Telinga dan Tangan Ibu
– Berada bersama ibu begitu menenangkan. Sebab rasanya ibu tak pernah
lelah menjadi ‘telinga terbaik’ bagi setiap cerita yang mengalir deras
dari mulut saya, setiap kali sampai di rumah, selesai beraktifitas
seharian. Ibu tak perlu bertanya apapun, saya akan duduk manis
berlama-lama di kamarnya, menumpahkan segala yang telah memenuhsesakkan
dada ini. Saya tak pernah berpikir sebelumnya, bahwa celoteh saya saat
itu bisa jadi akan menambah lelah dan memberatkan beban yang sudah
menggelantung di pundak ibu. Tapi senyumnya tetap melipur hati, seolah
letih itu tak ada.
Hari itu, saya begitu tergesa sampai di
sekolah, hampir saja terlambat. Pagi-pagi sekali, tidak seperti
biasanya, saya telah ikut sibuk membereskan banyak sekali barang.
Sekitar pukul tujuh, saya dan ibu telah berada di sebuah lobby hotel
terkenal di Jakarta. Hari itu, untuk yang pertama kalinya, saya
berhadapan dengan sekian banyak turis yang berseliweran dengan
wajah-wajah penuh antusias memandangi, melihat-lihat, dan bercakap-cakap
dengan kami-para penjaja barang dagangan di stand bazaar. Kali itu,
saat yang istimewa bagi ibu, hari pertama menjadi peserta bazaar yang
dihadiri para turis maupun pekerja asing. Saya pun tak kalah
semangatnya, sepanjang siang di sekolah tak henti-hentinya
tersenyum-senyum sendiri, sampai teman sebangku saya-Rani
namanya-rasanya sudah begitu bosan mendengar celotehan saya tentang
pengalaman pagi itu. Menyaksikan dan terkikik geli mendengar ibu
bercakap-cakap dengan para pembeli. Ngawur, tapi tetap saja ngotot.
Padahal ibu tak bisa berbahasa Inggris.
Saya rasa Allah telah menganugerahkan ibu sepasang ‘tangan ajaib’.
Saya ingat, belasan tahun lalu, saat saya duduk di bangku SD, rumah
kami penuh dengan pernak-pernik. Saat itu, puluhan gulung pita
berwarna-warni menumpuk di sudut kamar. Berjejeran pula berlembar-lembar
karton tebal, busa, serta tumpukan kain. Saat itu, saya selalu senang
memandangi dan bermain-main di ‘pojok berantakan’ milik ibu. Kedua
tangannya telah menghasilkan barang-barang yang begitu menarik di mata
saya. Saat itu, saya dengan gembira menyambut tawaran ibu untuk menjadi
‘asistennya’. Dan saya pun asyik bergumul dengan plastik-plastik kecil,
membukanya kemudian memasukkan pita rambut warna-warni hasil karya ibu,
dan menjepitnya dengan stapler. Hanya itu. Ibu tak memperkenankan saya
untuk menyentuh ‘tempat foto’ cantik buatannya, yang digantung berjejer
di dinding kamar. Belum lagi tumpukan souvenir pesta pernikahan, entah
ada berapa ratus. Kegembiraan saya berada di antara benda-benda menarik
itu seperti membuat saya lupa, bahwa saya sering menemukan ibu
terkantuk-kantuk duduk di ‘meja operasi’nya sampai tengah malam,
menyelesaikan pesanan.
Ibu telah menghabiskan entah berapa
bagian waktu dalam hidupnya untuk menjadi ‘ember’ ternyaman bagi diri
saya. Di sanalah saya menumpahkan segala macam hal yang sering membuat
ibu tersenyum geli, tertawa, atau mungkin juga turut bersedih atas apa
yang saya alami. Ajaibnya, kini saya tak lagi perlu memulai percakapan
itu. Sepertinya ibu telah mengetahui segala isi hati saya, tanpa perlu
saya ungkapkan. Begitukah seorang ibu? Saya sempat berpikir, tak usahlah
lagi menceritakan segala hal padanya. Mungkin itu hanya akan menambah
lelahnya. Saya memutuskan untuk berhenti berceloteh pada ibu, toh saya
sudah dewasa, dan tak lagi pantas memberatkannya dengan hal-hal tak
penting macam celotehan itu. Namun hari itu, ibu menelpon saya ke kantor
dan menegur saya, “Ta, kapan kamu ke rumah? Kita kan udah lama nggak
cerita-cerita…”
Ibu tak hanya pendengar setia bagi
celoteh anaknya, namun ia juga telah memberi dan mengajarkan saya banyak
hal melalui kedua ‘tangan ajaib’nya. Ia mengajarkan saya untuk selalu
berusaha menjadi pendengar yang baik bagi orang lain, melalui mimik
wajah serta kalimat-kalimatnya menanggapi setiap perkataan yang saya
ucapkan. Saya belajar, bahwa setiap perhatian kecil yang diberikan
kepada seorang anak, maka yang tersimpan padanya adalah sebuah kasih
sayang besar dan keyakinan bahwa ia disayangi. Saya belajar, bahwa kedua
tangan anugerah Allah ini, adalah modal bagi kerja keras yang harus
dilakukan demi orang-orang tercinta, keluarga. Entah apapun yang dapat
diperbuat.
Saya tak heran, betapa banyak teman dan
relasi bisnis yang ibu miliki sekarang. Banyak pula kerabat dekat yang
betah berlama-lama mengobrol dengan ibu. Tak sedikit orang yang
mengagumi ‘bakat’ yang mereka katakan terhadap keterampilan yang ibu
miliki. Ibu menyebutnya hobi, tapi saya memahaminya sebagai cara ibu
bersenang-senang dengan ‘tuntutan’ padanya untuk membantu ayah membiayai
keluarga. Seringkali lelah membayang dalam raut wajah ibu, namun tak
jarang saya mendapatinya berbinar kala ‘tangan ajaib’nya telah berhasil
‘menciptakan’ karya baru.
Sekarang ini, adalah giliran saya untuk
menjadi ‘telinga terbaik’ bagi ibu sampai hari tuanya nanti, dan
mempersembahkan hasil yang dapat saya raih dari kedua belah tangan ini
untuk membahagiakannya.
Sumber: Eramuslim:Jagat Motivasi
0 komentar:
Posting Komentar