"Isu Charlie Hebdo punya banyak karakteristik operasi bendera palsu," tulisnya dalam sebuah artikel.
Paul
menjelaskan, serangan di kantor itu merupakan serangan profesional yang
dilakukan oleh pasukan khusus sangat terlatih. Tapi dua tersangka yang
kemudian dibunuh pasukan keamana tampak begitu kikuk dan tidak
profesional.
Tanggal 7 Januari, dua pria bersenjata menyerang kantor majalah, menewaskan 12 orang serta melukai beberapa lainnya.
Dua
bersaudara Said dan Cherif Kouachi, yang diduga sebagai pelaku, tewas
setelah terpojok di sebuah percetakan dua hari lepas insiden.
Paul
melanjutkan, identitas dua penyerang sepertinya diperoleh dari klaim
bahwa keduanya meninggalkan jejak berupa kartu pengenal di sebuah mobil.
Dan 'kesalahan' ini, kata Paul, tidak sesuai dengan profesionalisme
mereka saat menyerang kantor.
"Ini
mengingatkan saya pada paspor rusak yang ditemukan secara ajaib di
antara reruntuhan dua menara WTC dan kemudian menjadi penentu identitas
tersangka pembajak 9/11," paparnya.
Keduanya,
lanjut Paul, kemudian tewas di tangan polisi. Dan publik tidak akan
pernah mendengar keterangan apapun dari keduanya, juga tidak akan pernah
mengetahui kartu pengenal para profesional yang menyerang Charlie
Hebdo.
Fakta
penting lain menurut Paul adalah tersangka ketiga dalam serangan, Hamyd
Mourad. Dia langsung menyerahkan diri pada polisi setelah tahu namanya
beredar di media sosial sebagai tersangka. Dan dia menyerahkan diri
karena tahu jiwanya terancam dan tidak ingin mati di tangan pasukan
keamanan sebagai teroris, tandas Paul.
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16941&type=103#.VLnqwo4WmDE
|
0 komentar:
Posting Komentar