|
Masjid Biru mulai dibangun pada 1910 ketika umat Islam di Rusia saat itu
hanya berjumlah sekitar delapan ribu orang. Foto: Wikipedia |
Pada Juni 2014 lalu, saya berkesempatan mengunjungi salah satu kota terindah di Rusia, Sankt Petersburg.
Selama empat hari berwisata di kota yang indah tersebut, saya sempat
mengunjungi Masjid Biru yang terkenal. Masjid indah yang berdiri kokoh
di pusat kota ini ternyata memiliki kenangan manis dengan Indonesia,
tepatnya Presiden Soekarno.
Dalam kunjungannya ke Uni Soviet pada 1956, presiden pertama Indonesia
tersebut menyempatkan diri mampir ke kota Leningrad (nama kota Sankt
Petersburg pada masa itu). Kota ini sangat cantik, memiliki arsitektur
yang memesona, dan terletak di delta Sungai Neva. Tak heran, kota ini
pernah menjadi rebutan banyak negara. Di kota ini pula berdiri
istana-istana terkenal, seperti Istana Musim Panas Petergof, Istana
Musim Dingin Hermitage, serta Benteng Peter dan Paul. Saat melintasi
jembatan Trinity Bridge yang berdiri di atas Sungai Neva, pandangan
Soekarno saat itu tertuju pada bangunan berbentuk masjid yang berada di
kejauhan.
Bangunan itu memiliki kubah biru dengan gaya
arsitektur Asia Tengah. Dua menara kembarnya yang menjulang tinggi
berhadapan dengan beberapa gereja di sekitarnya. Saat itu, Soekarno
mengalkulasi: jika bangunan itu sebuah masjid, pasti mampu menampung
lebih dari tiga ribu jemaah muslim untuk beribadah. Soekarno pun
mengajak rombongan mendatangi bangunan itu. “Sejumlah jadwal kunjungan Presiden Soekarno yang telah disusun ke Leningrad dibatalkan,” cerita imam Masjid Biru Sankt Petersburg Zhapar N. Panchaev.
Setelah tiba, ternyata bangunan tersebut memang
secara fisik adalah sebuah masjid, tapi telah beralih fungsi menjadi
sebuah gudang.
|
Kini, Masjid Biru masih berdiri tegak di Sankt Petersburg. Foto: Fauzan Al-Rasyid/RBTH Indonesia
|
Di bawah pemerintahan komunis Uni Soviet,
seluruh masjid dan gereja di seluruh negeri beralih fungsi menjadi
gudang dan beragam kegunaan lain. Masjid Biru, salah satunya, dijadikan
gudang sejak Perang Dunia II.
Setelah kunjungannya ke masjid tersebut, Soekarno kemudian bertemu Nikita Khrushchev,
sang pemimpin Soviet. Saat Khrushchev bertanya bagaimana kesan Soekarno
mengenai Leningrad, sang presiden malah membahas kondisi Masjid Biru
yang baru ia kunjungi. “Soekarno meminta masjid ini dikembalikan
sesuai fungsinya. Hanya sepuluh hari setelah kunjungan Presiden
Soekarno, bangunan ini kembali menjadi masjid,” kata Panchaev.
|
Saat
berkunjung ke masjid bersejarah ini, memang di dalam masjid saat itu
sangat sepi. Namun, menurut Alimzhan, penjaga masjid, setiap hari Jumat
masjid ini penuh oleh umat Islam yang menunaikan ibadah salat Jumat.
Foto: Fauzan Al-Rasyid/RBTH Indonesia
|
Masjid Biru mulai dibangun pada 1910 ketika umat Islam di Rusia
saat itu hanya berjumlah sekitar delapan ribu orang. Sebagian besar
para pekerja yang membangun masjid ini adalah mereka yang tengah
membangun kapal di galangan Sungai Neva. Para pekerja muslim ini berasal
dari kawasan selatan Soviet seperti Dagestan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan.
Izin pembangunan masjid ini diberikan langsung oleh
Tsar Nikolai II pada 3 Juli 1907 di Petergof. Sang arsitek masjid,
Nikolai Vasilyev, memadukan ornamen ketimuran dan mosaik biru toska pada
kubah, gerbang masjid, menara, serta mihrab imam. Tak heran, masjid ini
pun lebih dikenal dengan nama Masjid Biru.
Pembangunan masjid dilakukan setelah dibentuk komite
khusus pada 1906 yang diketuai Ahun Ataulla Bayazitov. Emir Bukhara Said
Abdoul Ahad tercatat sebagai penyumbang terbesar pembangunan masjid
ini. Said Abdul Ahad membiayai semua biaya pembangunan masjid. Saat
resmi dibuka pada 1913, Masjid Biru adalah masjid terbesar di Eropa.
Masjid ini memiliki kubah biru setinggi 39 meter dan menara kembar
setinggi 49 meter.
|
Desain arsitektur salah satu pintu masjid dengan dominasi warna biru toska. Foto: Wikipedia |
Setelah ditutup dan dijadikan gudang pasca-Perang
Dunia II (1942-1956), masjid ini dipugar secara besar-besaran pada 1980.
Sang penjaga masjid, Alimzhan mengatakan, Masjid Biru selalu menjadi
objek kunjungan pemimpin-pemimpin negara Islam bila datang ke Sankt
Petersburg. “Saya sendiri bertemu Gamal Abdul Nasser dari Mesir ketika beliau berkunjung ke sini,” katanya.
Kini, Masjid Biru masih berdiri tegak di Sankt
Petersburg. Lingkungannya tak berubah, masih tepat di jantung kota,
berseberangan dengan benteng Peter dan Paul. Di depannya, terbentang
Taman Gorkorvskaya yang luas dan dipenuhi pepohonan tua.
Di dalam masjid terhampar karpet biru,
dinding-dindingnya dihias dengan ornamen-ornamen khas Rusia dan tak lupa
hiasan kaligrafi di setiap sudutnya. Saat berkunjung ke masjid
bersejarah ini, saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk beribadah
salat asar. Di sana, saya sempat bertemu beberapa orang imigran asal
Tajikistan yang sedang beribadah. Seusai salat, kami sempat
berbincang-bincang dan saya menyempatkan untuk membaca Quran bersama
mereka. Menurut Alimzhan, setiap hari Jumat masjid ini penuh oleh umat
Islam yang menunaikan ibadah salat Jumat.
|
Saat
berkunjung ke Sankt Petersburg pada Juni 2014 lalu, kedua menara masjid
ini sedang direnovasi. Foto: Fauzan Al-Rasyid/RBTH Indonesia
|
Masjid Biru telah menjadi saksi manisnya hubungan Indonesia dan
Uni Soviet di era 50-an. Soviet yang berideologi komunis ternyata mau
mendengarkan permintaan sahabatnya untuk membuka kembali masjid
tersebut. Rasa saling percaya membuat kedua negara dapat membina
hubungan yang didasarkan pada ketulusan dan kejujuran. Itu membuktikan
bahwa perbedaan ideologi tak menjadi penghalang untuk menjaga hubungan
bilateral antara kedua negara, sambil terus saling menghormati satu sama
lain.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Berdasarkan informasi yang diolah dari buku “Sahabat Lama, Era Baru:
60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia” karya Toni Lebang
(2010).