Senin, 17 November 2014

Sejarah Nusantara


SANEPO atau Ungkapan Rahasia Nusantara
Penulis : Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute

Banyak yang bertanya-tanya tentang negeri nusantara ini. Candi itu sebenarnya apa sih? dan hampir semua buku-buku sejarah yang kebanyakan mengacu ke sumber luar (penjajah) justru makin mendangkalkan makna sebenarnya dan cenderung dibuat makin samar atau mistis yang dalam bahasa belandanya disebut Klenik.

Statement Juri Lina, penulis Swedia dalam buku "Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry" (2004) layak menjadi rujukan.
Ia berasumsi, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Antara lain:
(1) kaburkan sejarahnya,
(2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
(3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Nah kembali ke ungkapan rahasia atau bahasa "Sanepo" atau kiasan agar jikalau segala sesuatunya kacau balau atau chaos dikemudian hari maka kata sandi tersebut bisa memecahkan arti sesungguhnya sehingga tidak menjadikan syirik (ingkar) buat generasi yang akan datang.
Di Nusantara ini banyak sekali bahasa sanepo dan dalam skala besar dinamakan Candi atau Sandi. Misalnya sebutan Jumatul Kubro tersebut juga mengingatkan kita bahwa dulunya Majapahit adalah kerajaan Islam adanya yang dalam aplikasinya bukan mengacu gaya Timur Tengahan. Ini sangat bertolak belakang dengan sanggahan Anhar Gonggong yang menyebutkan bahwa Majapahit itu kerajaan Hindu yang mengacu ke literatur barat atau dalam bahasa umumnya disebut komprador.
"Jumatul" itu misalnya diambil dari kata Jumu'ah atau Jum'at yang bermakna "berkumpul" atau "Bersatu" atau "Penyatuan". Dan "Kubro" artinya Besar atau Megah, ramai, dan seterusnya. Jadi pada hari tersebut tengah dilangsungkannya penyatuan yang besar atau dalam bahasa Sansekertanya disebut Palapa. Dan sumpahnya adalah Sumpah Palapa.
Bahasa SANEPO atau Kiasan
Sebenarnya bicara Sanepo atau kata sandi ini sudah dipikirkan masak-masak oleh leluhur kita zaman baheula (doeloe) sejak era/zamannya Wangsa Keling.
Waktu itu, saking hebatnya ilmu yang dipunyai masing-masing orang dizamannya wangsa Keling yang konon keilmuwannya sama dengan Nabi MUSA untuk seukuran itu membuat apa-apa yang dihasilkan dari peradabannya terasa dan dirasa sangat kuat (keling), termasuk membuat adonan perumpamaan-perumpamaan yang diwujudkan dalam bentuk Sandi atau Candi tentang perjalanan ummat manusia agar selamat dunia-akheratnya
Candi zaman itu dibuatnya dari adonan pasir dan beberapa jenis logam tambahan, lalu dicetak satu persatu menjadi potongan unik.
Dan jika potongan unik ini disatukan menjadi satu dengan cara didudukkan cangkok'annya maka jadilah wujud Candi Batu.
Hebatnya, adonan ini seiring waktu jika makin lama tergerus panas, hujan, dingin, dan setrusnya maka akan menjadi keras dan keras serta kuat seiring dengan bertambahnya waktu.
Namun ada yang disesalkan, ternyata diantara candi-candi itu karena saking kuatnya lantas disembah oleh generasi berikutnya.
Padahal generasi sebelumnya mewanti-wanti bahwa Candi ini tidak ada apa-apanya dibanding ilmu-Nya Sang Hyang Widi atau Yang Maha Esa.
Candi dibikin guna mengingat-ngingat kembali ajaran-Nya, ajaran Akhlakul Kharimah atau perbuatan baik yang dalam hal ini disebut dengan Njawani atau JAWA. Ajaran yang mengajarkan perilaku mulia yang nantinya diungkapkan dalam bentuk ujud syukur melakukan Tapa Brata/semedi/Topo/Tafakkur kepada Tuhannya dan juga melaksanakan salah satu peninggalan ummat-nya Nabi Adam yaitu berupa SUGUHAN atau Persembahan baik berupa hasil ternak maupun hasil pertanian, kelautan maupun perkebunannnya.
Proses Nyuguh ini merupakan dasar-dasar sendi kehidupan ummat manusia sejak zaman doeloe kala sebelum Allah, Tuhan yang Maha Esa memerintahkan perintah Sholat 5 waktu kepada nabi akhir Muhammad Rasulullah SAW (sang pembawa risalah kebenaran) dan juga sholat qodim atau kontinyu kepada nabi-nabi sebelumnya.
Kembali ke Candi Batu tadi, karena banyak yang sudah keluar dari jalur KETAUHIDAN atau Meng-ESA-kan Sang Hyang Widi justru menyembah batu tadi yang diwakili dengan kehadiran sang penggoda yang dalam hal ini diwakili oleh golongan keturunannya IBLIS yakni bangsa JIN yang mengaku-ngaku sebagai malaikat atau meyerupai malaikat yang membawa kebenaran, dst..dst...yang berujung mereka-mereka ini minta di ritual atau di sesaji atau di suguh / disembah sehingga berakhir "Musryik" lah dia.
Menyekutukan DIA yang menciptakan alam semesta ini.
Atas dasar itulah akhirnya diakhir Wangsa Keling yang dilanjut dengan era Medang Kamulan, maka para RESI, Pandhito dan Pemuka Agama sepakat untuk mengganti material Candi atau Sandi tersebut bahan dasar batu bata.
Maksud dan tujuan pembuatan batu bata ini tiada lain mengingatkan kita ummat manusia bahwa apapun kuatnya keilmuwan atau kefahaman manusia yang diaktualisasikan dalam bentuk ajaran kemanusiaan atau dalam bentuk faham, keilmuwan , metodologi, isme, syari'at, ideologi maka lambat lain pastinya akan musnah atau SIRNA. Tiada ajaran atau ilmu yang bisa menandingi Ilmu-Nya, Dia Rabb Yang Kekal Abadi.
Batu bata tadi mewakili makna kesirnaan tersebut bahwa tiada yang lebih indah dan kuat kecuali laku Tauhid atau Meng-ESA-kannya dan laku SUGUH atau Persembahan itu sendiri.
Suguh atau persembahan yang diperuntukkan demi KEIKHLASAN mahluk yang lemah ini kepada Tuhannya dalam ujud RASA Syukur kepada-Nya atau kepada Sang Hyang Widi maka tiada sesuatu yang lebih istimewa kalau kita bisa mendapatkan RIDHLA-nya atau mendapatkan IJIN-nya, Pangestu-Nya.
Ya...
Persembahan yang diterima oleh Tuhannya maka akan terlihat dalam kehidupan si fulan itu. Makin banyak suguh maka makin enak dan banyak rezeki yang didapatkannya yang itu tiada lain merupakan berkah dari-Nya.
Kalau seandainya DIA berkehendak maka tiada satupun mahluk di dunia ini yang sanggup menandingi ke-PERKASAAN-nya.
Bisa jadi nanti sawah ladang dan ternaknya ludes ditimpa gonjang-ganjing, wabah pagebluk, dst..dst....
Ujud syukur tadi sebenarnya ya untuk diri kita-kita sendiri.
Namun banyak juga yang mengorbankan sesuatu atas sesuatu yang lain alias demi selain Dia. Mungkin dia mengorbankan demi kedudukannya, demi jabatannya, demi anak istrinya, demi kekuasaannya, dst..dst....seperti yang kita lihat dalam bentuk Sanepo di tiap tingkatan Candi Borobudur atau istilahnya BERHALA yang ada dalam diri kita.
Kalau kita bisa membebaskan itu semua maka selamatlah dia.
Kata akhir yang layak disandingnya adalah SALAM, ya ia bakal mendapatkan SALAM dari Sang Hyang Widi atau Yang Maha Esa dan ia terbebas dari segala bentuk Fasik dan bisul dunia, terhindar dari segala bentuk berhala-berhala yang melingkupi dirinya.
Inilah yang oleh sebagian besar ummat manusia disebut SUWUNG
Bahasa arabnya disebut "Mukhlisiina Lahuddieen"
Orang-orang inilah yang dalam berbagai budaya disebut sang Budha. Ujudnya Kosong atau suwung itu sendiri.
Dialah yang bisa menemukan "Gumantung Tanpa Centelan".
Menghidupi seluruh alam semesta ini.
 
Candi Pari - Sidoarjo
NB. Ini saya kasih foto Candi Pari di kota Sidoarjo yang terbuat dari batu bata era Majapahit. Doeloenya dipakai sebagai tempat menyimpan padi hasil panen Majapahit dan juga tempat persembahan kepada Tuhannya dan satunya Candi Borobudur yang mengisahkan perjalanan manusia hingga bisa mencapai era kejayaan Nusantara ini.

Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16645&type=121#.VGmT68mIqDE

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *