Tujuan akhir AS adalah China, bukan Rusia. Kekuatan militer dapat dihadapi dengan kekuatan yang sama, namun untuk menghadapi kekuatan ekonomi memerlukan taktik dan pemikiran yang matang. Sebab ekonomi merupakan produk pemikiran, dan pemikiran hanya bisa dikalahkan dengan pemikiran, bukan dengan kekuatan kasar.
Ekonomi China yang terus tumbuh dan membesar diikuti dengan perkembangan militernya telah menjadi ancaman yang lebih serius bagi Amerika dibanding dengan eksistensi Rusia. Terlebih lagi jika China dan Rusia beraliansi maka ini akan menjadi persoalan yang jauh lebih rumit dari pada masalah penaklukan “the lone wolf” Uni Soviet, sebab gabungan keduanya menghasilkan kekuatan yang lebih lengkap, yaitu “the power of money and swords” – kekuatan uang dan pedang.
Dengan keduanya itu maka menggapai kekuasaan dan dominasi tidak akan menjadi persoalan yang sulit, dan tentu saja pemiliknya pun akan dapat melakukan serangan balik pada barat. Dengan kekuatan yang lebih berimbang maka hasil akhirnya akan ditentukan oleh otak siapa yang lebih cerdas dalam menggagas rencana dan strategi.
Pertama mari kita tengok Amerika yang dalam perjalanannya telah tumbuh menjadi negara dengan ekonomi berbentuk gelembung besar yang ditopang oleh kekuatan fiktif mata uangnya, dolar.
Gelembung ini terjadi karena Amerika telah mencetak dolar begitu banyak tanpa ditopang nilai penyeimbang untuk mengontrol inflasi, dan hanya menyandarkan begitu saja pada statusnya sebagai alat tukar internasional.
Status ini telah memberikan Amerika privilege dan sarapan gratis yang sangat besar dan kemudahan dalam membiayai segala kepentingannya. Secara sederhana dapat diperumpamakan, jika negara lain harus bekerja untuk memperoleh uang, maka AS hanya perlu mencetak dolarnya saja untuk mendapatkan uang. Ini adalah sebentuk praktik ketidakadilan moneter yang terjadi di dunia saat ini.
Di sisi lain implikasi pencetakan dolar tanpa batas menyebabkan ekonomi Amerika menjadi sangat rentan. Jika dolar sampai jatuh dan tidak digunakan lagi sebagai mata uang internasional, maka ekonomi Amerika akan seketika kolaps dan hancur. Permasalahannya, Amerika tidak memiliki cadangan emas untuk menyeimbangkan neraca antara dolar yang dicetak dengan nilai aktual pasar.
Selama ini stabilitas nilai dolar hanya bersandar pada aktifitas transaksi perdagangan internasional yang “dipaksakan” menggunakan dolar. Lalu bagaimanakah solusi untuk menjamin keamanan dan kestabilan nilai tukar dolar?.
Solusinya adalah dengan menjadikan Amerika “the power behind new world order” di mana hanya Amerika yang menjadi satu satunya aktor dominan yang mengusai kontrol ekonomi, militer dan politik dunia.
Sarapan gratis yang dinikmati Amerika selama ini telah memberikan privilege dalam bentuk akses kendali atas separuh ekonomi dunia. Dan di saat yang sama telah memberikan Amerika kemampuan untuk membiayai perkuatan otot militernya. Dengan militer yang kuat Amerika dapat mengamankan kepentingan dalam negerinya dan memberikan tekanan politik pada negara lain. Dengan kekuatan militernya pula Amerika dapat mengancam atau menyingkirkan begitu saja negara lain yang menjadi penghalang/mengancam eksistensinya. Didukung aristokrat Eropa yang masih berambisi menguasai dunia untuk mewujudkan “the trinity triumph in power” – ekonomi, militer dan politik. Bisa dikatakan pula ini adalah sebentuk rasisme ambisi aristokrat Eropa dan pengikutnya yang memandang superioritas diri mereka atas bangsa lain, imperialisme barat di era modern.
Halangan bagi ‘trinity triumph’ adalah jika ada kekuatan lain yang menjadi penghadang atau penyeimbang yang mengkonfrontasi dan tidak mau bergabung dalam aliansi. Dalam hal ini Rusia dan China menjadi porosnya, Rusia sebagai mesin militer dan China sebagai mesin ekonomi, keduanya bersinergi menjadi sebuah kekuatan politik yang besar dari timur yang menandingi aliansi besar AS – Eropa. Batu sandungan besar bagi “New world order trinity triumph”.
Dalam praktiknya menyingkirkan China bukanlah perkara yang mudah, selain kuat secara militer kaki gurita ekonomi China juga sudah terlanjur menjerat dunia. Untuk mengalahkan China diperlukan usaha dan biaya yang sangat besar dengan hasil akhir kerusakan besar pada ekonomi dunia. Tentu saja ini kemudian tidak menjadi suatu pilihan, pilihannya adalah memaksa China untuk tunduk dan menjadi sapi perah kepentingan barat, lalu bagaimana dengan Rusia?.
Skenario awal adalah untuk merangkul Rusia bergabung dengan Eropa agar imperium Romawi dapat bersatu kembali menjadi kekuatan yang lebih besar untuk mengintimidasi China dikemudian hari. Jika Rusia enggan bergabung maka Rusia perlu ditaklukkan terlebih dahulu, dan tentang rencana penaklukan ini Rusia sendiri pun telah menyadarinya sejak lama. Sebab seperti telah menjadi takdir, Romawi pecah menjadi barat dan timur karena suatu alasan dan bila mereka bertemu maka itu adalah dengan pedang. Permasalahannya bagaimanakah menaklukkan Rusia tanpa perang, karena seperti yang telah diketahui Rusia memiliki arsenal militer yang lebih dari cukup untuk menghanguskan Eropa.
Rencana dimulai dengan menyudutkan Rusia sedemikian rupa secara strategis sehingga tidak memberikan pilihan selain berpaling kembali pada Eropa. Dengan merangkul bekas anggota pakta Warsawa akan memberikan intimidasi politik secara langsung pada Rusia menjadikan Rusia seperti anak hilang, dan lepasnya semenanjung Crimea dari tangan Rusia akan menjadi bunga pencapaian rencana ini yang akan memberikan pukulan telak pada Rusia. Sebab di Crimea terletak pangkalan strategis dari angkatan laut Rusia, jika Crimea lepas maka Rusia akan kehilangan akses langsung ke laut hitam sehingga mereduksi penempatan militer Rusia secara siknifikan, yang berakibat pada pergeseran pola keseimbangan kekuatan di Eropa timur.
Sementara itu, jauh hari Rusia telah menyadari arti penting akses terhadap laut hitam. Langkah Rusia untuk menyerang Georgia pada 2008 sebenarnya bukanlah untuk menyelamatkan Ossetia selatan dan Abkhazia. Melainkan untuk mengambil jalur akses ke laut hitam hitam melaui Abkhazia dan menetapkan titik tumpu masuk kedalam wilayah georgia yang telah secara terang terangan berpihak kepada Amerika.
Status Georgia yang belum menjadi bagian dari NATO dan kesalahan interpretasi intelijen Amerika yang menganggap Rusia tidak akan berani mengambil tindakan berujung pada ketidak siapan sekutu secara militer, sehingga menjadikan aksi Rusia berjalan lancar dan ini menjadi kemenangan telak pertama Rusia di era modern. Terlebih lagi aksi ini dibumbui dengan modus misi perdamaian, yaitu untuk menyelamatkan pemukim Rusia di Ossetia-Abkhazia dan menyelamatkan keduanya dari tindak invasi Georgia.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Amerika telah secara terang menyatakan dukungannya bagi Georgia untuk menganeksasi Ossetia dan Abkhazia. Keduanya pun telah sering melakukan latihan militer bersama dan Amerika bahkan melatih militer Georgia untuk dapat beroperasi efektif di area pegunungan. Ini adalah provokasi langsung yang di kemudian jawab Rusia dengan serangan kepada Georgia.
Kekalahan di Georgia dijawab sekutu dengan mempercepat proses peralihan Ukraina ke NATO. Taktik operasi clandestine yang mirip seperti yang digunakan di Arab dan Afrika diterapkan pula di Ukraina. Dan uniknya lagi alasan yang sama untuk menyerang Georgia pun digunakan Rusia, yaitu menyelamatkan pemukim Rusia di Crimea dari ancaman kekacauan yang terjadi di Ukraina karena adanya peralihan kekuasaan.
Militer Ukraina tidak bereaksi karena mereka menyadari Rusia memiliki semua keunggulan strategis atas mereka. Petinggi militer Ukraina tidak ingin berkorban lebih jauh dan lebih memilih menyelamatkan apa yang tersisa dari permainan catur Rusia Vs Amerika, karena Ukraina menyadari mereka tidak memiliki tempat/peran di sana selain menjadi bidak catur.
Hasil akhirnya jelas, Crimea kemudian menjadi kemenangan terbesar Rusia atas aliansi AS-Eropa di era modern, secara politik, ekonomi dan militer. Sebuah hasil dari ketidak matangan rencana Amerika dan eksekusi yang terlalu terburu buru. Tidak hanya berhenti di situ, kegagalan ini pun dilanjut dengan rencana ceroboh berikutnya yaitu mempercepat langkah pada fase berikutnya, embargo ekonomi atas Rusia. Sesuatu yang seharusnya dilakukan ketika Eropa telah memiliki keunggulan strategis dalam militer dan ekonomi.
Sebelumnya Eropa sendiri tengan mengalami masa reses ekonomi yang bisa dianggap “ulah Amerika”, disatu sisi sebagian Eropa mengalami ketergantungan pasokan gas Rusia dan tentunya mereka membutuhkan perkuatan ekonomi. Keengganan Eropa tampak sangat jelas sebab embargo ini juga akan berdampak pada diri mereka sendiri terutama ketika kegagalan rencana ini mulai tampak jelas.
Bukan karena Rusia terlalu kuat dan hebat sehingga mampu menangkal embargo AS – Eropa (itu hanyalah propaganda belaka). Namun karena China telah menjadi batu sandungan dengan menyelamatkan Rusia dari ancaman resesi ekonomi, tanpa China nasib Rusia hanyalah tinggal menghitung hari. China menjadikan dirinya pasar dan makelar bagi produk – produk Rusia serta membantu Rusia mengakses pasar Asia yang telah lama diselami China. Dan keduanya pun kemudian menjalin hubungan simbiosis mutualisme, Rusia membutuhkan China untuk menyangga ekonominya dan China membutuhkan teknologi Rusia untuk memperkuat dirinya.
Ambisi China adalah untuk menggantikan dominasi Amerika dalam kepemimpinan dunia. Tahap pertama untuk mengarah kesana telah dilalui yaitu perkuatan ekonomi, seperti yang telah diketahui saat ini ekonomi China adalah salah satu yang terkuat di dunia dan terus tumbuh. Sisanya hanyalah tinggal melakukan perkuatan militer maka China pun akan menjadi negara super power baru yang bahkan mungkin bisa lebih kuat dari Amerika pada masa ‘top peak performance’-nya.
China menyadari betul bahwa mereka membutuhkan sekutu yang kuat, tanpa sekutu yang kuat segala ambisi mereka akan terbentur dengan tembok besar yang keras. Tanpa Rusia, China akan menjadi paman panda gemuk yang hidup di bawah belas kasih orang lain. Padahal tubuh yang besar dan masih tumbuh membutuhkan makanan dan nutrisi yang banyak, mereka tidak akan merasa cukup jika hanya hidup dari ransum atau sekedar pembagian jatah dari majikan.
Pada praktiknya aliansi China-Rusia dalam perang tak kasat mata ini telah berkembang lebih jauh, Rusia-China tak lagi menjadi pihak bertahan dan kini mulai berlalih menyerang dengan menggelontorkan wacana perubahan mata uang tukar internasional. Ini adalah sebentuk serangan langsung atas hegemoni ekonomi Amerika yang telah cukup lama bertengger nyaman di puncak. Dan BRIC dengan segala potensinya akan dapat merubah wajah percaturan politik dunia di masa depan, yaitu dengan menelurkan opsi baru dalam sistem perekonomian. Dan tentu saja pihak yang paling terancam dengan semua ini adalah Amerika. Sementara Eropa sendiri akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan sebab mereka tidak terikat dengan dolar dan telah memiliki mata uang euro yang bisa menjadi landasan bagi mereka menghadapi perubahan.
Pada akhirnya bagaimana ending dari cerita ini pastinya akan sangat menarik untuk dicermati. Apakah barat akan tetap berkuasa atau timur yang kemudian akan naik tahta, ataukah akan tercipta keseimbangan di dunia sebagai hasil clash of the titans? We’ll see, …
Selama ini barat telah menggunakan privilege hegemoni mereka sebagai pemenang PD II untuk berbuat arogan, mengutak atik negara lain sekehendak mereka dan menjadikan negara lain sebagai sapi perahnya. Sementara itu sejarah Rusia dan China penuh kelam dengan sejarah kediktatorannya, secara eksplisit masa kediktatoran itu masih berlangsung hingga sekarang hanya dibungkus dengan kemasan yang berbeda. Pertanyaannya adalah, diantara dua kekuatan ini manakah yang lebih baik bagi kepentingan Indonesia?. Jawabannya adalah TIDAK ADA, baik barat dan timur telah memberikan kenangan yang buruk dan telah menjadikan negeri ini mainan mereka di masa lalu, dan tidak ada jaminan mereka tidak akan melakukannya lagi di masa depan dengan satu atau lain cara.
Barat tidaklah lebih baik dari timur dan timur tidaklah lebih baik dari barat, yang baik adalah jika keseimbangan kekuatan terjadi diantara keduanya. Sebab dengan demikian kedamaian akan terwujud dan Indonesia bisa mengambil yang terbaik dari keduanya.
Komunisme di Indonesia yang dihembuskan Uni Soviet dan dikipasi oleh China telah memporak porandakan negeri ini dua kali dan memakan JUTAan jiwa rakyat negeri ini. Ada yang berkata, dulu waktu kita dekat dengan timur kita memiliki alut sista yang hebat sehingga Indonesia sempat menjadi macan Asia. Tapi apakah hubungan antar negara itu harus selalu melulu tentang senjata dan militer?.
Kita juga butuh hubungan ekonomi Bung, tanpa ekonomi yang kuat maka tidak akan ada militer yang kuat. Dan jika kita mau jujur dalam memuat perbandingan, lebih maju manakah perekonomian di masa Pak Soekarno dan di masa Pak Suharto? Jawabannya sudah jelas.
Dan tahukah anda, semua alutsista itu TIDAK gratis, kita beli dan belinya pun sebagian pakai utang. Selepas tahun 65 ketika terjadi pergantian kiblat politik, Indonesia diembargo oleh Uni Soviet sehingga semua alutsista yang dibeli berubah menjadi onggokan besi tua. Ironisnya walaupun telah di embargo hutangnya masih tetap di tagih oleh mereka, menjadikan Indonesia membayar mahal onggokan besi tua yang tidak terpakai. Akan ada lagi yang berkata, semua itu adalah salah kita yang telah berpaling pada barat sehingga wajar saja jika Uni Soviet mengembargo Indonesia. Menanggapi ini saya menjadi bertanya, sebenarnya manakah yang lebih anda cintai, Indonesia ataukah Uni Soviet/Rusia sehingga anda begitu mudah memandang ringan pengalaman di masa lalu dan jutaan nyawa yang terkorbankan. Kalau mau fanatik itu fanatik pada Indonesia, bukan pada Rusia!!!
Barat pun setali tiga uang, selama era pak Suharto negeri ini telah diperas habis habisan jiwa dan raga, dibodohkan dan diperparah kerusakan mental – moralnya dengan paham liberalisme yang diplesetkan menjadi hedonisme. Korupsi, kolusi dan neportisme tumbuh subur seperti jamur di musim penghujan hingga produk sisanya pun masih terasa hingga masa kini. Kita pernah ditipu, diperalat dan dikhianati dalam kasus Timor Timur, namun lucunya banyak yang lebih mempermasalahkan embargo militer Amerika dari pada darah para pejuang Indonesia yang telah tertumpah sia – sia di Timor Timur.
Pernahkah anda bertanya “berapa jumlah pejuang yang gugur dalam operasi Seroja?”. Entah mengapa nyawa manusia Indonesia terkesan lebih tidak penting dibanding kemilau benda buatan, beginikah cara kita menghargai dan mengingat pejuang bangsa kita sendiri? Padahal 10 november baru saja berlalu ataukah semua itu hanyalah peringatan kosong?. Tidak hanya itu, barat pun telah dua kali mengobok obok pemerintahan Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan barat. Seolah – olah pemerintahan yang berdiri di negeri ini hanyalah pentas dagelan yang bisa diintervensi seenaknya, kedaulatan negeri ini telah diperhinakan dan dipermalukan. Barat maupun timur keduanya sama sama #&%@*$#%*@.
UUD 45 telah mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara non blok, kita tidak bersekutu dengan blok manapun namun itu tidak menghalangi kita untuk bersahabat dengan siapa pun. Dan untuk mewujudkan semua itu Indonesia harus menjadi kuat, luar dan dalam, bukan sekedar militer namun juga ekonomi. Sebab tanpa ekonomi yang kuat tidak akan ada militer yang kuat, dan tanpa ekonomi yang baik tidak akan ada kemakmuran di negeri kita.
Indonesia cukup berteman dengan siapa saja yang mampu dan bersedia memberikan manfaat lebih bagi Indonesia, tanpa kita harus turut ikut campur dan terlibat dalam masalah mereka. Karena bernegara itu tidak sama dengan acara nongkrong geng anak SMA, million friends zero enemy. Namun jika ada yang ingin membuat masalah dan mengusik kedaulatan NKRI, maka Indonesia tidak takut untuk menghadapinya.
Orang bijak adalah orang yang tahu apa yang ia perbuat dan ia ucapkan, orang bodoh adalah orang yang tidak tahu apa yang ia perbuat dan apa yang ia ucapkan. Para pendahulu kita yang menetapkan dasar negara ini bukanlah sekumpulan orang naif, mereka telah berkorban dan mengerahkan segalanya demi kebaikan negeri. Jadi jaga perkataan anda sebelum anda mengecap para pahlawan dan orang – orang besar negeri ini sebagai orang naif. Mereka telah berbuat banyak dan berjasa besar, bagaimana dengan anda?!
Sudah waktunya Indonesia bangkit dan memperbaiki segala kenangan buruk di masa lalu, jalannya memang panjang dan terjal namun kita harus yakin mampu malaluinya. Kecuali jika kecintaan anda pada negeri ini telah begitu turun sehingga anda kurang menghargai atau bahkan tidak mempercayai kemampuan bangsa anda sendiri untuk melakukan hal besar dan menjadi besar, maka selamanya kita akan menjadi mainan asing.
Oleh karenanya kita harus mandiri dan tidak bergantung pada asing, meskipun tidak dalam segala hal paling tidak dalam hal – hal yang sensitif seperti militer kita harus dapat berdikari. Sedikit demi sedikit, selama kita percaya, kita pasti bisa! Dengan kepercayaan penuh, saya yakin bahwasanya mereka – mereka yang duduk di kursi pemerintahan negeri ini bukanlah sekumpulan abg labil yang tidak berpikir panjang dan hanya mengikuti kesenangan sesaat. Saya yakin mereka – mereka adalah orang – orang bijak pandai yang memperhitungkan dan merencanakan keberlangsungan negeri ini hingga kemasa depan, bukan Cuma 1 atau 5 tahun.
Saya tidak mengenal banteng ataupun garuda karena bagi saya yang ada hanyalah Indonesia, dan sehubungan dengan hari 10 november yang baru saja berlalu. Marilah kita mengenangnya dengan ikut berjuang melakukan yang terbaik dibidang kita masing – masing, mendukung dan mengkritisi secara sehat pemerintahan kita untuk melakukan yang terbaik bagi negeri ini dan seluruh rakyatnya. Karena pada akhirnya kita ini rakyat Indonesia dan Indonesia itu milik kita.
Komentar panjang ini saya tulis untuk menanggapi artikel ini, artikel tentang Crimea, isu tentang Rusia strong dan isu Indonesia keluar dari nonblok dan bergabung dengan timur. Sengaja saya gabung menjadi satu, jadi mohon maaf jika ceritanya kemana mana. Meminjam perkataan bung Lare Sarkem, it just IMSO-in my sotoy opinion only, koreksi saya jika salah.
Oleh STMJ
Sumber: JKGR
0 komentar:
Posting Komentar