Indonesia
dengan konsep poros maritim dunia-nya saat ini ternyata mengundang
beradunya dua kepentingan besar dunia, yakni antara Tiongkok dengan
Amerika Serikat. Analis Pertahanan asal Universitas Indonesia (UI) Dr
Connie Rahakundini Bakrie mengungkapkan hal tersebut kepada JMOL
beberapa waktu lalu.
“Sebagai realis sejati sudah beberapa kali saya tekankan bahwa sejak zaman dahulu hingga sekarang, perang akan terus terjadi karena 3 faktor semata yaitu Agama, Sumber daya, dan jalur sumber daya. Kemasan atau judul bisa diganti-ganti tetapi tetap intinya perang,” kata Connie.
Antara Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini sudah mulai melakukan perang kepentingan di Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan langsung dengan Kepualauan Natuna (wilayah Indonesia). Tidak menutup kemungkinan perang tersebut akan bergeser ke Indonesia yang saat ini mendengungkan konsep poros maritim dunia.
“Eskalasi kawasan akan kebijakan AS beserta negara sekutunya dan statement AS yang keras bahwa Laut Tiongkok Selatan menjadi bagian dari kepentingan nasional AS yang jelas terkait pada faktor nomor dua dan tiga (sumber daya dan jalur sumber daya-red) tadi,” tandas Connie.
Kebijakan Tiongkok yang ingin mengamankan kepentingan nasionalnya dengan 1st Island dan 2nd Island chains, diwujudkan dalam planning Tiongkok 2010 hingga 2050 untuk menjadi kekuatan Blue Water Navy yang sesungguhnya.
Lanjut wanita yang aktif mengajar di Sesko AL dan Sesko AU ini menambahkan bahwa kebijakan itu merupakan singgungan yang nyata dengan kepentingan AS.
“Kebijakan US Pivot yang hari ini disebut Asia Pivot yang dikaitkan juga pada strategi pembagian ‘pengamanan’ wilayah territorial maritim dunia oleh US, maka terkait Indonesia patut diingat sesuai dengan konvensi hukum laut, setidaknya ada tiga jenis lintas yang diatur yaitu lintas damai, lintas alur laut kepulauan dan lintas transit,” sambungnya.
Menurut wanita yang menjabat sebagai Wakil Ketua ILUNI ini, hal itu jelas bahwa AS akan memfokuskan kekuatannya di perairan Indonesia untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok.
“Mencermati ketiga jenis lintas tersebut menunjukkan adanya akomodasi kepentingan antara negara pantai atau kepulauan dengan negara pengguna. Untuk lintas transit, pada dasarnya merupakan perkembangan dari kebebasan pelayaran dan penerbangan di selat yang pada awalnya merupakan selat yang bukan menjadi milik negara pantai dan merupakan aplikasi dari kebebasan bernavigasi di laut bebas,” terangnya.
Dari indikasi tersebut, Indonesia yang memiliki 4 choke points dunia yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Wetar yang sangat rentan dengan tindakan-tindakan menyangkut kepentingan politik atas nama tiga lintas tersebut.Penangkalan Ancaman Dr Connie Rahakundini Bakrie bersama para Korps Wanita AL (Kowal) di atas kapal perang (Foto: Dok pribadi)⚓️
Meskipun seluruh peraturannya sudah jelas, tetapi Connie mengingatkan tidak mudah dalam hal pengawasan dan pengontrolan dari jalur-jalur itu.
“Masalahnya, dalam praktek di lapangan sangatlah sulit membedakan apakah suatu kapal ketika melintas di perairan kepulauan sedang menikmati hak lintas alur laut kepulauan atau hak lintas damai,” pungkasnya.
Dalam hal penangkalan (Deterance effect), Connie mengimbau agar selayaknya negara pantai harus memiliki teknologi yang mutakhir. “Oleh karena itu sangatlah penting untuk kita memiliki segala macam teknologi penginderaan dan pengamanan untuk memantau dan menindak dalam perbedaan kedua hak tersebut,” tukasnya.
Lebih lanjut, wanita yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Wanita Pejuang Siliwangi ini meminta kepada Presiden Jokowi untuk membenahi kekuatan maritim bangsa Indonesia.
“Nah, dengan konstalasi demikian hebat anatara 2 gajah yang berseteru ini, di kawasan perairan dan ruang udara kita maka jelaslah menjadi sangat penting dan strategis kebijakan Presiden Jokowi untuk segera ‘me-revisit’ kemampuan dan kekuatan maritim bangsa ini,” cetusnya.
Jadi kondisi ini menurutnya sudah kepalang tanggung, karena Indonesia sendiri yang menggagas adanya UNCLOS 1982, di mana hak-hak lintas tersebut ada di dalamnya. “Mau tidak mau kita harus mampu berbuat dan bertindak di wilayah maritim dan dirgantara kita akan bagaimana aturan main yang kita buat dan telah didukung oleh sebuah keputusan internasonal,” tutupnya.
“Sebagai realis sejati sudah beberapa kali saya tekankan bahwa sejak zaman dahulu hingga sekarang, perang akan terus terjadi karena 3 faktor semata yaitu Agama, Sumber daya, dan jalur sumber daya. Kemasan atau judul bisa diganti-ganti tetapi tetap intinya perang,” kata Connie.
Antara Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini sudah mulai melakukan perang kepentingan di Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan langsung dengan Kepualauan Natuna (wilayah Indonesia). Tidak menutup kemungkinan perang tersebut akan bergeser ke Indonesia yang saat ini mendengungkan konsep poros maritim dunia.
“Eskalasi kawasan akan kebijakan AS beserta negara sekutunya dan statement AS yang keras bahwa Laut Tiongkok Selatan menjadi bagian dari kepentingan nasional AS yang jelas terkait pada faktor nomor dua dan tiga (sumber daya dan jalur sumber daya-red) tadi,” tandas Connie.
Kebijakan Tiongkok yang ingin mengamankan kepentingan nasionalnya dengan 1st Island dan 2nd Island chains, diwujudkan dalam planning Tiongkok 2010 hingga 2050 untuk menjadi kekuatan Blue Water Navy yang sesungguhnya.
Lanjut wanita yang aktif mengajar di Sesko AL dan Sesko AU ini menambahkan bahwa kebijakan itu merupakan singgungan yang nyata dengan kepentingan AS.
“Kebijakan US Pivot yang hari ini disebut Asia Pivot yang dikaitkan juga pada strategi pembagian ‘pengamanan’ wilayah territorial maritim dunia oleh US, maka terkait Indonesia patut diingat sesuai dengan konvensi hukum laut, setidaknya ada tiga jenis lintas yang diatur yaitu lintas damai, lintas alur laut kepulauan dan lintas transit,” sambungnya.
Menurut wanita yang menjabat sebagai Wakil Ketua ILUNI ini, hal itu jelas bahwa AS akan memfokuskan kekuatannya di perairan Indonesia untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok.
“Mencermati ketiga jenis lintas tersebut menunjukkan adanya akomodasi kepentingan antara negara pantai atau kepulauan dengan negara pengguna. Untuk lintas transit, pada dasarnya merupakan perkembangan dari kebebasan pelayaran dan penerbangan di selat yang pada awalnya merupakan selat yang bukan menjadi milik negara pantai dan merupakan aplikasi dari kebebasan bernavigasi di laut bebas,” terangnya.
Dari indikasi tersebut, Indonesia yang memiliki 4 choke points dunia yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Wetar yang sangat rentan dengan tindakan-tindakan menyangkut kepentingan politik atas nama tiga lintas tersebut.Penangkalan Ancaman Dr Connie Rahakundini Bakrie bersama para Korps Wanita AL (Kowal) di atas kapal perang (Foto: Dok pribadi)⚓️
Meskipun seluruh peraturannya sudah jelas, tetapi Connie mengingatkan tidak mudah dalam hal pengawasan dan pengontrolan dari jalur-jalur itu.
“Masalahnya, dalam praktek di lapangan sangatlah sulit membedakan apakah suatu kapal ketika melintas di perairan kepulauan sedang menikmati hak lintas alur laut kepulauan atau hak lintas damai,” pungkasnya.
Dalam hal penangkalan (Deterance effect), Connie mengimbau agar selayaknya negara pantai harus memiliki teknologi yang mutakhir. “Oleh karena itu sangatlah penting untuk kita memiliki segala macam teknologi penginderaan dan pengamanan untuk memantau dan menindak dalam perbedaan kedua hak tersebut,” tukasnya.
Lebih lanjut, wanita yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Wanita Pejuang Siliwangi ini meminta kepada Presiden Jokowi untuk membenahi kekuatan maritim bangsa Indonesia.
“Nah, dengan konstalasi demikian hebat anatara 2 gajah yang berseteru ini, di kawasan perairan dan ruang udara kita maka jelaslah menjadi sangat penting dan strategis kebijakan Presiden Jokowi untuk segera ‘me-revisit’ kemampuan dan kekuatan maritim bangsa ini,” cetusnya.
Jadi kondisi ini menurutnya sudah kepalang tanggung, karena Indonesia sendiri yang menggagas adanya UNCLOS 1982, di mana hak-hak lintas tersebut ada di dalamnya. “Mau tidak mau kita harus mampu berbuat dan bertindak di wilayah maritim dan dirgantara kita akan bagaimana aturan main yang kita buat dan telah didukung oleh sebuah keputusan internasonal,” tutupnya.
⚓️ JMOL
0 komentar:
Posting Komentar