah pagebluk, dst..dst....
Ujud syukur tadi sebenarnya ya untuk diri kita-kita sendiri.
Namun
banyak juga yang mengorbankan sesuatu atas sesuatu yang lain alias demi
selain Dia. Mungkin dia mengorbankan demi kedudukannya, demi
jabatannya, demi anak istrinya, demi kekuasaannya, dst..dst....seperti
yang kita lihat dalam bentuk Sanepo di tiap tingkatan Candi Borobudur
atau istilahnya BERHALA yang ada dalam diri kita.
Kalau kita bisa membebaskan itu semua maka selamatlah dia.
Kata
akhir yang layak disandingnya adalah SALAM, ya ia bakal mendapatkan
SALAM dari Sang Hyang Widi atau Yang Maha Esa dan ia terbebas dari
segala bentuk Fasik dan bisul dunia, terhindar dari segala bentuk
berhala-berhala yang melingkupi dirinya.
Inilah yang oleh sebagian besar ummat manusia disebut SUWUNG
Bahasa arabnya disebut "Mukhlisiina Lahuddieen"
Orang-orang inilah yang dalam berbagai budaya disebut sang Budha. Ujudnya Kosong atau suwung itu sendiri.
Dialah yang bisa menemukan "Gumantung Tanpa Centelan".
Menghidupi seluruh alam semesta ini.
NB.
Ini saya kasih foto Candi Pari di kota Sidoarjo yang terbuat dari batu
bata era Majapahit. Doeloenya dipakai sebagai tempat menyimpan padi
hasil panen Majapahit dan juga tempat persembahan kepada Tuhannya dan
satunya Candi Borobudur yang mengisahkan perjalanan manusia hingga bisa
mencapai era kejayaan Nusantara ini.
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16645&type=121#.VGmT68mIqDE
|
0 komentar:
Posting Komentar