Analisis | |||||||
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI) | |||||||
Dalam perspektif perang asimetris, secara out of the box dapat dibaca bahwa 'Tragedi Charlie Hebdo' cuma false flag operation.
Operasi bendera palsu bikinan Barat sendiri. Kenapa demikian, disaat
stigma teroris muslim tidak terbukti di mata rakyat Perancis, tampaknya
mereka terkejut --- ternyata kaum muslim di Perancis tidak segarang
sebagaimana digambarkan oleh media mainstream Barat, bahkan cenderung baik-baik saja.
| |||||||
Mereka
mencoba menaikkan kembali 'derajat kegarangan' di Paris melalui
'Tragedi Charlie Hebdo'. Lihat indikasinya, masa ID Card pelaku
tertinggal di TKP? Dalam tempo singkat pelaku dapat ditangkap, dll. Jadi
teringat peristiwa Bom Boston dulu.
Polanya
sama, 'peristiwa' itu hanya pintu (isue) pembuka guna menarik perhatian
dunia, setelah itu akan ada agenda lanjutan. Kalau agenda pasca Bom
Boston adalah "radikalisme Islam di Checnya" --- tujuannya penguasaan
minyak di BTC yang 'pipeline'-nya melintas antarnegara, nah
Charlie Hedbo lain lagi. Tengok saja, setelah agenda yang akan diangkat
adalah radikalisme Islam di negara asal si penyerang (ID Card
tertinggal), maka silahkan cermati dan simak, negara mana bakal
dikeroyok oleh NATO (Perancis, dkk) setelah ini dengan alasan mengejar
gerombolan penyerang Charlie Hebdo? Eng ing eeeeeng ....
Mereka
---Barat--- tampaknya trauma menggelar hard power sebagaimana keroyokan
militer (42 negara) pimpinan Paman Sam di Irak dan Afghanistan dulu
(2001-20012). Selain high cost, perlu restu-restu (resolusi)
PBB, juga hasilnya belum tentu sesuai harapan. Ingat! Perang lebih 10-an
tahun di Irak dan Afghanistan telah menyedot pundi-pundi keuangan
mereka namun hasilnya NIHIL. Krisis pun melanda dunia diawali dari
krisis di Amerika dan sekutu.
Subprime mortgage
jadi kambing hitam. Maka dibuatkah skenario 'tewasnya Osama' ----
sebenarnya itu cuma "tanda" akan ditariknya pasukan Amerika dan sekutu
dari kedua negara karena kalah perang. Luar biasa.
Taliban
yang sekelas pesantren di Indonesia mampu mengalahkan tentara
profesional dari 42 negara yang tergabung dala NATO dan ISAF? Ada apa
sesungguhnya di kedua negara? Makanya kini, mereka banyak menggelar
model-model perang non milter melalui paket-paket DHL (demorasi, HAM,
lingkungan), atau radikalisme, intoleransi, dan sebagainya.
Maka proxy war
semacam ISIS pun digelar di kedua negara terutama Irak. Siapa ISIS?
banyak data menyatakan bila ISIS itu ciptaan Paman Sam. Maka dalam
perspektif kolonialisme, ISIS adalah bidak catur pengganti Resolusi PBB,
agar Paman Sam dan koalisi (kini 44 negara) dapat masuk kembali ke Irak
tanpa resolusi, bahkan kabarnya hendak merambah ke Syria via darat.
Sumber:http://www.theglobal-review.com
|
0 komentar:
Posting Komentar