Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopoitik Global Future Institute (GFI) | |
Bahasa
Inggrisnya Sukarno cukup beragu-ragu. Diwarnai dengan logat Malay
(Indonesia) yang sangat khas. Tetapi suaranya hangat, dengan daya
penarik karena bersandarkan perikemanusiaan yang mendalam. Suaranya itu
adalah salah satu dari suara-suara berdaya sihir yang dapat
mengungkapkan kekuatan-kekuatan rahasia, dan karena kekuatan dalamnya,
mempunyai daya mencipta peristiwa-peristiwa. (Arthur Conte, wartawan Perancis, dikutip dari bukunya Anglais de Soekarno est assez hesitant)
| |
Saya
teringat kala menyusun buku perdana saya, “Tangan-Tangan Amerika,
Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia”, pada 2010. Buku ini
mengkonstruksikan jalinan kisah seputar “Operasi Senyap” CIA dalam
membantu penggulingan beberapa kepala negara yang dipandang Washington
sebagai musuh. Para kepala negara yang berpotensi bertabrakan
kepentingan dengah korporasi global di balik kebijakan strategis luar
negeri Paman Sam.
Saat
membaca dokumen, maupun sumber sekunder lain, sontak muncul
temuan-temuan baru yang tentunya juga perspektif baru memaknai jalinan
kisah yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut.
Ternyata,
ada beberapa kepala negara yang ikut serta dalam Konferensi Asia Afrika
(KAA) di Bandung, pada April 1955, yang kemudian tergusur dari pentas
politik negaranya secara paksa.
U
Nu, Perdana Menteri Birma (Myanmar), digulingkan junta militer pimpinan
Jenderal Ne Win pada 1962. Bung Karno, digulingkan melalui kudeta
merangkak berliku sejak 1965 yang mencapai kulminasi 1967. Pangeran
Norodom Sihanouk digusur lewat kudeta militer Jenderal Nguyen van Thiu
pada 1970.
Menariknya
lagi, Presiden Aljazair Ben Bella, yang tidak ikut KAA di Bandung,
namun pemrakarsa sekaligus tuan rumah KAA di negaranya, digulingkan
Kolonel Houari Boumedienne pada 19 Juni 1965. Alhasil, KAA yang sedianya
23 Juni 1965 dibatalkan.
Kwame
Nkrumah dari Ghana, digusur militer pada Februari 1966. Pada KAA
Bandung, Nkrumah belum ikut. Namun dia salah satu pemrakarsa Konferensi
Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 di Beograd bersama Bung Karno, Gamal
Abdel Nasser (Mesir), Joseph Broz Tito (Yugoslavia), dan Pandit
Jawaharlal Nehru (India).
Kenapa
digusur? Apa karena dipandang Washington sebagai komunis yang berkiblat
ke Uni Soviet dan China? Bukan. Mereka ini pemrakarsa KAA dan GNB yang
bermaksud membangun “Kekuatan Ketiga” di luar skema AS-Inggris maupun
Soviet-China.
Mereka
berbahaya di mata para pemain tingkat tinggi Washington kala itu,
seperti David Rockefeller, Allen Dulles, Augustus C Long (senior CEO
Texaco Group), yang mewakili setidaknya 600 korporasi global AS yang
menguasai industri-industri berat seperti migas, tambang batubara, emas,
dan tentu industri strategis pertahanan.
“Kekuatan Ketiga” macam apa yang begitu menakutkan sehingga para arsitek KAA dan GNB jadi target untuk digulingkan?
Gagasan
pembentukan “Kekuatan Ketiga” memang baru dikumandangkan Bung Karno
secara konseptual pada pertengahan 1960-an, yang kemudian populer
disebut NEFOS atau The New Emerging Forces. Kekuatan ketiga yang bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-China.
NEFOS
merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif
“Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju
melalui perang non militer.
Sayang, harus terhenti sebelum menemukan format pas, menyusul tergusurnya Bung Karno, Ben Bella, U Nu, Nkrumah dan Sihanouk.
Lebih
sayang lagi, NEFOS yang harusnya jadi harta karun, seakan dengan sadar
dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim
Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia
sejarah” untuk menghidupkan, apalagi merevitalisasi NEFOS.
Dalam
berbagai kesempatan, secara provokatif, saya selalu mengingatkan
berbagai kalangan agar siap, jika sewaktu-waktu terjadi “Perang Asia
Timur Raya Jilid II”.
Mengapa? Sesuai prediksi Samuel Huntington, antara 2015-2017, persaingan global AS versus China akan makin menajam. “Proxy war” antara
kedua kutub --yang berlangsung di Asia Tengah sejak 2001 dan di Timur
Tengah seperti tercermin dalam konflik berdarah Suriah -- akan bergeser
ke kawasan Asia Tenggara.
Siapkah
kita? Sebagaimana kesiapsiagaan Bung Karno dan para perintis
kemerdekaan Indonesia saat mengantisipasi pecahnya Perang Asia Timur
Raya pada 1941-1945, dan berhasil mewujudkan kemerdekaan 17 Agustus
1945?
Saya
khawatir, para elit politik kita tak punya rujukan menjawab isu global
yang cukup krusial tersebut. Apalagi, menawarkan diri sebagai pusat
solusi dunia seperti saat Bung Karno menggulirkan gagasan
penyelenggaraan KAA dan GNB sebagai dasar kemunculan gagasan
terbentuknya “Kekuatan Ketiga”.
Padahal, meski tidak ada “Perang Dingin”, sejak China dan Rusia bersepakat membentuk Aliansi Strategis di bawah payung “Shanghai Cooperation Organization” (SCO), seharusnya kita siap memprakarsai kembali gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”, jika menghayati betul makna NEFOS.
India,
Brasil yang kemudian disusul Afsel, tampaknya jauh lebih imajinatif
daripada kita. Mereka mampu menyerap inspirasi terbentuknya SCO dan
kemudian memprakarsai Blok Ekonomi BRICS dengan mengikutsertakan Rusia
dan China sebagai kontra skema kapitalisme global AS-Uni Eropa.
Inilah
perang asimetrik yang berhasil dilancarkan India, Brasil dan Afsel
memanfaatkan polarisasi kutub AS-Uni Eropa versus China-Rusia.
Kita dan negara-negara ASEAN umumnya, yang menyadari betapa makin tajamnya persaingan AS versus China merebut “Sphere of Influence”
di Asia Tenggara, sebenarnya cukup berpeluang melakukan sebuah
inisiatif politik di dunia internasional. Untuk membangun sebuah aliansi
strategis baru di kawasan Asia Tenggara dan mengimbangi aliansi
konservatif AS-Uni Eropa.
Dengan
didasari gagasan merevitalisasikan NEFOS dalam kerangka membangun
“Kekuatan Ketiga”, model kerjasama ala SCO dan BRICS cukup inspiratif
sebagai bahan menyusun “Perang Asimetrik” terhadap kekuatan-kekuatan
politik internasional yang sedang menyasar Indonesia dan Asia Tenggara.
Inilah
relevansi yang saya katakan, apakah kita siap menyongsong Perang Asia
Timur Raya Jilid II dan muncul sebagai pemenang? Seperti kita
memanfaatkan momentum Perang Asia Timur Raya untuk kemerdekaan
Indonesia.
Bandung, Taman Mini Asia-Afrika
Kekhawatiran
KAA bakal membidani lahrinya blok ketiga di antara dua kutub dalam
perang dingin, terbukti melalui dua peristiwa penting menjelang
dibukanya KAA pada Senin 18 April 1955. Pada 11 April 1955 sekitar pukul
17, Ruslan Abdulgani yang dipercaya Bung Karno sebagai Ketua Panitia
persiapan, dikejutkan dengan berita SOS pesawat terbang Constellation
Kashmir Princes dari Air India jatuh di kepulauan Natuna, di wilayah
perairan Indonesia. Yang mengundang kecemasan Indonesia sebagai
penyelenggara KAA, terbetik kabar Perdana Menteri Cina Chou En Lai dan
beberapa delegasi Cina menumpang pesawat tersebut.
Spekulasi
mengenai adanya sabotase dan rencana pembunuhan Perdana Menteri En Lai
bukannya tanpa alasan sama sekali, karena kejadian sebelumya pada 13
Maret 1955 juga mewartakan adanya rencana pembunuhan terhadap Perdana
Menteri India Jawaharlal Nehru. Namun rencana tersebut berhasil dicegah.
Syukurlah sehari kemudian mendapat konfirmasi bahwa Perdana Menteri
Chou En lai tidak ikut dalam pesawat tersebut. Yang ikut dalam pesawat
itu adalah 11 anggota delegasi Cina yang sedianya akan menghadiri KAA di
Bandung, beserta 3 orang wartawan dari Cina.
Dari
kejadian ini, fakta bahwa di dalam pesawat Constellation Kashmir
Princes terdapat pejabat-pejabat penting Cina, mengisyaratkan bahwa
bukan tak mungkin pihak yang ingin menggagalkan KAA, mendapat informasi
bahwa Cho En Lai sedianya memang akan naik pesawat tersebut, hanya saja
pada menit-menit terakhir memutuskan naik pesawat yang berbeda. Besar
kemungkinan rencana pembunuhan Chou En Lai dan sabotase KAA berhasil
diketahui pihak intelijen Cina sehingga berhasil disusun operasi kontra
intelijen penyelamatan terhadap Chou En Lai.
Peristiwa
kedua, meski terkesan tersamar dan malah oleh Ruslan Abdul Gani justru
dikesankan sebagai sebentuk dukungan terhadap penyelenggaraan KAA,
terjadi pada 21 Maret 1955. Jauh hari sebelum berlangsungnya KAA.
Sekitar
14 sarjana/cendekiawan asal Amerika Serikat dari berbagai aliran,
mengirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di antara para
cendekiawan AS tersebut antara lain: Emily G Bach, ekonom dan sosiolog
pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian, novelis wanita Pearl Buck, SR
Marlow, dosen dan guru besar studi Agama, dan Lewis Munford, sejarawan
dan filosof.
Meski
dalam suratnya berharap akan berakhir sukses, namun tak bisa dipungkiri
ada nada tersirat untuk memperingatkan potensi KAA untuk membentuk blok
ketiga. Dalam salah satu paragrafnya mereka menulis:
“Banyak
penduduk dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik membentuk
blok-blok. Di tengah-tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian, kami
membuat surat ini untuk menganjurkan kepada Tuan : Bukanlah
keragu-raguan tetapi keberanian, bukannya perhitungan-perhitungan
tetapi kebijaksanaan, bukannya tindakan-tindakan sesuka sendiri,
melainkan disiplin, bukannya rencana untuk sesuatu blok tetapi kemajuan
cita-cita universal.”
Menurut
bacaan saya, meskipun Ruslan Abdul Gani dalam bukunya The Bandung
Connection menuturkan fragmen kisah ini sebagai sebentuk dukungan moral
dari beberapa cendekiawan AS, namun saya berpandangan bahwa ini
merupakan sebentuk peringatan tersamar yang sejatinya menyuarakan
kecemasan para perancang kebijakan strategis keamanan nasional di
Washington. Hanya saja mereka bermain cukup elegan dengan memanfaatkan
integritas independen para cendekiawan AS seperti Pearl Buck maupun
Emily G Bach.
Namun
demikian, rumusan para cendekiawan AS tersebut terhadap sasaran
strategis yang ada di benak para konseptor KAA seperti Bung Karno, Sir
Kotelawala ataupun Nehru, ada benarnya juga. “Besar harapan kami kepada
Tuan, mudah-mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka,
untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru.”
Memang
benar, frase yang mereka gunakan. Merumuskan dasar-dasar masyarakat
baru. Itulah gagasan utama yang mendasari terbentuknya Solidaritas
bangsa-bangsa Asia Afrika, pada perkembangannya memang merupakan
masyarakat baru. Hanya saja yang tak terbayangkan atau diharapkan para
cendekiawan AS tersebut. Karena masyarakat baru yang terumuskan
solidaritas Asia-Afrika dengan diikat oleh gerakan menentang
Imperialisme dan Kolonialisme, pada perkembangannya telah membidani
lahirnya Kekuatan Ketiga, atau Blok Baru sebagai alternatif dari Blok
Kapitalisme AS dan sekutu-sekutu baratnya versus Blok Uni Soviet dan
Cina.
Oleh
para pemrakarsa KAA, peringatan tersamar para cendekiawan AS tersebut
diubah menjadi inspirasi untuk menelorkan sesuatu yang baru dan orisinil
melalui KAA Bandung.
Bung
Karno, yang sangat menguasai betul dimensi geopolitik dari kolonialisme
dan imperialisme, dalam pidato pembukaan KAA mampu menginspirasi para
peserta:
“Saudara-saudara,
betapa dinamisnya zaman kita ini. Saya ingat, bahwa beberapa tahun lalu
saya mendapat kesempatan membuat analisa umum tentang kolonialisme. Dan
bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan
‘Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang mulai selat Jibraltar,
melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia,
Lautan Tiongkok Selatan(Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan
Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu
sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari
depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu,
sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan
kolonialisme.”
Melalui
paparan ini, Bung Karno secara inspiratif memberi sebuah gambaran nyata
sekaligus memetakan akar masalah sesungguhnya konflik global dan betapa
pentingnya para pemimpin Asia-Afrika yang hadir di KAA tersebut untuk
membangun solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika atas dasar nasib yang
sama: Menjadi sasaran geopolitik negara-negara kolonial atas dasar Garis
Hidup imperialisme yang secara geopolitik digambarkan Bung Karno.
Seperti yang ditandaskan oleh Bung Karno: “Dan
pada hari ini di gedung ini, berkumpullah pemimpin-pemimpin
bangsa-bangsa yang tadi itu! Mereka bukan lagi menjadi mangsa
kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat permainan
kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhi. Pada hari ini
tuan-tuan menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang
mempunyao perawakan dan martabat yang lain di dunia ini.”
Begitulah!
Melalui KAA Bung Karno telah menawarkan sebuah Kontra Skema terhadap
Garis Hidup Imperialisme. Yakni, Garis Hidup Asia-Afrika.
Jadi,
benarlah ungkapan Arthur Conte yang saya kutip di awal tulisan tadi.
Kemampuan Bung Karno mencipta peristiwa-peristiwa. Menjadikan dirinya
sebagai trend setter di tengah-tengah berkecamuknya Perang Dingin pasca
Perang Dunia II.
Sumber : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=17100&type=99#.VOVxHY7CaDE
|
0 komentar:
Posting Komentar