Analisis |
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI) | |
Komitmen Amerika Serikat untuk menerapkan kebijakan denuklirisasi (Non Proliferation Treaty-NPT)
kepada semua negara, khususnya yang berpotensi memiliki senjata nuklir
seperti Iran dan Korea Utara, nampaknya akan diuji konsistensinya
menyusul menguatnya aspirasi Ukraina, salah satu negara satelitnya di
Eropa Timur, untuk mendapatkan kembali statusnya sebagai negara nuklir.
| |
Terkait
pembahasan krisis di negara eks Uni Soviet yaitu Ukraina, kepemilikan
persenjataan nuklir belum menjadi isu strategis yang dikaji kalangan
pemerhati masalah-masalah internasional. Padahal pada kenyataannya,
Ukraina tercatat merupakan salah satu dari tiga negara eks Soviet yang
berpotensi memiliki persenjataan nuklir.
Ukraina
menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir, yang secara sukarela
melucuti semua senjata nuklirnyanya untuk dikembalikan kepada Rusia pada
1996. Namun hal itu bukan sebuah jaminan bahwa potensi Ukraina untuk
menghidupkan kembali program nuklirnya di masa depan sudah berhasil
dilumpuhkan secara total. Mengingat kenyataan bahwa Ukraina pada saat
memutuskan untuk melucuti secara sukarela persenjataan nuklirnya,
mewarisi 5 ribu senjata nuklir ketika merdeka dari Uni Soviet pada 1991.
Sehingga menjadikan Ukraina sebagai negara pemilik senjata nuklir
terbesar ketiga di dunia pada saat itu.
Apalagi
ketika konstalasi politik dalam negeri Ukraina pasca kejatuhan Presideh
Viktor Yanukovich yang dianggap pro Rusia, Amerika Serikat dan
sekutu-sekutu baratnya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik
Utara (NATO) mendukung kemunculan beberapa partai politik yang berhaluan
ultra nasionalis/Fasisme seperti Partai Svoboda pimpinan Tiahnybok,
yang selain anti Yahudi (Anti Semit) sekaligus juga anti Rusia.
Beberapa
indikasi mulai terlihat ketika beberapa waktu yang lalu, beberapa elit
partai politik dan anggota parlemen Ukraina mulai menyesali kebijakan
denuklirisasi negaranya sekitar 20 tahun yang lalu. Pavlo Rizanenko,
salah seorang anggota parlemen Ukraina yang pro Amerika dan barat
mengatakan: “"Di masa depan, bagaimanapun penyelesaian krisis
Crimea, kami membutuhkan Ukraina yang lebih kuat. Jika anda mempunyai
senjata nuklir, orang tidak akan menginvasi anda."
Tentu
saja yang dimaksud Rizanenko untuk menghadapi “negara yang menginvasi
anda” tak pelak lagi adalah Rusia. Menyusul penggulingan Yanukovich
melalui koalisi partai-partai politik yang pro Amerika dan Uni Eropa,
Presiden Vladimir Putin kemudian melancarkan serangan balasan dengan
membuat keputusan untuk menggerakkan pasukan Rusia ke wilayah Crimea.
Maka sejak saat itu, titik balik terjadi di Ukraina. Revolusi pro Rusia
di Crimea menyebar ke wilayah Ukrainan Timur dan Selatan.
Parlemen
Republik Otonomi Crimea memecat perdana menteri yang pro rejim
peralihan Ukraina, lalu mengangkat perdana menteri baru yang pro Rusia,
serta menetapkan referendum untuk bergabung dengan Federasi Rusia.
Ribuan massa pro Rusia kemudian menduduki gedung pemerintahan lokal kota
Donetz. Bukan itu saja. Dewan Kota tersebut mengeluarkan pernyataan
tuntutan referendum untuk menentukan masa depan kota industri tersebut.
Aksi serupa juga terjadi di Odessa, Kharkov dan kota-kota lainnya.
Bahkan Kepala Staf Angkatan Laut Ukraina dan sejumlah pejabat militer
serta sejumlah pasukan Ukraina di Crimea, menyatakan dukungannya ke
Rusia.
Pada
17 Maret 2014 lalu, reunifikasi Crimea dengan Rusia menjadi kenyataan
menysul adanya referendum dimana 96,8 persen rakyat Crimea mendukung
penggabungan kembali wilayah tersebut dengan Rusia. Pada 21 Maret 2014,
Presiden Putin menandatangani dokumen resmi menjadi undang-undang,
sehingga sejak saat itu Cirema resmi menjadi bagian dari wilayah
kedaulatan Rusia.
Menguatnya Kelompok Ultra Nasionalis/Fasis dan Kepemilikan Senjata Nuklir Ukraina
Pernyataan
Pavlo Rizanenko bisa dibaca sebagai representasi dari aspirasi
kelompok-kelompok garis keras di Ukraina yang menginginkan kebangkitan
kekuatan militer negara eks Uni Soviet tersebut. Dengan dalih, untuk
menghadapi Rusia yang telah menginvasi Crimea secara militer menyusul
penggulingan Presiden Yanukovich yang didukung oleh Amerika Serikat dan
Uni Eropa.
Meskipun
beberapa kalangan di Washington mengecam pernyataan Rizanenko yang
menyesali keputusan negaranya untuk melakukan denuklirisasi 20 tahun
yang lalu, namun hal ini mengindikasikan adanya keinginan dari berbagai
elemen strategis di Ukraina, agar Ukraina mendapatkan kembali statusnya
sebagai negara nuklir. Termasuk dari kalangan politisi partai Svoboda
yang jelas-jelas berhaluan fasisme dan Ultra Nasionalis.
Di
sinilah konsistensi Amerika Serikat terkait pelarangan kepemilikan
senjata nuklir akan diuji oleh perkembangan waktu dan keadaan. Pada
2010, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir yang berlangsung
di Washington Convention Center, telah disepakati untuk memperkuat
peran International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam rangka
mengawasi penggunaan bahan-bahan nuklir di seluruh dunia. Sekaligus
penegasan bahwa pemanfaatan nuklir sejauh untuk tujuan damai tidak akan
dibatasi.
Indonesia, senada dengan sikap beberapa negara berkembang, menekankan pentingny dunia tanpa senjata nuklir (a world without nuclear weapon) yang bertumpu pada 3 pilar yaitu pelucutan nuklir (nuclear disarmament), penghentian pengembangan senjata nuklir (nonproliferation), dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai.
Sikap
yang diambil Indonesia sejatinya cukup tepat dan didasari oleh itikad
baik menciptakan suasana dunia yang damai dan bebas dari segala macam
bentuk persenjataan yang mematikan dan mengancam jiwa umat manusia di
muka bumi. Sehingga rumusan Indonesia dan beberapa negara yang tergabung
dalam Gerakan Non-Blok, pada dasarnya ditujukan kepada semua negara tak
terkecuali Amerika Serikaat, Rusia dan Republik Rakyat Cina.
Namun
terkait sikap Amerika Serikat, khususnya Presiden Barrack Obama, ada
satu catatan khusus yang perlu kita cermati kembali. Obama yang ketika
itu bertindak sebagai tuan rumah KTT Keamanan Nuklir, Yang kiranya dalam
kasus Ukraina, konsistensinya untuk memberlakukan denuklirisasi
terhadap Iran dan Korea Utara, apakah akan diberlakukan sama terhadap
Ukraina, yang dalam konteks Krisis Ukraina, justru memihak
kelompok-kelompok neo nazi seperti Partai Svoboda.
Dalam
pidato Obama di KTT tersebut, terungkap adanya agenda khusus yang
sasaran pokoknya tetap sejalan dengan Presiden George W. Bush. Yaitu,
mendesak dunia internasional untuk secara eksplisit mengecam dan
mengutuk kepemilikan nuklir Republik Islam Iran.
Dalam pidantonya di depan peserta KTT, Obama tetap saja menyanyikan lagu lama, bahkan tetap dengan aransemen lama. “Jaringan
teroris seperti Al Qaeda telah mencoba mendapatkan bahan baku untuk
senjata nuklir. Dan jika mereka berhasil, mereka akan menggunakannya,” tegas
Obama di tempat KTT, Washington Convention Center. Siapa yang dia
maksud dengan jaringan teroris seperti Al Qaeda? Bisa dipastikan Obama
sedang membidikkan sasaran tembaknya kepada negara-negara tertentu
seperti Iran dan Korea Utara.
Padahal,
manuver Obama tersebut dengan mudah bisa kit abaca arah dan tujuannya.
Menjadikan Al Qaeda sebagai sasaran tembak, hanya sekadar sasaran antara
untuk menembakkan sasaran yang sesungguhnya yaitu Iran. Frase yang yang
digunakan Obama untuk menyerang Iran secara tersirat adalah soal
kepemilikan plutonium sebagai bahan baku nuklir. Dalam pidatonya Obama
mengajak para kepala negara untuk menjaga keamanan bahan baku nuklirnya
agar tidak jatuh ke tangan teroris.
Menurut
Obama, kepemilikan plutonium yang tidak lebih besar dari sebuah apel
akan bisa meledakkan kekerasan dan menyebabkan ribuan akibat. Dengan
begitu, jelaslah bahwa agenda pokok Obama tidak murni soal pengurangan
persenjataan nuklir, melainkan untuk menggalang dukungan dunia
internasional, termasuk Rusia yang merupakan pesaing potensialnya, untuk
beramai-ramai menghukum dan memberi sanksi berat kepada Iran.
Pertanyaanya
sekarang, bagaimana sikap Amerika ketika Ukraina saat ini memutuskan
untuk mengaktifkan kembali program persenjataan nuklirnya? Memang pada
KTT di Washington tersebut, beberapa negara, yang termasuk negara-negara
satelit Amerika seperti Kanada, Ukraina, dan Meksiko, menyatakan akan
menghentikan pengayaan uranium sebagai langkah maju agar kelompok
teroris semakin sulit untuk mencuri atau memiliki bahan baku kunci untuk
membuat senjata nuklir. Tapi harap diingat, hal itu berlangsung pada
2010, ketika krisis Ukraina belum terjadi atau tak terbayangkan akan
terjadi. Dalam kondisi sekarang, ketika krisis Ukraina menyeret
pertarungan terbuka antara Amerika-NATO versus Rusia, maka ada
kekhawatiran bahwa AS akan melanggar sendiri komitmennya terkait Non Proliferation Treaty (NPT).
Menyikapi
tren global yang mengkhawatirkan ini, Global Future Institute merasa
perlu untuk mengajak semua pihak baik di Indonesia maupun luar negeri,
agar semakin memperkuat monitoring dan pengawasan terhadap semua
kegiatan dan perilaku negara-negara yang tergabung dalam IAEA, khususnya
yang duduk di kepengurusan periode saat ini. Agar tetap konsisten untuk
menerapkan komitmen NPT bagi semua negara, tanpa kecuali.
Sumber : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16620&type=4#.VGmT_smIqDE
|
0 komentar:
Posting Komentar