| KRI Yos Sudarso-353 di Selat Malaka, | 
Jakarta, Indonesia dengan konsep poros 
maritim dunia-nya saat ini ternyata mengundang beradunya dua kepentingan
 besar dunia, yakni antara Tiongkok dengan Amerika Serikat. Analis 
Pertahanan asal Universitas Indonesia (UI) Dr Connie Rahakundini Bakrie 
mengungkapkan hal tersebut kepada JMOL beberapa waktu lalu.
“Sebagai realis sejati sudah beberapa kali saya tekankan bahwa sejak 
zaman dahulu hingga sekarang, perang akan terus terjadi karena 3 faktor 
semata yaitu Agama, Sumber daya, dan jalur sumber daya. Kemasan atau 
judul bisa diganti-ganti tetapi tetap intinya perang,” kata Connie.
Antara Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini sudah mulai melakukan 
perang kepentingan di Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan langsung 
dengan Kepualauan Natuna (wilayah Indonesia). Tidak menutup kemungkinan 
perang tersebut akan bergeser ke Indonesia yang saat ini mendengungkan 
konsep poros maritim dunia.
“Eskalasi kawasan akan kebijakan AS beserta negara sekutunya dan 
statement AS yang keras bahwa Laut Tiongkok Selatan menjadi bagian dari 
kepentingan nasional AS yang jelas terkait pada faktor nomor dua dan 
tiga (sumber daya dan jalur sumber daya-red) tadi,” tandas Connie.
Kebijakan Tiongkok yang ingin mengamankan kepentingan nasionalnya dengan 1st  Island dan 2nd Island chains, diwujudkan dalam planning Tiongkok 2010 hingga 2050 untuk menjadi kekuatan Blue Water Navy yang sesungguhnya.
Lanjut wanita yang aktif mengajar di Sesko AL dan Sesko AU ini 
menambahkan bahwa kebijakan itu merupakan singgungan yang nyata dengan 
kepentingan AS.
“Kebijakan US Pivot yang hari ini disebut Asia Pivot yang dikaitkan 
juga pada strategi pembagian ‘pengamanan’ wilayah territorial maritim 
 dunia oleh US, maka terkait Indonesia patut diingat sesuai dengan 
konvensi hukum laut, setidaknya ada tiga jenis lintas yang diatur yaitu 
lintas damai, lintas alur laut kepulauan dan lintas transit,” 
sambungnya.
Menurut wanita yang menjabat sebagai Wakil Ketua ILUNI ini, hal itu 
jelas bahwa AS akan memfokuskan kekuatannya di perairan Indonesia untuk 
mengimbangi kekuatan Tiongkok.
“Mencermati ketiga jenis lintas tersebut menunjukkan adanya akomodasi
 kepentingan antara negara pantai atau kepulauan dengan negara pengguna.
 Untuk lintas transit, pada dasarnya merupakan perkembangan dari 
kebebasan pelayaran dan penerbangan di selat yang pada awalnya merupakan
 selat yang bukan menjadi milik negara pantai dan merupakan aplikasi 
dari kebebasan bernavigasi di laut bebas,” terangnya.
Dari indikasi tersebut, Indonesia yang memiliki 4 choke points dunia 
yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Wetar yang 
sangat rentan dengan tindakan-tindakan menyangkut kepentingan politik 
atas nama tiga lintas tersebut.
Penangkalan Ancaman
Meskipun seluruh peraturannya sudah jelas, tetapi Connie mengingatkan
 tidak mudah dalam hal pengawasan dan pengontrolan dari jalur-jalur itu.
Dr Connie Rahakundini Bakrie bersama para Korps Wanita AL (Kowal) di atas kapal perang (Foto: Dok pribadi) 
 | 
“Masalahnya, dalam praktek di lapangan sangatlah sulit membedakan 
apakah suatu kapal ketika melintas di perairan kepulauan sedang 
menikmati hak lintas alur laut kepulauan atau hak lintas damai,” 
pungkasnya.
Dalam hal penangkalan (Deterance effect), Connie mengimbau agar 
selayaknya negara pantai harus memiliki teknologi yang mutakhir. “Oleh 
karena itu sangatlah penting untuk kita memiliki segala macam teknologi 
penginderaan dan pengamanan untuk memantau dan menindak dalam perbedaan 
kedua hak tersebut,” tukasnya.
Lebih lanjut, wanita yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Wanita 
Pejuang Siliwangi ini meminta kepada Presiden Jokowi untuk membenahi 
kekuatan maritim bangsa Indonesia.
“Nah, dengan konstalasi demikian hebat anatara 2 gajah yang berseteru
 ini, di kawasan perairan dan ruang udara kita maka jelaslah menjadi 
sangat penting dan strategis kebijakan Presiden Jokowi untuk segera 
‘me-revisit’ kemampuan dan kekuatan maritim bangsa ini,” cetusnya.
Jadi kondisi ini menurutnya sudah kepalang tanggung, karena Indonesia
 sendiri yang menggagas adanya UNCLOS 1982, di mana hak-hak lintas 
tersebut ada di dalamnya. “Mau tidak mau kita harus mampu berbuat dan 
bertindak di wilayah maritim dan dirgantara kita akan bagaimana aturan 
main yang kita buat dan telah didukung oleh sebuah  keputusan 
internasonal,” tutupnya.
Sumber : JMOL 
0 komentar:
Posting Komentar