Aksi para pilot top gun F-16 TNI AU. ©handout/tni au |
Jakarta – Tanggal 4 September 1999, menjadi
peristiwa bersejarah bagi rakyat Timor Leste. Tepat pada hari itu pula,
negeri yang terletak di Pulau Timor ini melepaskan diri dari Indonesia.
Di mana dalam hasil jajak pendapat memperlihatkan 78,5 persen warganya
ingin berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun,
tidak semua orang mau menerima hasil itu, kelompok pro-integrasi malah
menyerang kelompok anti-integrasi hingga membuat Dili, ibu kota Timor
Leste, mencekam. Kekacauan yang terjadi di kota tersebut membuat
Indonesia mendapat kecaman, bahkan Australia mengambil tindakan dengan
mengusulkan pembentukan The International Force of East Timor
(Interfet).
Pasukan ini terpaksa diterima Indonesia setelah
serangkaian tekanan dan kritik keras dari Amerika Serikat, Australia,
Inggris, Prancis, Jepang hingga PBB terhadap upaya pengamanan. Padahal,
dalam perjanjian New York, Indonesia berjanji memberikan pengamanan
selama berlangsungnya jajak pendapat.
Kehadiran Interfet justru
membuat publik Tanah Air merasa gerah, rakyat merasa Indonesia sedang
ditelanjangi habis-habisan oleh pasukan asing. Meski dikritik sana sini,
pemerintah hanya diam. Namun, TNI saat itu masih bertindak tegas
terhadap pasukan asing, terutama Australia yang ingin membawa pesawat
pembomnya ke Timor Leste.
Ketika media sedang gencar memberitakan
kedatangan pasukan Interfet, AU Australia meminta izin untuk membawa
masuk pesawat pembom strategis jenis F-111C ke Timor Leste. Mendengar
itu, Panglima Komando Operasi TNI-AU 2, Marsekal Madya Ian Santoso
Perdanakusuma naik pitam, dia tidak memberikan izin pesawat tersebut
untuk masuk.
“If you cross our border, I’ll shoot you down,” ancam
Ian dengan tegas dan singkat, seperti disandur dalam buku ‘Mengawali
Integrasi Mengusung Reformasi: Pengabdian Alumni Akabri Pertama 1970′,
Cetakan Pertama, September 2012.
Ian yakin Australia tak akan
berani menyeberangkan pesawat tersebut hingga ke Timor Leste. Tak mau
disebut gertak sambal, dia pun memerintahkan 12 jet tempur, yakni A-4
Skyhawk, Hawk 200 serta F-16 Fighting Falcon lengkap dengan rudal, radar
deteksi disiagakan. Bahkan, dia juga mempersiapkan Lanud di Makassar,
Kupang, Surabaya, Malang dan Madiun sebagai tempat pendaratan
alternatif.
Ian juga mempersiapkan pesawat Hercules C-130 di Lanud
Abdurrahman Saleh di Malang agar bisa mendukung penerbangan A-4
Skyhawk. Selama mempersiapkan mesin perang tersebut, Ian juga telah
memperhitungkan untung ruginya jika memang terjadi pertempuran di udara.
“Dua
kali gempur. Saya yakin tidak akan ada yang ketiga, karena pasti sudah
sama-sama habis,” ucap putra pahlawan nasional Halim Perdanakusuma ini.
Mendapat
ancaman itu, nyali Australia ciut juga. Mereka membatalkan pengiriman
pesawat-pesawat tersebut ke Timor Leste. Meski begitu, TNI beberapa kali
mendapati penerbangan gelap (black flight) di dekat wilayah udara
Indonesia, diduga dilakukan militer Australia.
Sumber : Merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar