Walau prakteknya kini, oleh beberapa kalangan, ujaran eling lan waspada
lebih diartikan (dan cenderung dilarikan) ke ranah spiritual. Kenapa ia
tidak dijadikan titik pijak kajian terhadap hal-hal yang lebih besar,
kompleks dan strategis? Kembali pada urgensi the man behind the gun
di atas, siapa mampu menangkap hal tersirat daripada yang tersurat,
siapa bisa menguak sesuatu terdalam dari yang dianggap paling dalam.
Begitulah hakiki ajaran.
Mari simak penggal ajarannya yang dikenal dengan sebutan “Zaman Edan”.
Konon istilah ini kali pertama diperkenalkan dalam SERAT KALATIDA yang
terdiri atas 12 bait tembang sinom. Salah satu bait yang paling terkenal
adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
Adapun terjemahannya adalah:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Ajaran Rangga Warsita di muka tadi, saya sebut ‘Geopolitik Zaman Edan’ sesuai judul tulisan ini, atau boleh juga dinamai ‘Geopolitik Eling lan Waspada’ selaku sari ajaran. Silahkan pilih mana.
Ya. Eling itu bahasa Jawa, artinya ingat. Ingat kepada siapa?
Secara horizontal, siapa lagi? Kalau tidak ingat akan jati diri baik
selaku pribadi, keluarga terutama jati diri sebagai bangsa, selain
paling utama ---secara vertikal--- ialah mengingat Tuhannya
(Wirid/Dzikir). Inilah salah satu substansi ajaran beliau.
Kemudian abstraksi horizontal misalnya, bahwa selama ini kita dikenal
sebagai bangsa yang ramah, sopan, pasrah, rukun, toleran, dst yang pada
gilirannya menjadi ciri dalam percaturan dunia sekaligus (mungkin)
sebagai merek bangsa selaku bagian integral warga dunia. Tidak boleh
dielak, brand atas kerukunan serta keramahan bangsa ini pernah
mengglobal. Maka ibarat koin emas, brand tersebut laku keras dimana
saja. Indonesia disukai banyak bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan Ban
Kie Moon, selaku Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kemarin pun
menyatakan secara resmi pada forum United Nation Alliance of Civilization (UNAOC) ke-6 yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Centre,
Bali, Jumat (29/8/2014), “Indonesia merespentasikan kehidupan yang
harmonis di tengah perbedaan, hal itu merupakan cerminan dari semboyan
Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in Diversity
yang kita angkat sebagai tema UNAOC 2014,” kata Ban. “Lewat semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, saya berharap akan muncul saling pengertian
antarbangsa di dunia, menghindari terjadinya konflik dan korban jiwa
dari warga sipil, serta mendorong kemajuan yang baik bagi peradaban
dunia,” lanjut Ban.
Akan tetapi, dari tinjauan internal sendiri, justru terasa bahwa warga
kini telah berubah “galak”. Ada apakah gerangan? Muncul benih
intoleransi, saling curiga bahkan kerapkali terlihat beringas, terutama
manakala menyikapi warna-warni perbedaan yang dulu justru dimaknai
sebagai ‘taman sari’ Indonesia. Unity in Diversity. Riskannya
kini, rakyat mudah ditunggangi oleh anasir-anasir asing yang sepertinya
tidak menginginkan kondisi gayeng dan guyub tersebut. Betapa sedih,
ketika rakyat hanyut diadu-domba, maka perhatiannya teralih cuma di
hilir persoalan, tidak lagi mampu --- apalagi peduli terhadap hal-hal
penting, strategis, yang merupakan hulu permasalahan bangsa. Mereka
gampang diperalat untuk memberangus dan menindas sesama atas nama
perbedaan suku, ras, sosial budaya (dan bahkan agama). Pada gilirannya,
semakin lama kian terasa bahwa republik ini --- ibarat kapal di tengah
samudera---- sedang oleng dihantam badai (konflik) internal. Inilah
sekilas tinjauan keadaan zaman dari perspektif ELING-nya sang
pujangga.
Selanjutnya, makna waspada pada “geopolitik”-nya Rangga Warsita adalah
kecermatan dan sikap (budi) kehati-hatian terhadap lingkungan yang
senantiasa bergerak dan berubah. Apa boleh buat. Gerak memang
keniscayaan, perubahan adalah kepastian, dan keduanya tak bisa dilawan.
Dengan kata lain, siapapun ‘kita’ tidak akan dapat menghindar dari
perubahan (dan kemajuan) peradaban. Tersirat pesan sang pujangga, mutlak
kita harus memiliki kewaspadaan atas segala sesuatu yang datang-pergi
silih berganti, terutama kewaspadaan pada nilai-nilai yang masuk,
khususnya lagi terhadap nilai dan ideologi apapun yang tidak selaras
dengan kepribadian bangsa. Intinya, bangsa ini tidak boleh lupa akan
jati diri, oleh karena status orang lupa itu hukumnya seperti sosok yang
gundah hatinya, bingung pikirannya. Lalu dalam bersikap dan bertindak,
orang bingung pun cenderung menuruti (ego) sendiri. Sak karepe dewe.
Merasa hebat, ingin benar sendiri, maunya menang sendiri, padahal
hakiki bingung ialah tidak paham akan jati (diri)-nya sendiri.
Dari fenomena sekilas di atas, sang pujangga telah mengingatkan jauh-jauh hari melalui bait-bait sastranya, “ ...sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.”
Pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi bangsa bahagia (dan makmur),
sedang kita sendiri gagal mengingat, niscaya cenderung (lupa) terseret
arus dan (bingung) terombang-ambing ombak (globalisasi) lingkungan yang
selalu berubah. Mana kewaspadaan sebagai diri dan bangsa?
Milan Kundera berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan (zalim) adalah
perjuangan ingatan melawan lupa.” Inilah urgensi sejarah sebagai alat
bangsa guna melawan lupa. Bangsa yang tidak mempelajari sejarah, akan
mengalami amnesia, dan niscaya terjengkang pada lubang (kekeliruan) yang
sama hanya berbeda bentuk dan model belaka. Jas Merah, kata Bung Karno
(BK), “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Berbasis data serta pengalaman empirik, salah satu pola kolonialisme
ialah ‘menghancurkan dulu sejarah negeri yang dijajah’ --- maka
pantaslah apabila tata cara seperti itu dijadikan metode baku dalam
kolonialisme. Juri Lina, penulis Swedia menyatakan pada buku Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry
(2004), “Bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu
negeri, antara lain: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti
sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, (3) putuskan
hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh
dan primitif.” Dan tak kurang, pointers diskusi terbatas di Global
Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit (17/1/2013)
cenderung menebalkan asumsi Lina tadi. GFI mensinyalir, ada hal-hal
berulang dalam kolonisasi di muka bumi yaitu ‘pengaburan atau
pembengkokan sejarah leluhur di negara koloni (terjajah)’. Itulah agenda
besarnya.
Menurut GFI, langkah-langkah pengaburan histori bangsa terjajah melalui
beberapa tahapan antara lain: pertama, penghancuran bangunan fisik agar
generasi baru tidak dapat mengenali (bukti-bukti) kejayaan nenek
moyangnya, otomatis selain tak bisa menarik hikmah dan mengutip
nilai-nilai emas histori sebagai teladan sebab tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah; kedua, diputus hubungan histori dengan leluhur melalui
penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya bodoh, primitif, tidak
beradab, penyembah berhala, dan lain-lain; ketiga, dibuat sejarah baru
versi penjajah.
Inti kedua asumsi tadi sepintas identik, hanya GFI menambahkan poin:
‘dibuat sejarah baru versi penjajah’ --- hal inilah yang tidak terlintas
di benak Lina. Entah kenapa, atau mungkin negaranya tidak pernah
dijajah? Bisa jadi. Memang ada beberapa negara yang tidak pernah dijajah
seperti Arab Saudi, Islandia, SWEDIA, Nepal, Denmark, Norwegia,
Thailand. dan Turki.
Dalam konteks (geopolitik) global, Indonesia dianggap mengalami
amnesia. “LUPA AKAN JATI DIRI.” Betapa negeri agraris beriklim tropis
dengan dua musim dan curah hujannya tinggi, kenapa mesti mengimpor
berbagai komoditi yang sebenarnya berlimpah ruah di Bumi Pertiwi?
Celakanya lagi, komoditi yang diimpor justru berasal dari berbagai
negara empat musim. Sungguh ironi. Bukankah peluang untuk cocok tanam
dan berproduksi lebih besar di negeri dua musim seperti takdir Ibu
Pertiwi daripada di negeri-negeri empat musim? Indonesia itu anak
kandung matahari dimana sinar mentari tidak pernah bosan menyinari
buminya. Tetapi agaknya, para elit politik dan segenap pengambil
kebijakan di negeri ini enjoy saja menjalani ironi geopolitik semacam
ini. Kenapa? Adakah mereka benar-benar tidak memahami (takdir)
geopolitik negerinya sendiri, atau pura-pura tidak paham karena faktor fee dari berbagai impor komoditi bila dibanding dengan melemahnya martabat, tergerusnya nilai kedaulatan dan nasib anak cucu kelak?
Hidup memang pilihan. Maka pertanyaannya, “Pilih menjadi komprador atau
nasionalis?” Silahkan memilih mana. Adalah hak setiap warga negara,
kendati tidak sedikit yang enjoy sebagai pengkhianat, namun banyak pula
yang rela gelisah menyaksikan carut marut bangsa ini akibat laku
komprador. Mereka tetap memilih gelisah sebagai kaum nasionalis daripada
komprador. Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak ‘kembang sore’ dan ‘bunga
–bunga sedap malam’. Dan saya memiliki keyakinan, bahwa kejayaan
Indonesia sudah di depan mata. Bagi segenap anak negeri, nasionalisme
adalah pilihan utama, sedangkan komprador sebenarnya cuma pelarian atas
jiwa-jiwa kompromis dan (mungkin) KEGUGUPAN MENGHADAPI HARI TUA serta
akibat hedonisme yang membadai sebagaimana penggalan syair (geopolitik)
Rangga Warsita:
“... menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian..”
Dan agaknya, keadaan inikah yang tengah menerjang Ibu Pertiwi?
Sekarang kita membahas penitrasi nilai dan ideologi asing di Indonesia
dari perspektif ‘geopolitik eling lan waspada’-nya sang pujangga. Tak
boleh dipungkiri, di satu pihak, meski secara de jure, ideologi bangsa
ini adalah Pancasila namun dalam implementasi sudah jarang disebut
(apalagi diamalkan?). Di pihak lain, liberalisme sebagai nilai bahkan
ideologi asing telah “diterima masyarakat” kita hampir tanpa kritik
tanpa selidik. Inilah yang kini terjadi.
Menurut Dina Y Sulaeman, salah satu research associate GFI
dalam artikelnya bertajuk “Tentang Liberalisme Ekonomi (2): Membongkar
Kerapuhan Asumsi Liberalisme”. Bahwa benang merah liberalisme yang telah
merambah di segala sektor dapat dilacak muaranya. Misalnya, ketika
liberalisme digunakan dalam ilmu agama, muncul teori bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk merevisi agama. Argumennya, toh agama
dilahirkan untuk kebahagiaan manusia. Ketika aturan agama sudah tidak
sejalan lagi dengan standar kebahagiaan zaman kini, manusia sah-sah saja
melakukan revisi. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi politik,
lahirlah teori demokrasi; semua warga berhak memilih sendiri pemimpinnya
dan menentukan sendiri aturan hukum bagi diri mereka sendiri. Ketika
liberalisme menjadi asumsi bagi ekonomi, maka lahirnya teori pasar
bebas: biarkan semua orang beraktivitas dalam pasar, jangan ada
intervensi pemerintah. Argumennya, manusia adalah makhluk rasional, dia
akan mampu melakukan pilihan-pilihan rasional dalam bertransaksi
sehingga mampu meraih keuntungan maksimal bagi dirinya. Ketika semua
manusia rasional, pasar (proses jual-beli) akan berjalan dengan
sendirinya dengan teratur. Jangan ada intervensi pemerintah untuk
mengurusi pasar. Biarkan saja pasar beroperasi sendiri.
Sebagaimana isyarat di muka, geliat ekonomi pasar bebas niscaya membuat
siapapun tidak dapat menghindar arus modal asing masuk di internal
negeri, yang gilirannya akan cenderung ikut pula menguasai aset-aset
negara. Inilah keniscayaan peradaban. Kita tidak perlu xenophobia,
tetapi juga jangan terbawa oleh arus besar, karena hal tersebut ---jika
terseret arus--- membuat lupa akan jati diri. Kita tak boleh lupa dengan
pakem nusantara dan konstitusi negara. Jika lalai, maka ibarat orang
tersesat, meski sudah tahu bahwa rute yang dijalani keliru tetapi terus (ndableg)
menyusuri jalur jalan dengan tata cara menduga-duga. Tentu kian jauh
tersesat. Lazimnya jika tersesat, siapapun mestinya kembali dulu ke
titik awal.
Sudah mengerti bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak itu harus dikuasi negara, ini malah dijual ke asing; apakah
‘mereka’ tidak paham bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat, kok masih juga dan hendak dilego atas nama
globlalisasi, IPO, privatisasi, dan akuisisi?
Semakin lama negeri ini kian terjerumus di lubang imperialisme modern
berkedok soft loan, atau structural adjustment programme (SAP) dan
lain-lain. Oleh sebab faktor lupa, bangsa ini menjadi lengah dan tidak
mampu melihat modus kolonialisme baru via gerak investasi asing,
liberalisme, pasar bebas, dan seterusnya. Maka inilah ujud jalan yang
menyesatkan namun terus juga dilalui oleh elit-elit bangsa dengan
berbagai alasan, pembenaran teori, dll. Seharusnya kita kembali ke titik
awal (UUD 1945) agar tidak tersesat kian dalam.
Telah beberapa pemilihan umum digelar, tidak juga datang patriot sejati
memimpin negeri ini. Sebaliknya, sejak dekade 2000-an melalui model
pemilu langsung, atau pemilihan kepada daerah (pilkada) berpintu one man
one vote dalam skema ‘otonomi daerah’ malah merekomendasi dan
melegitimasi penjahat jadi pejabat publik, mengubah syetan duduk sebagai
tuan-tuan bahkan seringkali menjadi ‘tuhan’. Banyak Petruk dadi Ratu di
antero negeri. Apa boleh buat. Tak boleh gebyah uyah menilai
memang, karena tidak semuanya begitu. Ada sedikit sosok patriot lahir
dari model pemilihan semacam ini. Namun secara umum, bangunan asumsi
dalam sistem politik kita kini, bahwa dengan bermodal pencitraan, rakyat
cenderung tertipu. Keliru memilih, lalu menyesali atas pilihan sendiri.
Di tengah gelombang amnesia bangsa ini, pilihan-pilihan publik selalu
dilandasi sensasi dan tampilan citra sosok yang berbasis modus tebar
sembako, money politic, pengheroan di media mainstream, banyaknya
banner, riuhnya tancap baliho, dll maka “Jadilah!”, bimsalabim!
Bukankah citra itu realitas semu belaka; bukankah sensasi itu belum
bekerja dan tidak membuat sejahtera? Ia tak nyata. Keduanya, baik
sensasi maupun pencitraan itu semacam aroma masakan, baru tercium baunya
belum rasanya! Atau juga seperti sihir, mimpi di siang bolong.
Maka inti asumsi GFI menyikapi dinamika politik serta kondisi ini,
bahwa model politik semacam ini yang berkuasa adalah pemilik modal, para
donatur di balik layar. Pertanyaannya, “Kenapa semua terjadi di Bumi
Pertiwi?” Jawabannya sederhana, “Kita abai terhadap ajaran ‘eling dan
waspada’-nya Rangga Warsita.” Ajarannya malah dilarikan ke ranah
spiritual dalam konteks mikrokosmos. Jagad cilik, jagad gede!
Kita mundur sejenak untuk mengulas sekilas nasehat Milan Kundera
tentang perjuangan melawan lupa. Ya, hakiki Konferensi Asia-Afrika di
Bandung (1955) misalnya, inti ruhnya juga “geopolitik eling dan
waspada”. Tak bisa tidak. Eling atau selalu ingat ---ini ujud perjuangan
melawan lupa--- supaya bangsa-bangsa di Dunia Ketiga khususnya, agar
senantiasa menggelorakan SEMANGAT ANTI-IMPERIALISME. Bangkit dan melawan
segala bentuk penjajahan di muka bumi. Itu pesan tersirat yang harus
diingat. Dan juga mutlak WASPADA terhadap lingkungan yang senantiasa
berubah. Artinya, berbekal pakem eling dan waspada inilah sebuah bangsa
akan mampu mempeta (mapping) apapun baik pergerakan pola, perubahan bentuk maupun modus-modus penjajahan model baru nantinya.
Agaknya, cuplikan pidato pada konferensi di Bandung masih sangat
relevan guna memotret fenomena yang sekarang berlangsung di beberapa
negara Asia-Afrika, terutama ‘topan badai’ yang menerpa Indonesia,
“Kolonialisme juga memiliki penampilan yang modern, dalam bentuk kontrol
ekonomi, kontrol intelektual, dan juga kontrol fisik yang dilakukan
sekelompok kecil orang asing dalam sebuah bangsa.” (BK, 1955).
Apabila ingin mengkaji statement BK di atas, awal pertanyaan selidiknya
adalah, “Apakah ekonomi kita dalam kendali asing; benarkah sebagian
tokoh dan kaum intelektual Indonesia dalam kontrol pihak luar?” Lalu,
apa saja bentuk kontrol fisik oleh segelintir orang asing kepada bangsa
kita? Ini dulu yang harus dijawab dan mutlak di-breakdown sebelum
membahas hal-hal yang lebih dalam. Namun sementara abaikan dulu, kita
akan bahas pada artikel lain, mari lanjutkan tulisan sederhana ini.
Dan ternyata, banyak dari kita lupa pada semangat itu. Semangat
anti-imperialisme. Akibatnya semakin lama justru kian terjajah. Tanpa
sadar, kekayaan alam (SDA) dijual habis-habisan, lalu ditawar-tawarkan
kepada bangsa luar atas nama investasi, menarik modal asing, IPO dan
lain-lain. Jadi teringat ujaran BK terkait antisipasi kolonialisme jenis
baru di era modern kelak, “Biarlah kekayaan alam kita tersimpan sampai
nanti putra-putra bangsa ini mampu mengolahnya sendiri”.
Menyikapi hal tersebut, ada empat unsur retorika yang tak mampu
dibendung, “Apakah kebijakan (obral SDA dan aset negara) tersebut,
semata-mata demi kemakmuran rakyat, atau hanya sekedar pencitraan, atau
karena politik balas budi, atau jangan-jangan untuk meraih fee yang tak
seberapa bila dibanding nasib generasi penerus nantinya?” Entahlah. Dan
tampaknya, para elit dan segenap pengambil kebijakan di republik ini
lupa atas tampilnya kembali neo-imperialisme sesuai isyarat BK di atas.
Ya, geopolitik memang dapat dipandang sebagai (ilmu) teori, wawasan,
konsepsi, dan lain-lain, akan tetapi bila geopolitik diabstraksikan
sebagai KEADAAN TERTENTU, maka sesungguhnya Indonesia kini telah masuk
ke dalam kubangan “Zaman Edan” sebagaimana ujaran Rangga Warsita, sang
pujangga.
Bangun dan bangkitlah bangsaku!
Rangga Warsita, Sang Pujangga Nusantara
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16835&type=4#.VKEzIlAgA
|