Jumat, 12 Desember 2014

AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA SERIKAT: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga (Bagian Kedua)

Analisis

Penulis : Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI

Indonesia sejak dekade 1980-an telah mendapat serangan Non Militer secara sistematis dan terencana melalui agenda setting media. Hal tersebut menjadi kajian menarik dalam diskusi terbatas GFI tentang prospek media beberapa waktu lalu.

Bahwa ada agenda setting asing yang secara sistematis dan konsisten menyerang Indonesia dengan isu-isu “Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Lingkungan Hidup.” Dan sebagai catatan bahwa serangan Non Militer tidak akan berjalan efektif bila tidak ada dukungan dari dalam negeri. Dukungan para komprador, baik sipil maupun militer. Dan diluar semua itu ada serangan Non Militer Amerika yang paling halus dan paling mematikan yakni terpaan budaya gaya hidup hollywood dengan pornografinya.
Terpaan budaya yang terus menerus berlangsung selama puluhan tahun nampaknya berhasil menerobos ketahanan budaya dan kearifan lokal kita sehingga berhasil melemahkan ipoleksosbudmil bangsa Indonesia. Ibarat Dracula, Hollywood adalah Istana Dracula, siapa tersihir dia akan menjadi budak setianya. Welcome to Hollywood!
SEKILAS PERANG NON MILITER DI INDONESIA
Kalau kita membaca ulang berita politik di tanah air, kemudian kita buat semacam framing tentang isu TNI – maka akan terlihat jelas bahwa ada agenda setting pemberitaan di tanah air sejak dekade 1980-an yang begitu sistematis dan masif menyerang TNI. Dalam bahasa jurnalisnya TNI adalah aktor pelanggar HAM, jadi harus masuk “penjara” atau dibarakkan. Bahasa demokrasinya TNI harus menjadi tentara profesional, artinya TNI harus dijauhkan dari rakyat, dicabut dari akarnya dan diputus dari sejarah kelahirannya. Dan berhasil!
Sesuai dengan undang-undang yang berlaku setelah reformasi 1998, TNI dikirim ke barak dan menjadi tentara profesional. Sebaliknya Polisi diberikan tugas keamanan dan ketertiban yang seluas-luasnya dalam payung keamanan nasional yang sebetulnya merupakan tugas TNI, seperti memberantas terorisme, separatisme dan Perang Non Militer yang mengancam disintegrasi bangsa. Jadi setelah reformasi 1998, Polisi seakan-akan berperan ganda menjadi “TNI.”

Bila dibaca sepintas, memang serangan Non Militer tersebut dipermukaan jelas-jelas ditujukan kepada Presiden Soeharto yang distigmakan sebagai rejim otoriter tetapi sasaran tembak sesungguhnya adalah TNI. Mengapa TNI? Dimata AS, TNI adalah tulang punggung kekuatan Orde Baru sekaligus lem perekat NKRI dengan “Sapta Marganya.” Oleh karena itu, untuk melemahkan dan memecah belah Indonesia sebagai langkah strategis pertama Amerika adalah melumpuhkan organ TNI dulu. Bahkan AS melalui Australia secara terang-terang meminta Presiden Soeharto untuk membubarkan Kopassus. Tapi tidak digubris.
Bila kita renungkan, lepasnya Timor-Timur, Sipadan dan Ligitan adalah dampak langsung dari Pengkerdilan Peran TNI secara sistematis tersebut. Sebab, bila doktrin TNI berjalan, tidak mungkin ada wilayah NKRI yang terlepas. Hal tersebut ditegaskan oleh Menhankam Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu bahwa tidak akan ada lagi wilayah NKRI yang lepas. Memang sudah menjadi keawajiban utama TNI untuk menjaga wilayah perbatasan dan keutuhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia tanpa kompromi. NKRI harga mati.
Pilihan mundur Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan pada peristiwa Reformasi 1998 adalah demi menjaga keutuhan NKRI – itulah cermin dari watak seorang pemimpin besar juga seorang negarawan tulen. Presiden Soeharto kala itu kalau mau bukan tidak mampu meredam gerakan Reformasi 1998. Bila mau, hal tersebut mudah saja baginya. Tapi Presiden Soeharto sadar dan berpikir jauh kedepan demi keutuhan NKRI, bila gerakan mahasiswa itu diredam dengan skema Tiananmen misalnya – sudah pasti akan terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa yang tidak berdosa dan tidak mengerti persoalan. Bukan itu saja, Presiden Soeharto pasti akan dicap sebagai pelanggar HAM berat – bahkan kriminal.
Bila hal tersebut itu terjadi, Indonesia pasti diembargo oleh AS dan sekutunya bahkan dunia internasional. Bila Indonesia diembargo, tentu akan terjadi krisis dan pergolakan di dalam negeri yang digerakkan oleh para komprador. Dan itu sama artinya dengan membuka pintu masuk lebar-lebar bagi AS dan sekutunya untuk melancarkan operasi Non Militer yang memang telah ditunggu-tunggu selama ini untuk mengintensifkan bangkitnya nasionalisme sempit kedaerahan dan gerakan separatis di Benua Nusantara. Jika hal itu berjalan, maka tercapailah proyek “Balkanisasi Nusantara” sebagaimana skema yang direkomendasikan oleh RAND Corporation, sebuah badan riset akademis yang khusus melayani kepentingan Pentagon. Dalam taraf tertentu harus diakui bahwa Skema Rand Corporation jelas berhasil di Indonesia dengan diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Papua. Tampaknya tinggal menyusul daerah lain bila dibiarkan.

YUGOSLAVIA KORBAN PERTAMA IMPERIALISME MILENIUM KETIGA

Sejak tanggal 24 Maret 1999, kekuatan-kekuatan militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dipimpin oleh Amerika Serikat, telah menjadikan Yugoslavia sebagai sasaran dari sebuah pemboman yang menghancurkan. Menerbangkan lebih dari 15.000 misi pengeboman, NATO telah membom rata kota-kota dan desa-desa Yugoslavia, menghantam pabrik-pabrik, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan-jembatan, depot-depot minyak dan kantor-kantor pemerintah. Ribuan orang telah tewas dan terlukai, termasuk penumpang-penumpang kereta api dan bus, dan pekerja-pekerja di stasiun pemancar televisi dan stasiun-statiun pemancar ulang. Perumahan penduduk sipil baik di Sebia dan Kosovo telah dihantam.
Propaganda pun dilancarkan untuk menyesatkan opini publik internasional. Dalam kasus Yugoslavia, propaganda yang terus menerus dihembuskan oleh AS adalah penggambaran perang pemurnian etnis di Yugoslavia oleh Slobodan Milosevic. Sehingga dalam berita yang terpancar melalui media pembantaian masal di Yugoslavia bukannya dilakukan oleh NATO sebagai penyerang. Dan sesuai agenda setting propaganda ini hanya mengizinkan media untuk menggambarkan Yugoslavia bukannya NATO sebagai penyerang.
Seperti kita ketahui bersama, sejak berdirinya NATO pada 4 April 1949, di Brussel, Belgia, yang ditandatangani oleh 12 negara, yakni Inggris, Kanada, Amerika, Prancis, Italia, Portugis, Islandia, Luksemburg, Belanda, Denmark, Norwegia, dan Portugis – baru pertama kali ini NATO difungsikan dan langsung sebagai mesin pembunuh masyarakat sipil di Eropa. Sebuah langkah strategis yang diambil AS untuk menekan negara yang berani melawan kepentingannya. Dengan kata lain serangan NATO ini telah mempertegas posisi AS sebagai penguasa dunia. Pada waktu yang sama, ekspansi NATO ke Polandia, Hungaria dan Republik Czech adalah sebuah bentuk perluasan pengaruh AS yang sangat berhasil di Eropa.

Perang NATO sesungguhnya bisa digambarkan sebagai sebuah perang agresi imperialis pertama terhadap negara bangsa dunia di milenium ketiga. Yugoslavia adalah negara pertama yang ditaklukkan secara militer oleh NATO. Sebagai sebuah istilah ilmiah, imperialisme merupakan perkembangan sejarah dari istilah kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi dunia. Namun wajah imperialisme tetap sama yakni: penindasan melalui persaingan bebas konglomerasi raksasa yang memonopoli negara sekaligus menghancurkan eksistensi negara bangsa dengan tujuan membuka akses jalan ke pasar-pasar, bahan-bahan mentah dan sumber tenaga kerja baru atau perbudakan gaya baru di seluruh dunia.
Dewasa ini Imperialisme telah menciptakan jalan tol yang bernama globalisasi dimana imperialisme dapat menjarah negara-negara berkembang tanpa hambatan baik dimuka bumi maupun dunia maya. Kaum Imperialis kini telah menjadi parasit yang menguasai Amerika bahkan dunia dengan Bank Sentralnya, Federal Reserve. Melalui kedudukannya sebagai penguasa keuangan dunia, The Fed menggunakan badan-badan keuangan raksasa sebagai alat seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), imperialisme berada dalam posisi untuk mendikte politik negara-negara berkembang yang lebih kecil yang tergantung pada kredit mereka. Sedangkan dengan Badan Perdagangan Dunia (WTO) imperialisme telah menguasai pasar dan mengatur perdagangan dunia internasional sekaligus membendung masuknya produk negara-negara berkembang ke negara maju.

Melalui hegemoni mereka atas pasar dunia, kekuatan-kekuatan imperialis menekan harga semurah-murahnya untuk bahan-bahan mentah yang membuat negara-negara lebih kecil tetap dalam kemiskinan. Semakin banyak negara-negara ini meminjam, semakin mereka menjadi miskin dan tergantung. Seperti halnya NATO di kosovo lebih menyerupai rejim NATO–IMF yang memerintah Bosnia, sebuah bentuk pemerintahan negara dalam negara. Hal ini menggabarkan sebuah ambisi kejam Bank Sentral AS dan jaringannya dengan menggunakan tangan-tangan konglomerasi raksasa transnasional untuk memperluas jangkauan mereka masuk lebih jauh ke dalam Eropa supaya dapat memeras profit. Sejak penaklukan secara halus dengan Marshal Plan pasca perang dunia kedua terhadap Eropa Barat, maka peristiwa Yugoslavia tahun 1989-1991 menggambarkan uraian ikatan tangan-tangan imperilaisme AS dalam gelanggang ini secara kasar dan kejam. Perlahan tapi pasti Eropa Timur pun mulai dicengkeram.
Yugoslavia adalah sebuah bukti nyata kekejaman dari gerakan imperialisme yang  telah terintegrasi dalam sistem keamanan global Amerika. Setelah bubarnya Uni Soviet, Slobodan Milosevic dianggap sebagai musuh besar oleh AS seperti halnya Saddam Hussein di Irak. Habis manis sepah dibuang. Melalui Agenda Setting media yang luar biasa Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic digambarkan sebagai setan, dengan tuntutan-tuntutan yang tidak berdasar dan simpang-siur atas pembunuhan massal dan kematian orang-orang Albania. Sebuah eksploitasi tuntutan tanpa henti atas terjadinya “pemusnahan masal terhadap suatu bangsa,” dan pemancaran berulang gambar-gambar televisi dari pengungsi-pengungsi yang menderita dirancang lebih untuk melemahkan, membiasakan dan menakuti-nakuti umum dari pada untuk menyakinkan melalui pemaksaan argumen. Inilah yang kemudian menjadi argumen AS untuk menginvasi Yugoslavia.
Dibalik hiruk-pikuk itu, ada sebuah catatan menarik dari keputusan Kongres AS bahwa Slobodan Milosevic dianggap sebagai “The Last Mohicans” Komunis. Ya, Slobodan adalah “Kepala Suku” Komunis terakhir yang nasionalis. Matikan api sebelum menjadi besar demikian keputusan Kongres AS. Slobodan Milosevic harus disingkirkan. Dan seperti telah diuraikan diatas Slobodan kemudian menjadi korban isu global sebagai gembong pelanggar hak azasi manusia dari Balkan yang dipublikasikan besar-besaran ke seluruh penjuru dunia oleh media massa.
Bukan itu saja, tidak tanggung-tanggung, Yugoslavia dihancurkan dengan konflik bersenjata akibat kebangkitan nasionalisme sempit – yang kemudian kita kenal dengan istilah “Balkanisasi” sehingga terpecah belah menjadi negara-negara kecil baru antara lain: Republik Serbia, Republik Montenegro, Republik Kroasia, Republik Slovenia, Republik Makedonia dan Bosnia Herzegovina.

Sambil melakukan operasi pemboman, NATO juga mengamankan area-area yang memiliki cadangan sumber daya alam untuk dijarah oleh korporasi transnasional yang memang tidak tidak seberapa besar, seperti cadangan mineral timah hitam, seng, perak dan emas, serta 17 milyar ton cadangan batubara.
Melihat besaran cadangan sumber daya alam yang ada jelas bukan menjadi target utama serangan, tapi sebagai bahan bakar untuk merangsak lebih jauh lagi ke Timur jelas lebih dari cukup. Jadi serangan NATO, sebetulnya lebih kepada mengamankan posisi strategis untuk serangan selanjutnya menuju wilayah yang memiliki SDA melimpah: Eropa Timur. AS dan NATO telah mempunyai agenda besar sampai ke Laut Kaspia.
Yugoslavia sendiri sejak dipimpin oleh Presiden Josep Broz Tito adalah sebuah negara Komunis yang mandiri, sejahtera dan makmur rakyatnya. Dibawah Presiden Tito, Yugoslavia bisa dibilang berkembang menjadi sebuah negara industri yang cukup disegani di Eropa. Bahkan Yugoslavia konon termasuk 10 besar negara industri militer dunia dengan standar Pakta Warsawa dan NATO yang harganya sangat kompetitif.
Bukan itu saja, Yugoslavia dikenal sebagai pelopor Gerakan Non Blok (GNB) yang berhasil menjaga keseimbangan pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada waktu itu. Boleh dibilang, Yugoslavia sebetulnya “teman” Amerika dalam menghadapi pengaruh Uni Soviet. Gerakan Non Blok boleh dibilang menguntungkan posisi AS dalam Perang Dingin (Cold War). Namun apa mau dikata, AS dan The Fed punya kepentingan lain yang jauh lebih besar untuk masuk ke Eropa Timur. Ketika Slobodan Milosevic menolak dengan tegas “proposal” NATO, AS marah. Dan terjadilah bencana itu.

Skema Balkanisasi Nusantara yang dipicu dari Gerakan Reformasi 1998, gagal. Namun kita mesti tetap waspada, karena Indonesia sudah masuk dalam agenda besar kaum imperialis Timur dan Barat. Sebuah pelajaran menarik dari kasus Balkan 1990 dan Nusantara 1998 adalah kemampuan AS memprediksi masa depan suatu bangsa. AS mampu  membaca tanda-tanda zaman dari suatu bangsa jauh sebelum bangsa itu sendiri menyadari masa depan bangsanya. Boleh dibilang AS sudah tahu masa depan satu bangsa bahkan termasuk figur pemimpinnya. Sehingga AS bisa memprediksi masa depan suatu bangsa bila dipimpin oleh figur yang pas atau sesuai dengan ramalan sejarah bisa menjadi ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Tidak mengherankan bila Kongres AS kemudian sangat mengincar pelanjut Tito, Presiden Slobodan Milosevic menjadi target prioritas utama yang harus diamankan atau dibunuh. Slobodan dianggap sebagai “Satria Piningit Komunis Baru” bukan dalam kerangka Federasi Yugoslavia tapi bagi kebangkitan PAKTA WARSAWA BARU. Dengan kata lain, Slobodan tidak bisa diajak bekerjasama untuk memperjuangkan kepentingan AS.
Belajar dari Yugoslavia, kita bisa membaca ulang peristiwa Reformasi 1998, bila kita cermati dan kita renungkan maka selain menjatuhkan Presiden Soeharto dan memiskinkan Indonesia – sesungguhnya ada dua agenda tersembunyi, hidden agenda serangan Non Militer yang gagal total. Pertama, “Balkanisasi” NKRI. Dan kedua, menyingkirkan Prabowo Subianto dari bumi ibu pertiwi karena dianggap sebagai “The Last Mohicans” Nusantara.

Nah, yang kedua ini yang menarik. Mengapa Kongres AS begitu keras berusaha menyingkirkan Prabowo Subianto sampai dilucuti karir militernya, dipaksa pensiun dini dan diusir dari kesatuan dan tanah airnya oleh sesama rekan TNI. Bukan itu saja, segala sesuatu yang berbau Prabowo Subianto harus disingkirkan atau paling tidak dilemahkan, seperti KOPASSUS misalnya yang langsung dipreteli kemampuan tempurnya dan dibatasi peranannya. Termasuk lepasnya Timor Timur dari wilayah kedaulatan NKRI sebetulnya masih berkaitan erat dengan Prabowo Subianto juga – namun skema tersebut dibungkus dengan isu demokratisasi dan hak azasi manusia. Sedangkan bagi Australia, kemerdekaan Timor Timur didorong oleh motif lain, yakni “bonus” untuk menguasai sumber cadangan migas terbukti yang mencapai 5 milyar barel di celah Timor. Jadi tidak mengherankan bila Australia akhirnya nekat melepaskan Timor TImur dari Indonesia.
AS melakukan tindakan pencegahan dini adalah demi menjaga stabilitas kepentingan nasionalnya dimasa depan. Tidak mengherankan bila AS banyak melakukan riset dengan memanfaatkan berbagai lembaga semacam “Rand Corporation” untuk memonitor perkembangan peradaban suatu bangsa. Jadi tidak mengherankan bila AS sangat menguasai sejarah suatu bangsa mulai dari mitos atau legenda sampai antropologi-sosiologinya, sehingga AS sangat menguasai watak dan karakter suatu bangsa – termasuk watak dan karakter bangsa Indonesia.
Bagi AS kebangkitan Indonesia Raya merupakan ancaman serius bagi kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu tidak boleh dibiarkan berkembang, harus dicegah sebelum tumbuh. Dan memang tidak tanggung-tanggung, seperti kita ketahui bersama dengan memanfaatkan momentum krisis moneter dunia 1997, AS menggunakan tangan IMF membolduzer infra struktur ekonomi Indonesia hingga rata dengan tanah. Indonesia langsung jatuh miskin. UUD 1945 di amandeman menjadi liberal. Figur satrianya disingkirkan dari arena politik nasional. TNI dipecah belah bahkan diadu domba sesama mereka. Tapi NKRI masih utuh.

Oleh karena itu, tampaknya sekarang perlu sebuah paradigma baru sebagai Doktrin Sistem Pertahanan Kemanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) untuk menghadapi ancaman Perang Non Militer. Maka Ketahanan Nasional yang merupakan inti dari pertahanan terhadap Perang Non Militer harus segera dibangun secara serius dan konsisten dalam waktu dekat sebagai bentuk penjabaran kepentingan nasional Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
(Bersambung ke Bagian Ketiga)

Sumber:http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16725&type=4#.VIqa1yxn7U4

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *