Penulis: Bapak Besar
Semenjak terjadinya krisis Crimea di awal tahun 2014 nama Russia
mencuat di mana-mana, baik sebagai “negara tertuduh” maupun menjadi
negara yang dianggap sebagai “dewa penolong” dalam mengimbangi dominasi
negara-negara Barat.
Setelah mengalami keterpurukan yang luar biasa pasca runtuhnya Uni
Soviet, kebangkitan Rusia sungguh mencengangkan dunia. Rusia pada era
Boris Yeltsin, mengalami kemunduran ekonomi akibat dominasi kaum
oligarki yang merampok kekayaan negara. Skandal ini diperparah dengan
indikasi keterlibatan AS, IMF, dan World Bank yang tetap memberikan
pinjaman meski mengetahui bahwa pinjaman ini jatuh ke tangan kaum
oligarki. Tidak hanya itu, orang-orang terdekat dan bahkan Yeltsin
sendiri ditenggarai turut terlibat dalam kemunduran Rusia. Kemunduran
ini pada akhirnya membawa implikasi yang sangat buruk bagi kehidupan
penduduk Rusia. Tentara Rusia bahkan pernah digaji dengan sayur-mayur
karena kekosongan kas negara.
Kemunculan Vladimir Putin dalam pangggung politik Rusia yang didukung
oleh kaum siloviki membawa sebuah ‘gebrakan’ baru. Usai memegang
jabatan sebagai presiden Rusia pada tahun 2000, Putin segera
mengevaluasi kinerja ekonomi dan kemudian bertindak tegas terhadap kaum
oligarki. Di bawah kendali pria kelahiran 7 Oktober 1952 di St
Petersburg itu, Rusia tak hanya menjadi kekuatan penyeimbang dalam
militer namun juga ekonomi. Sebagai penyeimbang kekuatan militer, Rusia
mampu mencegah kesewenang-wenangan Amerika Serikat di Suriah. Dalam
bidang ekonomi, Rusia menjadi anggota G-20 juga BRIC. BRIC yang terdiri
dari Brasil, Rusia, India, dan China sebagai kekuatan baru dalam bidang
ekonomi dunia.
Putin berhasil membawa Rusia keluar dari keterpurukan ekonomi dengan
catatan prestasi ekonomi yang sangat gemilang. Kemiskinan berhasil
dikurangi karena keberhasilannya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Proyek pengurangan kemiskinan ini diikuti dengan baik oleh proyek
nasional bidang kesehatan, perumahan, dan perlindungan sosial. Jumlah
pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta pada 2006.
Dengan kekayaan minyaknya, cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar
dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober
2007. Total utang luar negeri Rusia pun hanya mencapai 47,8 miliar
dollar AS atau tinggal sepertiga dari total utang Rusia tahun 1999.
Dengan segudang prestasi gemilang ini, tak heran bila Rusia akhirnya
memperoleh pujian dari berbagai penjuru dunia. Rusia bahkan menjadi
salah satu contoh negara yang sukses tanpa menggantungkan diri pada
bantuan IMF. Kesuksesan ini pun diikuti oleh pemulihan peran
internasional Rusia. Rusia tidak saja sekedar bangkit tetapi berani
menantang dominasi AS. Rusia menjadi anggota resmi G-8. Alhasil Rusia di
bawah Putin meraih sukses dalam hubungan internasional, peran kuat yang
relatif serupa dengan Uni Soviet pada masa lampau. Tak heran bila
akhirnya majalah Time menobatkan Vladimir Putin sebagai Tokoh Dunia
tahun 2007.
Namun eforia masyarakat Russia atas keberhasilan pemerintah dalam
menangani keterpurukan ekonomi itu kemudian berubah menjadi mimpi buruk
di siang hari. Aneksasi Russia secara tiba-tiba membuat Barat menjadi
meriang dan akhirnya memberikan berbagai macam sanksi dari yang halus
sampai pada tahap yang cukup significant. Barat berusaha lebih giat lagi
untuk menggembosi Russia ke titik awal kehancuran Uni Sovyet.
Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh Kremlin, mereka sudah membuat
perencanaan yang matang sebelum melakukan aneksasi Crimea. Berbagai
macam skenario tentang respon Barat terhadap aneksasi Russia itu sudah
termasuk dalam perhitungan mereka. Bahkan Amerika pun sudah dipermalukan
Russia, dimana diberitakan oleh RBTH Indonesia, Departemen Luar Negeri
AS mengakui bahwa kru kapal perusak Amerika Donald Cook gentar ketika
berhadapan dengan pesawat pembom Rusia SU-24, meski pesawat tersebut
hanya sebuah kompleks persenjataan radio-elektronik yang tidak membawa
bom ataupun misil.
Apa yang membuat kru Amerika begitu ketakutan?
Pada Kamis (10/4), kapal perusak Amerika Donald Cook memasuki perairan Laut Hitam. Dua hari kemudian, pesawat pembom taktis Rusia Su-24 “membekukan” kapal perusak itu. Beberapa media melaporkan bahwa kru Donald Cook gentar saat bertemu dengan pesawat tersebut dan 27 pelaut Amerika mengajukan permohonan pengunduran diri dari Angkatan Laut.
Pada Kamis (10/4), kapal perusak Amerika Donald Cook memasuki perairan Laut Hitam. Dua hari kemudian, pesawat pembom taktis Rusia Su-24 “membekukan” kapal perusak itu. Beberapa media melaporkan bahwa kru Donald Cook gentar saat bertemu dengan pesawat tersebut dan 27 pelaut Amerika mengajukan permohonan pengunduran diri dari Angkatan Laut.
Donald Cook adalah kapal perusak armada generasi ke-4 milik Angkatan
Laut AS. Senjata kunci Donald Cook berupa rudal jelajah Tomahawk yang
memiliki jangkauan terbang hingga 2.500 kilometer dengan membawa bahan
ledak nuklir. Kapal ini membawa 56 rudal Tomahawk dalam mode standar,
dan 96 rudal untuk mode menyerang.
Kapal perusak ini dilengkapi dengan sistem pertahanan militer rudal
balistik Aegis terbaru. Kapal ini dapat memusatkan sistem pertahanan
udara dari semua kapal yang terpasang dalam jaringan yang sama
dengannya, sehingga kapal dapat melakukan pelacakan dan menembak ratusan
target pada saat bersamaan. Empat radar besar udara standar dipasang di
sisi-sisi kapal di atas dek menggantikan radar biasa. Sekitar 50 rudal
pencegat dari berbagai kelas dipasang bersama Tomahawk dalam instalasi
peluncuran universal pada bagian haluan dan buritan.
Sementara, pembom taktis Rusia SU-24 yang mendekati Donald Cook tidak
membawa bom ataupun rudal, hanya sebuah wadah berisi kompleks militer
radio-elektronik Khibiny. Setelah mendekati kapal perusak itu, Khibiny
mematikan radar, sirkuit kendali tempur, dan sistem pertukaran datanya.
Dengan kata lain, Su-24 mematikan seluruh Aegis seperti mematikan TV
dengan remote control. Setelah itu, SU-24 melakukan simulasi serangan
rudal pada kapal yang tidak dapat melihat dan mendengar serangan itu,
dan mengulangi manuver tersebut sebanyak 12 kali.
Ketika pesawat tempur pergi, Donald Cook segera bergerak menuju
pelabuhan Rumania dan tidak pernah mendekati perairan Rusia lagi.
Selain itu, Russia juga berhasil mempermalukan Amerika terkait dengan
krisis Suriah, dalam forum G20, St Petersburg, Rusia. Presiden Rusia,
Vladimir Putin secara terbuka mengancam Presiden Amerika Serikat Barack
Obama soal Suriah. Dilansir Russia Today, Jumat (06/09/2013), usai
memastikan Obama membatalkan pertemuan empat mata, Presiden Putin
mengatakan Rusia mungkin akan datang untuk membantu Suriah menyerang AS.
“Pesan kami adalah, jika Anda menyerang sekutu kami, maka kami mungkin akan datang,” tegas Putin.
Pernyataan terkeras Putin itu ditanggapi serius oleh Kepala Staf
Gabungan Angkatan Bersenjata AS, Jenderal Martin Dempsey. Dilansir
FoxNews, Pentagon telah memprediksi bahwa serangan militer AS ke Suriah
bisa berubah menjadi perang asimetris antara AS dan Rusia.
“Kemungkinan terjadi baku tembak dengan tentara Rusia sangat terbuka, karena kita menyerang sekutu mereka,” jelas Dempsey.
Kongres AS juga terkejut mendengar ancaman Putin. Anggota Kongres
dari Partai Republik, George Holding, dalam pertemuannya dengan para
jenderal Pentagon, mengatakan jika pilihan serangan militer ke Suriah
dilakukan, harus dipikirkan apa yang akan dilakukan AS jika Rusia
memutuskan untuk ikut menyerang.
Dalam menghadapi sanksi-sanksi dari pihak Barat pun Russia sudah
berhitung dengan cermat. Sehingga dampak dari sanksi-sanksi tersebut
tidak berpengaruh secara significant terhadap Russia.
Mengapa Russia tak takut lagi kepada Barat
Barat terkesima, tak percaya Vladimir Putin menginvasi Ukraina. Semua diplomat Jerman, birokrat Euro Prancis dan intelektual Amerika tertegun bertanya-tanya, mengapa Russia memilih mempertaruhkan hubungan bernilai triliunan dolarnya dengan Barat?
Barat terkesima, tak percaya Vladimir Putin menginvasi Ukraina. Semua diplomat Jerman, birokrat Euro Prancis dan intelektual Amerika tertegun bertanya-tanya, mengapa Russia memilih mempertaruhkan hubungan bernilai triliunan dolarnya dengan Barat?
Para pemimpin Barat terpaku tak mengira para penguasa Russia tak lagi
menghormati Eropa seperti yang mereka perlihatkan usai Perang Dingin.
Russia tidak lagi menganggap Barat aliansi pembebas. Russia kini
menganggap semua yang ada di benak Barat melulu uang.
Para tangan kanan Putin tahu sekali soal ini. Selama bertahun-tahun
para penguasa Russia telah membeli Eropa. Orang-orang Russia mempunyai
mansion dan flat mewah dari West End di London sampai Cote d’Azure di
Prancis.
• Anak-anak Russia belajar di sekolah-sekolah khusus nan elite di
Inggris dan Swiss, sedangkan uang mereka diparkir di bank-bank Austria
dan ditampung sistem pajak rendah Inggris.
• Lingkaran terdalam kekuasan Putin tak lagi takut terhadap sikap
Eropa. Mereka kini tahu betul siapa Eropa. Mereka bisa langsung melihat
betapa rendahnya mental para aristokrat dan konglomerat Barat, yang
matanya akan berbinar-binar setiap kali miliaran dollar uang Russia
dimainkan.
• Russia sekarang menganggap Barat munafik karena elite-elite
Eropalah yang justru membantu orang-orang Russia menyembunyikan
kekayaannya.
Dulu Russia menyimak saat kedubes-kedubes Eropa mengutuk korupsi di
BUMN-BUMN Russia. Tapi sekarang tidak lagi. Karena Russia tahu sekali
bahwa para bankir, pengusaha dan pengacara Eropa justru melakukan kerja
kotor bagi orang-orang Russia untuk menyembunyikan uang hasil korupsi
mereka di Antila Belanda dan Kepulauan Virgin, Inggris.
Bank sentral Russia memperkirakan dua pertiga dari 56 miliar dolar AS
uang yang ada di Russia pada tahun 2012, ada kaitannya dengan
kegiatan-kegiatan tidak syah, hasil berbagai kejahatan seperti pungli,
uang narkotika atau penggelapan pajak. Ini adalah uang yang digulungkan
para bankir kaya raya Inggris sebagai karpet merah demi masuknya orang
Russia ke London.
Di balik korupsi Eropa, Russia melihat kelemahan Amerika. Kremlin tak
yakin negara-negara Eropa, kecuali Jerman, benar-benar independen dari
Amerika Serikat. Russia kini melihat Eropa tak lebih dari negara-negara
klien yang bisa dipaksa Washington, untuk tidak berbisnis dengan
Kremlin. Namun Moskow tidak gugup, para elite Russia telah mengekspos
Barat dengan cara luar biasa dengan menawan properti-properti dan
rekening-rekening bank Eropa. Hal ini terbukt, ketika Spanyol, Italia,
Yunani dan Portugal saling sikut untuk menjadi mitra bisnis terbaik
Russia. Kremlin melihat kontrol Amerika atas Eropa perlahan memudar.
Secara teoritis, hal ini akan membuat Barat rentan, mengingat
penarikan dana secara tiba-tiba oleh adanya investigasi pencucian uang
dan larangan visa bisa memangkas kekayaan mereka. Dari masa ke masa
Russia menyaksikan betapa pemerintah-pemerintah Eropa menolak meloloskan
undang-undang yang mirip dengan UU Magnistky AS yang mencegah para
pemimpin kriminal memasuki Amerika Serikat.
Semua ini membuat Putin percaya diri, percaya bahwa elite Eropa lebih tertarik kepada uang ketimbang menghadapinya.
secara langsung. Hal ini dibuktikan, ketika pasukan Russia sudah mencapai pinggiran Tbilisi, ibukota Georgia, pada 2008, rangkaian pernyataan dan gertakan keluar dari Barat, namun saat dihadapkan pada miliaran dolar dana Russia, mereka menjadi ciut. Lalu, setelah para tokoh oposisi Russia diadili, Uni Eropa mengirim surat keprihatinan, tapi sekali lagi mereka bungkam saat miliaran dolar uang Russia tersaji di hadapan mereka.
secara langsung. Hal ini dibuktikan, ketika pasukan Russia sudah mencapai pinggiran Tbilisi, ibukota Georgia, pada 2008, rangkaian pernyataan dan gertakan keluar dari Barat, namun saat dihadapkan pada miliaran dolar dana Russia, mereka menjadi ciut. Lalu, setelah para tokoh oposisi Russia diadili, Uni Eropa mengirim surat keprihatinan, tapi sekali lagi mereka bungkam saat miliaran dolar uang Russia tersaji di hadapan mereka.
Russia melihat Barat berbicara soal hak-hak asasi manusia tapi mereka
sendiri tidak lagi mempercayainya. Eropa sungguh sudah dikendalikan
oleh elite bermoralitas hedge fund (pengelola dana atau pialang): Keduk
uang dengan cara apa saja, lalu parkir uang itu di luar negeri. Kremlin
kini tahu rahasia perang kotor Eropa. Kremlin tahu pasti sikap Eropa.
Orang-orang bermuka masam yang mengendalikan Russia di saat ini melihat
Barat seperti para politisi di akhir masa Soviet.
Di Moskow, Russia menyimak kelemahan Amerika di luar Kedubes Moskow
saat ini. Amerika Serikat masih harus berjuang untuk pulih dari krisis
dan menyesuaikan diri kepada perkembangan dunia yang kini polisentris.
Upaya AS mengonsolidasikan dunia yang unipolar terbukti gagal. Di sektor
militer, AS menarik pasukannya dari Iraq dan meninggalkan Afghanistan
yang tidak bisa dipungkuri sebagai dampak dari membesarnya defisit
anggaran dalam negerinya. Sementara itu, AS harus meminjam dari China
dan negara-negara besar lain sebesar 30 sen dari setiap dolar
pengeluaran warganya di tahun berselang.
Dulu Kremlin khawatir petualangan keluar negeri akan memicu sanksi
ekonomi ala “perang dingin” yang merugikannya, seperti larangan ekspor
komponen-komponen kunci bagi industri minyaknya atau bahkan diputusnya
akses ke sektor perbankan Eropa. Kini kekhawatiran seperti ini tidak ada
lagi.
Aneksasi Crimea merupakan suatu tindakan yang sudah direncanakan
secara matang dan sudah diperhitungkan untung ruginya. Russia pun sudah
melihat Amerika bingung karena perjudian Putin di Ukraina menggoyahkan
kebijakan luar negeri AS yang lebih memilih membicarakan China atau
berpartisipasi dalam perundingan damai Israel-Palestina.
Keberhasilan Russia dalam meningkatkan peran mata uang rubel Rusia
dalam pelaksanaan ekspor sekaligus mengurangi pangsa transaksi dalam
mata uang dolar telah benar-benar memukul Amerika secara ekonomi.
Menurut Deputi Pertama Perdana Menteri Federasi Rusia Igor Shuvalov,
“hal ini membuktikan bahwa Moskow sangat serius dalam tekadnya untuk
berhenti menggunakan dollar”. Pertemuan berikutnya dipimpin Wakil
Menteri Keuangan Alexey Moiseev yang kemudian mengatakan pada saluran
Rossia 24 bahwa “jumlah kontrak rubel akan meningkat”. Tentu saja
keberhasilan kampanye Moskow untuk beralih ke perdagangan rubel atau
mata uang regional lainnya tergantung pada kemauan mitra dagangnya untuk
menyingkirkan dolar (dalam perdagangan bebas-dolar). Sumber yang
dikutip politonline.ru, menyebutkan ada dua negara yang bersedia
mendukung ide Rusia yaitu Iran dan China.
Prospek Kebangkitan Russia di Masa Datang
Kebangkitan Russia saat ini seakan sudah menjadi “takdir” yang harus terjadi, sebagai jawaban atas hegemoni Barat, yang seolah-olah bisa melenggang bebas tanpa hambatan. Dengan meningkatkan hubungan dengan China kepada tahap yang lebih tinggi, Russia berharap bisa membendung ambisi dan kepongahan Barat untuk menekan Russia agar bisa dikendalikan semau mereka. Selain itu, Russia melangkah lebih maju lagi dengan secara terang-terangan menentang hegemoni Barat di seluruh dunia.
Kebangkitan Russia saat ini seakan sudah menjadi “takdir” yang harus terjadi, sebagai jawaban atas hegemoni Barat, yang seolah-olah bisa melenggang bebas tanpa hambatan. Dengan meningkatkan hubungan dengan China kepada tahap yang lebih tinggi, Russia berharap bisa membendung ambisi dan kepongahan Barat untuk menekan Russia agar bisa dikendalikan semau mereka. Selain itu, Russia melangkah lebih maju lagi dengan secara terang-terangan menentang hegemoni Barat di seluruh dunia.
Dahulu Russia menyikapi hubungan segitiga, antara Russia – China di
satu sisi dan Russia – Amerika (dan sekutunya) di sisi lalin dengan cara
berusaha menjaga hubungan yang kuat dengan Beijing dan Washington,
tanpa bersekutu dengan Amerika untuk melawan China ataupun bersekutu
dengan China untuk melawan Amerika.. Namun keadaan ternyata berbicara
lain, dengan timbulnya krisis Crimea mau tidak mau Russia harus
merangkul China untuk menghadapi Amerika dan sekutunya. Dengan kata
lain, saat ini kita tahu bahwa perang dingin jilid kedua sudah
berlangsung di depan mata.
Russia juga menggandeng negara-negara yang tidak sealiran dengan
pihak Barat namun mereka memiliki potensi ekonomi yang besar dengan
membentuk berbagai macam institusi tandingan di bidang ekonomi, politik
dan militer. Salah satunya adalah dengan pembentukan BRICS.
BRICS merupakan tandingan dari Bank Dunia dan IMF yang sudah menolak
membantu Russia dan negara-negara berkembang yang dianggap oleh Barat
sebagai negara “pelanggar hak-hak azasi manusia”. BRICS beranggotakan
Russia, China, Brasil, India dan Afrika Selatan, negara-negara dengan
pertumbuhan ekonomiyang tinggi. Akronim ini pertama dicetuskan oleh
Goldman Sachs pada tahun 2001. Menurut Goldman Sachs, pada tahun 2050,
gabungan ekonomi keempat negara itu akan mengalahkan negara-negara
terkaya di dunia saat ini.
KTT pertama berlangsung di Yekaterinburg, Rusia, pada tanggal 16 Juni 2009, dengan dihadiri oleh:
• Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva,
• Presiden Rusia Dmitry Medvedev,
• Perdana Menteri IndiaManmohan Singh, dan
• Presiden RRT Hu Jintao.
• Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva,
• Presiden Rusia Dmitry Medvedev,
• Perdana Menteri IndiaManmohan Singh, dan
• Presiden RRT Hu Jintao.
KTT BRIC yang kedua berlangsung pada tanggal 15 April 2010 di ibukota
Brazil, Brasilia. Pada kedua KTT tersebut, BRIC menyatakan posisinya
pada berbagai isu global, antara lain:
• Reformasi institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank
Dunia agar dapat lebih menampung aspirasi negara-negara berkembang
• Perlunya diversifikasi sistem moneter internasional, tidak terfokus lagi pada US Dollar sebagai mata uang internasional
• Agar PBB memainkan peran yang lebih penting dalam diplomasi multilateral
• Peran yang lebih besar untuk Brazil dan India di PBB (agar kedua
negara tersebut juga bisa menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB)
Saat ini Russia menyikapi berbagai strategi Amerika dan sekutunya
dalam memainkan bidak caturnya di dunia internasional. Russia tahu,
Amerika sedang memainkan dua kartu utamanya, yaitu perang melawan
teroris (Islamic State) untuk mengalihkan perhatian pada kejadian perang
Hamas vs Israel yang berakhir dengan sangat memalukan bagi Israel dan
wabah virus Ebola yang diekspos untuk menutupi rasa malu Amerika dalam
menyikapi Krisis Crimea.
Keberhasilan Russia dalam menganeksasi Crimea memang sebuah prestasi
gemilang, namun untuk melakukan ekspansi langsung ke Ukraina adalah
persoalan lain. Tentunya Russia harus berpikir masak-masak bila ingin
melakukan ekspansi secara langsung ke Ukraina, Saat ini pun Putin sedang
kerepotan dalam menghadapi sanksi-sanksi ekonomi dan politik yang
diberikan oleh pihak Barat kepada Russia, apalagi jika Russia bertindak
lebih jauh. Untuk melakukan ekspansi langsung Russia tidak akan berani,
terkait dengan pemberian sanksi-sanksi Barat kecuali ada suatu “tragedy”
yang mengharuskan bertindak dengan segera. Di sisi lain, pihak Barat
yang sudah pernah kecolongan dalam krisi Crimea tentu akan melakukan
perhitungan ulang dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam
menghadapi Russia.
Walaupun Amerika sendiri sudah menyatakan untuk mengurangi anggaran
militer secara besar-besaran, namun sebenarnya dana ini dialokasikan
kedalam pembentukan satuan intelijen secara massive di seluruh dunia.
Dalam perang frontal bisa dikatakan Amerika selama ini belum pernah
memenangkan pertempuran secara sendirian kecuali di Panama, namun dalam
perang intelijen jangan ditanyakan kehebatan Amerika sekutunya.
Intelijen Barat sudah berprestasi dalam menjatuhkan rezim-rezim negara
lain, termasuk dua kali di Indonesia, pada jaman Sukarno dan Suharto.
Selain itu, mereka sudah berhasil melepaskan Polandia dari Uni Sovyet
dulu, meruntuhkan tembk Berlin dan yang paling legendaris adalah
menumbangkan negara Uni Sovyet dan aliansinya Pakta Warsawa. Selain itu
juga sudah berhasil “mengeliminasi” Hugo Chaves dari pentas politik di
Venezuela. Namun mereka pernah tersandung juga tiga kali di Iran dalam
operasi Blue Light jaman Presiden Jimy Carter, skandal Iran Contra pada
jaman Ronald Reagan dan penyusupan unit pasukan khusus di perairan Iran,
dimana pasukan Amerika berhasil ditangkap oleh Garda Republik Iran.
Selain kartu “virus Ebola” dan “Islamic State”, Amerika dan sekutunya
pasti juga mengincar China dengan membujuk Beijing untuk lebih dekat ke
Barat daripada ke Russia. Sehingga dengan demikian China bisa
membatalkan segala bentuk kerjasamanya dengan Russia yang akan berakhir
dengan kelumpuhan Russia di bidang ekonomi. Namun lagi-lagi upaya ini
sudah berhasil diendus sejak lama oleh Kremlin dan diantisipasi dengan
beberapa perjanjian rahasia tentang alih teknologi militer.
Di pihak lain, diam-diam Russia juga menjalin kerjasama rahasia
dengan beberapa negara Eropa Barat dan Israel. Dengan demikian, bisa
tetap bertahan dalam menghadapi tekanan dari pihak Barat yang dipimpin
oleh Amerika. Dalam kasus kapal Mistral buatan Perancis, Presiden
Perancis Francois Hollande, bahkan harus berhadapan dengan para pekerja
yang melakukan demonstrasi di dekat galangan kapal Mistral. Selain itu
Hollande sendiri tidak mau membatalkan serah terima kapal tersebut
dengan Russia, kecuali resikonya ditanggung bersama oleh pihak Barat.
Satu hal lagi, Russia juga melihat dengan cermat kondisi politik
pasca pemilu di Indonesia. Adanya pergantian pemerintahan secara
otomatis akan berpengaruh juga terhadap kebijaksan pemerintahan baru
kepada mitra-mitra lamanya. Tentunya Russia tidak ingin kerjasama yang
sudah terjalin lama dengan Indonesia dan dengan pengorbanan darah dan
air mata akan berakhir menjadi sia-sia lagi.
Russia sudah membuat berbagai skenario yang mungkin terjadi pada
pemerintahan baru di Indonesia. Berkaca pada sejarah masa Orde Baru
dimana pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Suharto kala itu
secara terang-terangan berpihak ke Barat dan menafikan sahabat lamanya,
maka Russia membuat strategi baru yang memungkinkan hal itu tidak
terulang lagi paling tidak bisa diminimalisir semaksimal mungkin.
Namun di balik crita keberhasilan Vladimir Putin dalam memimpin
Russia menuju negara Super Power baru, ada juga beberapa cerita miring
tentang pemerintahan Russia saat ini. Salah satunya adalah kritikan
terhadap Putin terkait pemberangusan media dan internet di Russia.
Sehingga warga tidak bisa bebas lagi mengungkapkan secara bebas perasaan
dan pendapat mereka tentang negara dan pemerintahan Russia.
Dengan alasan telah mencampuri proses politik dalam negeri (pemilu),
pada Oktober 2012, kantor salah satu “badan besar” negara terkemuka
didunia yang telah berdiri di Moskow sejak 20 tahun lalu diminta untuk
ditutup dan dihentikan kegiatannya.
Pada bulan sama, melalui pengesahan presiden, telah dikeluarkan UU
tentang Pengkhianatan terhadap negara yang memungkinkan para aparat
penegak hukum menyasar seseorang telah bekerja sama dengan organisasi
internasional karena membocorkan rahasia negara.
Sebulan sebelumnya, Presiden berusia 61 tahun pemegang sabuk hitam
tae kwon do dan yang selalu tampil fit ini menandatangani peraturan yang
mengharuskan setiap organisasi kemasyarakatan yang memperoleh bantuan
dari luar, teregistrasi sebagai “agen asing”.
Berbagai kebijakan Pemerintahan Putin ini serta merta menuai protes
dan tentangan dari berbagai pihak, khususnya organisasi kemasyarakan
internasional dan pemerintah negara-negara Barat yang selama ini memang
selalu mengkritisi pemerintahan Putin sebagai rejim yang kurang
mempromosikan nilai-nilai demokrasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Rasanya masih jauh untuk bisa mengikuti
jejak Russia untuk saat ini. Sementara Russia di bawah kepemimpinan
Presiden Vladimir Putin sudah menarik benang merah yang tegas dengan
negara-negara Barat, kita masih berada di “Grey Area”. Kita belum berani
menentukan sikap yang tegas dengan siapa kita berteman dan dengan siapa
kita harus bertindak. Ataukah kita menjadi negara non blok, seperti
yang pernah digagas Bung Karno? Sejarah berkata lain, semenjak kejatuhan
Presiden Sukarno kita ternyata lebih banyak berkiblat ke barat, status
sebagai negara non block hanya sebuah lips service semata. Kenyataan
membuktikan, pada saat terakhir menjelang kejatuhan Suharto, beliau
mencoba untuk mengakrabkan diri dengan Russia, yang tentu saja memancing
emosi dari pihak Barat dan berakhir dengan kejatuhan beliau sendiri.
Persis seperti yang dialami oleh Presiden Sukarno dahulu, ditikam dari
belakang oleh orang-orang terdekatnya sendiri, tentunya pun dengan
bantuan blok Barat.
Masihkah kita tidak puas dengan satu contoh, Perancis yang dulu
merupakan negara terbesar di daratan Eropa, pernah keluar dari NATO dan
memutuskan untuk berdiri sendiri pun ternyata akhirnya bergabung kedalam
masyarakat Uni Eropa. Saat Perancis menyatakan sikap yang berbeda
dengan Amerika dalam perang Irak, akhirnya mau tidak mau harus tunduk
dengan kemauan Amerika setelah kota Paris dilanda kerusuhan massal yang
berlanjut dengan pembakaran dan penjarahan massal menjelang naiknya
Nikolas Sarkozy ke tampuk kepresidenan. Saat ini pun Perancis masih
gamang menyikapi tekanan Amerika dalam penjualan kapal Mistral ke
Russia.
Di manapun di dunia “zero enemy and million friends” hanyalah
retorika belaka, Tiada kawan maupun lawan yang abadi, hanya
kepentinganlah yang abadi, pada akhirnya hanya akan ada satu pilihan,
“you’re with us or against us…..”
Ada sebuah kutipan yang menarik dari Putin, terkait dengan nilai-nilai strategi dan masa depan pembangunan Rusia, yaitu:
“Yang lebih menentukan keberhasilan pembangunan adalah kualitas warga
negara dan kualitas masyarakat dalam artian ketangguhan intelektual,
spiritual dan moralnya, serta sejauh mana mereka mengidentifikasikan
dirinya sebagai bagian dari sejarah, nilai dan tradisi bangsa.”
Referensi:
• Antara
• Wikipedia
• RBTH Indonesia
• www2.goldmansachs.com/insight/nb,nnmresearch/reports/report32.html
• islamtimes.org
• Simon Saragih, “Belajar dari Kebangkitan Russia Kini”, m3opini.wordpress.com.
• www.mpr.go.id
• Russia Today
• Djauhari Oratmangun, “Kebangkitan Rusia: determinasi dan pragmatisme Putin”, Antara 2013.
• Wikipedia
• RBTH Indonesia
• www2.goldmansachs.com/insight/nb,nnmresearch/reports/report32.html
• islamtimes.org
• Simon Saragih, “Belajar dari Kebangkitan Russia Kini”, m3opini.wordpress.com.
• www.mpr.go.id
• Russia Today
• Djauhari Oratmangun, “Kebangkitan Rusia: determinasi dan pragmatisme Putin”, Antara 2013.
0 komentar:
Posting Komentar