Analisis |
Penulis : Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI | |
Indonesia
sejak dekade 1980-an telah mendapat serangan Non Militer secara
sistematis dan terencana melalui agenda setting media. Hal tersebut
menjadi kajian menarik dalam diskusi terbatas GFI tentang prospek media
beberapa waktu lalu.
| |
Bahwa
ada agenda setting asing yang secara sistematis dan konsisten menyerang
Indonesia dengan isu-isu “Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Lingkungan
Hidup.” Dan sebagai catatan bahwa serangan Non Militer tidak akan
berjalan efektif bila tidak ada dukungan dari dalam negeri. Dukungan
para komprador, baik sipil maupun militer. Dan diluar semua itu ada
serangan Non Militer Amerika yang paling halus dan paling mematikan
yakni terpaan budaya gaya hidup hollywood dengan pornografinya.
Terpaan
budaya yang terus menerus berlangsung selama puluhan tahun nampaknya
berhasil menerobos ketahanan budaya dan kearifan lokal kita sehingga
berhasil melemahkan ipoleksosbudmil bangsa Indonesia. Ibarat Dracula,
Hollywood adalah Istana Dracula, siapa tersihir dia akan menjadi budak
setianya. Welcome to Hollywood!
SEKILAS PERANG NON MILITER DI INDONESIA
Kalau
kita membaca ulang berita politik di tanah air, kemudian kita buat
semacam framing tentang isu TNI – maka akan terlihat jelas bahwa ada
agenda setting pemberitaan di tanah air sejak dekade 1980-an yang begitu
sistematis dan masif menyerang TNI. Dalam bahasa jurnalisnya TNI adalah
aktor pelanggar HAM, jadi harus masuk “penjara” atau dibarakkan. Bahasa
demokrasinya TNI harus menjadi tentara profesional, artinya TNI harus
dijauhkan dari rakyat, dicabut dari akarnya dan diputus dari sejarah
kelahirannya. Dan berhasil!
Sesuai
dengan undang-undang yang berlaku setelah reformasi 1998, TNI dikirim
ke barak dan menjadi tentara profesional. Sebaliknya Polisi diberikan
tugas keamanan dan ketertiban yang seluas-luasnya dalam payung keamanan
nasional yang sebetulnya merupakan tugas TNI, seperti memberantas
terorisme, separatisme dan Perang Non Militer yang mengancam
disintegrasi bangsa. Jadi setelah reformasi 1998, Polisi seakan-akan
berperan ganda menjadi “TNI.”
Bila
dibaca sepintas, memang serangan Non Militer tersebut dipermukaan
jelas-jelas ditujukan kepada Presiden Soeharto yang distigmakan sebagai
rejim otoriter tetapi sasaran tembak sesungguhnya adalah TNI. Mengapa
TNI? Dimata AS, TNI adalah tulang punggung kekuatan Orde Baru sekaligus
lem perekat NKRI dengan “Sapta Marganya.” Oleh karena itu, untuk
melemahkan dan memecah belah Indonesia sebagai langkah strategis pertama
Amerika adalah melumpuhkan organ TNI dulu. Bahkan AS melalui Australia
secara terang-terang meminta Presiden Soeharto untuk membubarkan
Kopassus. Tapi tidak digubris.
Bila
kita renungkan, lepasnya Timor-Timur, Sipadan dan Ligitan adalah dampak
langsung dari Pengkerdilan Peran TNI secara sistematis tersebut. Sebab,
bila doktrin TNI berjalan, tidak mungkin ada wilayah NKRI yang
terlepas. Hal tersebut ditegaskan oleh Menhankam Jenderal TNI (Purn)
Ryamizard Ryacudu bahwa tidak akan ada lagi wilayah NKRI yang lepas.
Memang sudah menjadi keawajiban utama TNI untuk menjaga wilayah
perbatasan dan keutuhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia tanpa
kompromi. NKRI harga mati.
Pilihan
mundur Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan pada peristiwa Reformasi
1998 adalah demi menjaga keutuhan NKRI – itulah cermin dari watak
seorang pemimpin besar juga seorang negarawan tulen. Presiden Soeharto
kala itu kalau mau bukan tidak mampu meredam gerakan Reformasi 1998.
Bila mau, hal tersebut mudah saja baginya. Tapi Presiden Soeharto sadar
dan berpikir jauh kedepan demi keutuhan NKRI, bila gerakan mahasiswa itu
diredam dengan skema Tiananmen misalnya – sudah pasti akan terjadi
pertumpahan darah sesama anak bangsa yang tidak berdosa dan tidak
mengerti persoalan. Bukan itu saja, Presiden Soeharto pasti akan dicap
sebagai pelanggar HAM berat – bahkan kriminal.
Bila
hal tersebut itu terjadi, Indonesia pasti diembargo oleh AS dan
sekutunya bahkan dunia internasional. Bila Indonesia diembargo, tentu
akan terjadi krisis dan pergolakan di dalam negeri yang digerakkan oleh
para komprador. Dan itu sama artinya dengan membuka pintu masuk
lebar-lebar bagi AS dan sekutunya untuk melancarkan operasi Non Militer
yang memang telah ditunggu-tunggu selama ini untuk mengintensifkan
bangkitnya nasionalisme sempit kedaerahan dan gerakan separatis di Benua
Nusantara. Jika hal itu berjalan, maka tercapailah proyek “Balkanisasi
Nusantara” sebagaimana skema yang direkomendasikan oleh RAND
Corporation, sebuah badan riset akademis yang khusus melayani
kepentingan Pentagon. Dalam taraf tertentu harus diakui bahwa Skema Rand
Corporation jelas berhasil di Indonesia dengan diberlakukannya
undang-undang Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Papua.
Tampaknya tinggal menyusul daerah lain bila dibiarkan.
YUGOSLAVIA KORBAN PERTAMA IMPERIALISME MILENIUM KETIGA
Sejak
tanggal 24 Maret 1999, kekuatan-kekuatan militer Pakta Pertahanan
Atlantik Utara (NATO), dipimpin oleh Amerika Serikat, telah menjadikan
Yugoslavia sebagai sasaran dari sebuah pemboman yang menghancurkan.
Menerbangkan lebih dari 15.000 misi pengeboman, NATO telah membom rata
kota-kota dan desa-desa Yugoslavia, menghantam pabrik-pabrik,
rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan-jembatan, depot-depot
minyak dan kantor-kantor pemerintah. Ribuan orang telah tewas dan
terlukai, termasuk penumpang-penumpang kereta api dan bus, dan
pekerja-pekerja di stasiun pemancar televisi dan stasiun-statiun
pemancar ulang. Perumahan penduduk sipil baik di Sebia dan Kosovo telah
dihantam.
Propaganda
pun dilancarkan untuk menyesatkan opini publik internasional. Dalam
kasus Yugoslavia, propaganda yang terus menerus dihembuskan oleh AS
adalah penggambaran perang pemurnian etnis di Yugoslavia oleh Slobodan
Milosevic. Sehingga dalam berita yang terpancar melalui media
pembantaian masal di Yugoslavia bukannya dilakukan oleh NATO sebagai
penyerang. Dan sesuai agenda setting propaganda ini hanya mengizinkan
media untuk menggambarkan Yugoslavia bukannya NATO sebagai penyerang.
Seperti
kita ketahui bersama, sejak berdirinya NATO pada 4 April 1949, di
Brussel, Belgia, yang ditandatangani oleh 12 negara, yakni Inggris,
Kanada, Amerika, Prancis, Italia, Portugis, Islandia, Luksemburg,
Belanda, Denmark, Norwegia, dan Portugis – baru pertama kali ini NATO
difungsikan dan langsung sebagai mesin pembunuh masyarakat sipil di
Eropa. Sebuah langkah strategis yang diambil AS untuk menekan negara
yang berani melawan kepentingannya. Dengan kata lain serangan NATO ini
telah mempertegas posisi AS sebagai penguasa dunia. Pada waktu yang
sama, ekspansi NATO ke Polandia, Hungaria dan Republik Czech adalah
sebuah bentuk perluasan pengaruh AS yang sangat berhasil di Eropa.
Perang
NATO sesungguhnya bisa digambarkan sebagai sebuah perang agresi
imperialis pertama terhadap negara bangsa dunia di milenium ketiga.
Yugoslavia adalah negara pertama yang ditaklukkan secara militer oleh
NATO. Sebagai sebuah istilah ilmiah, imperialisme merupakan perkembangan
sejarah dari istilah kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi dunia.
Namun wajah imperialisme tetap sama yakni: penindasan melalui persaingan
bebas konglomerasi raksasa yang memonopoli negara sekaligus
menghancurkan eksistensi negara bangsa dengan tujuan membuka akses jalan
ke pasar-pasar, bahan-bahan mentah dan sumber tenaga kerja baru atau
perbudakan gaya baru di seluruh dunia.
Dewasa
ini Imperialisme telah menciptakan jalan tol yang bernama globalisasi
dimana imperialisme dapat menjarah negara-negara berkembang tanpa
hambatan baik dimuka bumi maupun dunia maya. Kaum Imperialis kini telah
menjadi parasit yang menguasai Amerika bahkan dunia dengan Bank
Sentralnya, Federal Reserve. Melalui kedudukannya sebagai penguasa
keuangan dunia, The Fed menggunakan badan-badan keuangan raksasa sebagai
alat seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World
Bank), imperialisme berada dalam posisi untuk mendikte politik
negara-negara berkembang yang lebih kecil yang tergantung pada kredit
mereka. Sedangkan dengan Badan Perdagangan Dunia (WTO) imperialisme
telah menguasai pasar dan mengatur perdagangan dunia internasional
sekaligus membendung masuknya produk negara-negara berkembang ke negara
maju.
Melalui
hegemoni mereka atas pasar dunia, kekuatan-kekuatan imperialis menekan
harga semurah-murahnya untuk bahan-bahan mentah yang membuat
negara-negara lebih kecil tetap dalam kemiskinan. Semakin banyak
negara-negara ini meminjam, semakin mereka menjadi miskin dan
tergantung. Seperti halnya NATO di kosovo lebih menyerupai rejim
NATO–IMF yang memerintah Bosnia, sebuah bentuk pemerintahan negara dalam
negara. Hal ini menggabarkan sebuah ambisi kejam Bank Sentral AS dan
jaringannya dengan menggunakan tangan-tangan konglomerasi raksasa
transnasional untuk memperluas jangkauan mereka masuk lebih jauh ke
dalam Eropa supaya dapat memeras profit. Sejak penaklukan secara halus
dengan Marshal Plan pasca perang dunia kedua terhadap Eropa Barat, maka
peristiwa Yugoslavia tahun 1989-1991 menggambarkan uraian ikatan
tangan-tangan imperilaisme AS dalam gelanggang ini secara kasar dan
kejam. Perlahan tapi pasti Eropa Timur pun mulai dicengkeram.
Yugoslavia
adalah sebuah bukti nyata kekejaman dari gerakan imperialisme yang
telah terintegrasi dalam sistem keamanan global Amerika. Setelah
bubarnya Uni Soviet, Slobodan Milosevic dianggap sebagai musuh besar
oleh AS seperti halnya Saddam Hussein di Irak. Habis manis sepah
dibuang. Melalui Agenda Setting media yang luar biasa Presiden
Yugoslavia Slobodan Milosevic digambarkan sebagai setan, dengan
tuntutan-tuntutan yang tidak berdasar dan simpang-siur atas pembunuhan
massal dan kematian orang-orang Albania. Sebuah eksploitasi tuntutan
tanpa henti atas terjadinya “pemusnahan masal terhadap suatu bangsa,”
dan pemancaran berulang gambar-gambar televisi dari pengungsi-pengungsi
yang menderita dirancang lebih untuk melemahkan, membiasakan dan
menakuti-nakuti umum dari pada untuk menyakinkan melalui pemaksaan
argumen. Inilah yang kemudian menjadi argumen AS untuk menginvasi
Yugoslavia.
Dibalik hiruk-pikuk itu, ada sebuah catatan menarik dari keputusan Kongres AS bahwa Slobodan Milosevic dianggap sebagai “The Last Mohicans”
Komunis. Ya, Slobodan adalah “Kepala Suku” Komunis terakhir yang
nasionalis. Matikan api sebelum menjadi besar demikian keputusan Kongres
AS. Slobodan Milosevic harus disingkirkan. Dan seperti telah diuraikan
diatas Slobodan kemudian menjadi korban isu global sebagai gembong
pelanggar hak azasi manusia dari Balkan yang dipublikasikan
besar-besaran ke seluruh penjuru dunia oleh media massa.
Bukan
itu saja, tidak tanggung-tanggung, Yugoslavia dihancurkan dengan
konflik bersenjata akibat kebangkitan nasionalisme sempit – yang
kemudian kita kenal dengan istilah “Balkanisasi” sehingga terpecah belah
menjadi negara-negara kecil baru antara lain: Republik Serbia, Republik
Montenegro, Republik Kroasia, Republik Slovenia, Republik Makedonia dan
Bosnia Herzegovina.
Sambil
melakukan operasi pemboman, NATO juga mengamankan area-area yang
memiliki cadangan sumber daya alam untuk dijarah oleh korporasi
transnasional yang memang tidak tidak seberapa besar, seperti cadangan
mineral timah hitam, seng, perak dan emas, serta 17 milyar ton cadangan
batubara.
Melihat
besaran cadangan sumber daya alam yang ada jelas bukan menjadi target
utama serangan, tapi sebagai bahan bakar untuk merangsak lebih jauh lagi
ke Timur jelas lebih dari cukup. Jadi serangan NATO, sebetulnya lebih
kepada mengamankan posisi strategis untuk serangan selanjutnya menuju
wilayah yang memiliki SDA melimpah: Eropa Timur. AS dan NATO telah
mempunyai agenda besar sampai ke Laut Kaspia.
Yugoslavia
sendiri sejak dipimpin oleh Presiden Josep Broz Tito adalah sebuah
negara Komunis yang mandiri, sejahtera dan makmur rakyatnya. Dibawah
Presiden Tito, Yugoslavia bisa dibilang berkembang menjadi sebuah negara
industri yang cukup disegani di Eropa. Bahkan Yugoslavia konon termasuk
10 besar negara industri militer dunia dengan standar Pakta Warsawa dan
NATO yang harganya sangat kompetitif.
Bukan
itu saja, Yugoslavia dikenal sebagai pelopor Gerakan Non Blok (GNB)
yang berhasil menjaga keseimbangan pengaruh Amerika Serikat dan Uni
Soviet pada waktu itu. Boleh dibilang, Yugoslavia sebetulnya “teman”
Amerika dalam menghadapi pengaruh Uni Soviet. Gerakan Non Blok boleh
dibilang menguntungkan posisi AS dalam Perang Dingin (Cold War).
Namun apa mau dikata, AS dan The Fed punya kepentingan lain yang jauh
lebih besar untuk masuk ke Eropa Timur. Ketika Slobodan Milosevic
menolak dengan tegas “proposal” NATO, AS marah. Dan terjadilah bencana
itu.
Skema
Balkanisasi Nusantara yang dipicu dari Gerakan Reformasi 1998, gagal.
Namun kita mesti tetap waspada, karena Indonesia sudah masuk dalam
agenda besar kaum imperialis Timur dan Barat. Sebuah pelajaran menarik
dari kasus Balkan 1990 dan Nusantara 1998 adalah kemampuan AS
memprediksi masa depan suatu bangsa. AS mampu membaca tanda-tanda zaman
dari suatu bangsa jauh sebelum bangsa itu sendiri menyadari masa depan
bangsanya. Boleh dibilang AS sudah tahu masa depan satu bangsa bahkan
termasuk figur pemimpinnya. Sehingga AS bisa memprediksi masa depan
suatu bangsa bila dipimpin oleh figur yang pas atau sesuai dengan
ramalan sejarah bisa menjadi ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Tidak
mengherankan bila Kongres AS kemudian sangat mengincar pelanjut Tito,
Presiden Slobodan Milosevic menjadi target prioritas utama yang harus
diamankan atau dibunuh. Slobodan dianggap sebagai “Satria Piningit
Komunis Baru” bukan dalam kerangka Federasi Yugoslavia tapi bagi
kebangkitan PAKTA WARSAWA BARU. Dengan kata lain, Slobodan tidak bisa
diajak bekerjasama untuk memperjuangkan kepentingan AS.
Belajar
dari Yugoslavia, kita bisa membaca ulang peristiwa Reformasi 1998, bila
kita cermati dan kita renungkan maka selain menjatuhkan Presiden
Soeharto dan memiskinkan Indonesia – sesungguhnya ada dua agenda
tersembunyi, hidden agenda serangan Non Militer yang gagal total.
Pertama, “Balkanisasi” NKRI. Dan kedua, menyingkirkan Prabowo Subianto
dari bumi ibu pertiwi karena dianggap sebagai “The Last Mohicans” Nusantara.
Nah,
yang kedua ini yang menarik. Mengapa Kongres AS begitu keras berusaha
menyingkirkan Prabowo Subianto sampai dilucuti karir militernya, dipaksa
pensiun dini dan diusir dari kesatuan dan tanah airnya oleh sesama
rekan TNI. Bukan itu saja, segala sesuatu yang berbau Prabowo Subianto
harus disingkirkan atau paling tidak dilemahkan, seperti KOPASSUS
misalnya yang langsung dipreteli kemampuan tempurnya dan dibatasi
peranannya. Termasuk lepasnya Timor Timur dari wilayah kedaulatan NKRI
sebetulnya masih berkaitan erat dengan Prabowo Subianto juga – namun
skema tersebut dibungkus dengan isu demokratisasi dan hak azasi manusia.
Sedangkan bagi Australia, kemerdekaan Timor Timur didorong oleh motif
lain, yakni “bonus” untuk menguasai sumber cadangan migas terbukti yang
mencapai 5 milyar barel di celah Timor. Jadi tidak mengherankan bila
Australia akhirnya nekat melepaskan Timor TImur dari Indonesia.
AS
melakukan tindakan pencegahan dini adalah demi menjaga stabilitas
kepentingan nasionalnya dimasa depan. Tidak mengherankan bila AS banyak
melakukan riset dengan memanfaatkan berbagai lembaga semacam “Rand
Corporation” untuk memonitor perkembangan peradaban suatu bangsa. Jadi
tidak mengherankan bila AS sangat menguasai sejarah suatu bangsa mulai
dari mitos atau legenda sampai antropologi-sosiologinya, sehingga AS
sangat menguasai watak dan karakter suatu bangsa – termasuk watak dan
karakter bangsa Indonesia.
Bagi
AS kebangkitan Indonesia Raya merupakan ancaman serius bagi kepentingan
nasionalnya. Oleh karena itu tidak boleh dibiarkan berkembang, harus
dicegah sebelum tumbuh. Dan memang tidak tanggung-tanggung, seperti kita
ketahui bersama dengan memanfaatkan momentum krisis moneter dunia 1997,
AS menggunakan tangan IMF membolduzer infra struktur ekonomi Indonesia
hingga rata dengan tanah. Indonesia langsung jatuh miskin. UUD 1945 di
amandeman menjadi liberal. Figur satrianya disingkirkan dari arena
politik nasional. TNI dipecah belah bahkan diadu domba sesama mereka.
Tapi NKRI masih utuh.
Oleh
karena itu, tampaknya sekarang perlu sebuah paradigma baru sebagai
Doktrin Sistem Pertahanan Kemanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) untuk
menghadapi ancaman Perang Non Militer. Maka Ketahanan Nasional yang
merupakan inti dari pertahanan terhadap Perang Non Militer harus segera
dibangun secara serius dan konsisten dalam waktu dekat sebagai bentuk
penjabaran kepentingan nasional Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945.
(Bersambung ke Bagian Ketiga)
Sumber:http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16725&type=4#.VIqa1yxn7U4
|
0 komentar:
Posting Komentar