Penulis : Penulis : Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI | |
Melihat
perkembangan cara berperang abad 21 yang lebih mengutamakan Perang Non
Militer mau tidak mau kita harus mengubah paradigma doktrin pertahanan
keamanan yang sudah ada. Tapi pertama-tama kita harus merumuskan dahulu
apa yang dimaksud dengan ancaman Non Militer – kemudian baru membuat
kontra skema sesuai dengan skala prioritas ancaman.
| |
POLITIK MINYAK AMERIKA DI EROPA
Sikap
ganas yang ditampilkan oleh AS dalam campur tangannya di Yugoslavia
adalah juga isyarat kepada kawan dan lawan untuk bekerjasama sesuai
dengan tuntutan kepentingan AS. Efek pembantaian sipil oleh NATO di
Yugoslavia ternyata cukup ampuh menekan Uni Eropa yang kemudian menjadi
takut bahwa mereka dapat saja menjadi sasaran yang berikutnya dari aksi
militer NATO, jika mereka melawan tuntutan-tuntutan AS. Jerman, Inggris
dan Perancis cukup gelisah melihat tujuan-tujuan AS di Eropa bahkan
diperoleh informasi bahwa Pentagon telah mempunyai rencana-rencana untuk
perang dengan negara sekutunya sendiri.
Dibawah
tanah, Kaum Borjuis Eropa tidak bisa menerima keadaan mereka yang
ditekan dan didikte terus-menerus oleh Paman Sam. Perebutan sumber daya
alam di Asia Tengah dan Eropa Timur antara AS, Jerman, Perancis, Inggris
dan Italia dibayangi ketegangan yang sewaktu-waktu bisa saja meledak.
Ketegangan-ketegangan itu telah kelihatan jelas. Kekuatan-kekuatan
Eropa, telah lama mencari sebuah jalan untuk mengurangi peranan besar AS
dalam perdagangan internasional. Salah satu kontra skema Uni Eropa
adalah dengan penyatuan moneter dan menciptakan Euro untuk menandingi
Dollar sebagai cadangan mata uang dunia. Sedangkan Jerman yang berada
dibawah kontrol ketat AS – telah menjadikan Rusia sebagai perpanjangan
tangan ekonominya. Oleh karena itu, bila terjadi konflik antara Amerika
dan Rusia, maka Jermanlah yang paling merasakan dampaknya.
Bukan
itu saja, ketegangan AS-Jepang juga akan berlanjut mengikuti perebutan
sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur. Kepentingan kedua belah
pihak sebagai pengimpor minyak besar sangat membutuhkan cadangan
pasokan baru dari wilayah-wilayah jarahan baru. Demikian pula ketegangan
AS-China meningkat setelah AS semakin memperluas pengaruhnya menerobos
Eropa Timur hingga Kaspia. Seperti kita ketahui, China memiliki
kepentingan terhadap saluran pipa yang akan menyalurkan minyak Kaspia ke
arah Timur yang ditandatangani pada 1997, sebuah transaksi bernilai 4,3
milyar dollar untuk mendapatkan 60 persen kepemilikan dalam fasilitas
minyak Kazakhtan. Dan AS tanpanya terus berusaha dengan segala cara
untuk mengurangi pengaruh China di daerah ini.
Sebuah
perkembangan menarik yang perlu kita cermati juga kedepannya adalah
dapatkah AS, Uni Eropa, Jepang dan China saling berbagi kavling secara
damai menyangkut perebutan migas dan kontrak-kontrak pembangunan yang
bernilai trilyunan dollar di Eropa Timur dan Asia Tengah. Bila perebutan
dilakukan dengan pendekatan konflik maka ketegangan-ketegangan di
wilayah yang dijarah pasti akan meningkat – perselisihan etnis bisa saja
berubah menjadi sebuah konflik bersenjata bila milyaran dollar terus
mengalir sebagai akibat hasil produksi minyak dan gas yang melimpah yang
hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Seperti
konflik di Abkhazia, bila kita telusuri akar konflik di Abkhazia sudah
berusia panjang. Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua negara Republik
pecahan Georgia di Kaukasus. Keduanya telah berupaya melepaskan diri
dari Georgia sejak tahun 1920-an. Setelah Revolusi Rusia tahun 1917,
Abkhazia dan Ossetia Selatan ditetapkan sebagai dua republik otonom yang
merupakan bagian dari Georgia dan termasuk di dalam wilayah Uni Soviet.
Masalah kedaulatan keduanya semakin kompleks ketika Uni Soviet bubar
dan Georgia menyatakan kemerdekaannya yang diikuti dengan konflik
bersenjata pada 1992 dan 2008. Rusia kemudian mengakui kedua Republik
tersebut sebagai negara merdeka yang terpisah dan berdiri sendiri. Putin
bahkan berjanji akan memberikan bantuan militer dalam setiap konflik
Abkhazia dengan Georgia.
Separatis
Abkhazia, yang secara budaya dan agama berbeda dari penduduk Georgia,
mengobarkan perang sengit setelah runtuhnya Uni Soviet yang menewaskan
lebih dari 250.000 orang. Kremlin mengakui kemedekaan Ossetia Selatan
dan Abkhazia, pada 26 Agustus 2008 setelah pasukan Rusia memukul mundur
pasukan Georgia yang ingin menguasai lagi Ossetia Selatan. Namun PBB,
Uni Eropa dan NATO menolak mengakui kedaulatan Abkhazia dan Ossetia
Selatan.
Beberapa
saat setelah kemenangan tentara Rusia, Wakil Presiden AS Dick Cheney
segera berkunjung ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina, pada 3-5
September 2008. Kunjungan Cheney tersebut semakin menegaskan kepentingan
AS di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet itu. Sejak awal tahun
1990-an, perusahaan-perusahaan raksasa migas AS telah berhasil menguasai
hak untuk mengembangkan sejumlah proyek, seperti eksplorasi ladang
minyak Tengiz di Kazakhstan, ladang Azeri – Chirag – Guneshi di
Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan. Bukan itu
saja, langkah strategis AS lainnya adalah membuat rute baru jaringan
pipa migas menghindari Rusia dan Iran.
Jauh
sebelum kenaikan harga minyak, yakni tahun 1998, seorang petinggi
perusahaan minyak UNOCAL, John J Maresca, saat tampil di depan Komite
Hubungan Internasional, sub-komite Asia-Pasifik, House of
Representatives AS, memaparkan betapa besar potensi migas di sekitar
Kaspia. Menurut Maresca, Kaspia punya cadangan hidrokarbon yang belum
tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan,
dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Sedangkan total
cadangan minyak di wilayah itu kemungkinan lebih dari 60 miliar barrel.
Bahkan, ada perkiraan cadangan minyak Kaspia mencapai 200 miliar barrel.
Oleh karena itulah AS sangat berkepentingan membangun rute jaringan
pipa migas baru di wilayah Asia Tengah karena jaringan pipa yang ada
saat ini masih berada di bawah kekuasaan Rusia. Sampai-sampai Presiden
George W Bush, yang mewakili kalangan industri migas AS, mengundang
Vladimir Putin ke rumah peristirahatannya secara pribadi, memancing
bersama.
Sebelum
Bush, pada pertengahan tahun 1990-an, pemerintahan AS di bawah Presiden
Clinton telah mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk
mengekspor migas Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Rusia, Iran dan
China. Proyek pertama adalah ekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan
dan Pakistan ke Samudra Hindia, namun proyek ini gagal karena keamanan
di Afganistan dan Pakistan yang tidak mendukung. Sedang proyek kedua
membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara di
Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung
dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan
Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa
Baku (Azerbaijan) – Tbilisi (Georgia) – Ceyhan (Turki). Jaringan pipa
ini menjadi jalur utama ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan
bila berhasil merupakan pukulan telak terhadap dominasi rute energi
Rusia dari Kaspia ke Barat.
Tidak
mengherankan bila Presiden Clinton menunjuk Condoleezza Rice sebagai
Menteri Luar Negeri AS saat itu. Condoleezza Rice, adalah seorang pakar
Uni Soviet sekaligus petinggi di perusahaan minyak Chevron, pada
1991-1995. Jadi wajar saja bila Chevron berhasil menguasai hampir
seluruh ladang minyak Tengiz dan Kazakhstan yang memiliki cadangan
potensial 25 miliar barrel. Demikian pula halnya dengan Wakil Presiden
Dick Cheney yang juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur
perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat
Tengizchevroil di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan
Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Uni Soviet, dengan kepemilikan
Chevron 50 persen, Exxon Mobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan
melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia.
Rusia
tidak tinggal diam, pada Desember 2007, Rusia berhasil membuat
kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah
jaringan pipa gas baru sepanjang Pantai Timur Kaspia menuju Rusia.
Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor 20 miliar
meter kubik per tahun dipandang sebagai sebuah pukulan atas harapan AS
yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah berkomitmen
mengirimkan migasnya ke jaringan pipa Trans–Kaspia yang bersambung
dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS.
China
juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia
Tengah dari negara-negara tetangganya di barat. Sebuah jaringan pipa
minyak Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di
utara Kaspia dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang,
barat laut China, tengah dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009.
Sebuah jaringan paralel pipa gas alam juga tengah dibangun menuju
ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan. Jadi persoalan utama
konflik di Georgia lebih kepada memperebutkan sumber migas di Kaspia,
ketimbang berita politik di media massa. AS lupa bahwa biar bagaimanapun
Rusia masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS. Dan
negara-negara di seputar Kaspia masih segan terhadap Rusia.
Salah
satu dampak yang paling menyolok dari perebutan pengaruh imperialisme
tersebut adalah telah memiskinkan orang-orang di kawasan Asia Tengah dan
memperkaya segelintir orang di Rusia, Kaspia dan Republik Kaukasus yang
memunculkan “oligarki” Kazakhs, Aseris, Kirgis, Tajiks, Uzbeks, dan
sebagainya yang sangat kaya. Misalnya yang paling terkenal adalah
Abramovich. Di Rusia, Abramovich adalah seorang Gubernur untuk provinsi
Chukotka, ia terpilih pada tahun 2000. Di luar Rusia, ia terkenal
sebagai pemilik klub sepak bola Liga Primer Inggris Chelsea.
Sebaliknya
di Republik Kaukasus, yakni sebuah negara pegunungan yang terletak di
Kaukasus Utara, yang sekarang lebih kita kenal dengan Republik Chechnya,
Ingushetia, Ossetia-Alania Utara, dan Dagestan yang merupakan bagian
dari Federasi Rusia, dimana Republik Ingushetia yang kaya akan marmer,
kayu, dolomit, granit, batu-batuan, tanah liat, tanah air berkhasiat
medis, logam langka, air mineral dan minyak dan gas – tetap menjadi
salah satu wilayah termiskin dan tak berdaya di Rusia. Pada 2003,
pendapatan perkapita Ingushetia hanya sekitar 678 dollar atau sekitar 7
jutaan rupiah pertahun.
Gambaran
diatas adalah merupakan potret dari perkembangan perebutan penguasaan
sumber daya alam dan jalur distribusinya pada milenium ketiga yang akan
lebih banyak diputuskan oleh kekuatan-kekuatan imperialis utama dengan
melibatkan perusahaan-perusahaan minyak raksasa mereka, The Seven
Sisters. Konflik-konflik etnis dan militer mendatang tampaknya akan
banyak disulut di daerah-daerah yang memiliki cadangan migas besar
dunia, seperti di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet termasuk di
Benua Nusantara tercinta. Tampaknya pernyataan Obama yang akan
mengurangi impor minyaknya dari kawasan Timur Tengah ke Asia Tengah
bukan basa-basi.
ANCAMAN NON MILITER
Memasuki
millenium ketiga, secara teknis dominasi AS di dunia semakin menguat
melalui jaringan Bank Sentral di setiap negara yang dikendalikan oleh
Federal Reserve dengan IMF dan World Bank sebagai pelaksananya. Demikian
pula kontrol perdagangan dunia melalui WTO yang dapat mengendalikan
pertumbuhan negara-negara berkembang sesuai dengan kehendak AS.
Survei-survei pertumbuhan ekonomi terhadap negara-negara berkembang yang
rutin dirilis oleh AS melalui IMF, World Bank, Goldman Sach, StandChart
dan lembaga-lembaga keuangan lain – merupakan bukti nyata dari sistem
kontrol AS yang begitu ketat terhadap kemajuan negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia ditempatkan dalam kelompok G20,
dalam deretan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar. Daging segar.
Melalui
WTO AS berhasil menghilangkan batas-batas negara dan menaklukan negara
berdaulat dengan menjalankan skema liberalisasi, pasar bebas dan
privatisasi. Indonesia sendiri sejak Reformasi 1998 telah kembali
menjadi ajang rebutan oleh negara-negara industri maju yang sangat
membutuhkan bahan baku bagi kelangsungan industrinya. Melihat gejala
bergesernya fokus pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia Timur – dimana
Indonesia persis berada ditengah-tengah jalur strategis itu, tepat
dipersilangan – maka dimasa depan tampaknya Indonesia akan menjadi arena
pertempuran Non Militer antara kekuatan negara-negara imperialis utama
pada 2020.
Siapa
saja yang akan terlibat dalam Pertempuran Non Militer di Bumi Nusantara
tersebut. Kita mulai saja dari pemain lama sejak zaman kuno, yakni
Negeri Tiongkok. Dengan skema Jalur Sutera Maritim abad 21, China
jelas-jelas ingin menguasai Indonesia seutuhnya, kalau bisa. Menteri
Luar Negeri China Wang Yi ketika melawat ke Indonesia dan bertemu dengan
Presiden Jokowi di Istana Merdeka telah menegaskan bahwa Pemerintah
China sangat “terkesan” dengan gagasan poros maritim yang hendak
dikembangkan Presiden Joko Widodo lima tahun mendatang. China siap
melakukan kerja sama sepenuhnya seperti investasi membangun pelabuhan di
jalur tol laut yang dirancang pemerintahan Jokowi. Dan yang paling
penting bagi Beijing adalah mengintegrasikan konsep poros maritim dengan
Jalur Sutera Maritim Abad 21. Sekadar informasi, jalan sutera yang
dimaksud adalah rute kapal dari China, melewati Vietnam, serta Thailand
lalu melewati Indonesia terus ke Selat Malaka, melalui Riau, Dumai, dan
Belawan. Atau masuk lewat Filipina terus melalui Selat Sulawesi, Bitung,
Makassar, hingga Surabaya.
Jalur sutera maritim abad 21
Untuk
itu tidak tanggung-tanggung, China telah menyiapkan dana tidak
terbatas, teknologi serta sumber daya manusianya untuk menguasai
Indonesia – proyek Jurong, sebut saja Jurong Limited di Singapura –
merupakan salah satu skema Perang Non Militer yang telah disiapkan sejak
lama. Sejak kepemimpinan PM Zhurong Ji dekade 1990-an, Jurong Ltd.
memang di desain khusus untuk menginvasi Indonesia dalam bidang energi
dan industri, baik industri otomotif, manufaktur, smelter dan industri
lainnya, termasuk kilang minyak dan pembangkit listrik. Sebagai catatan
saja, Sinopec Group telah lama menyiapkan dana sebesar US$ 850 juta
untuk membangun kilang minyak di Batam dengan kapasitas 16 juta barel.
Namun terus di delay oleh SBY. Sekarang, China telah siap
menginvestasikan US$ 100 milyar di Indonesia, tinggal menunggu tanda
tangan Presiden Jokowi saja. Sebagai informasi saja: bila kita bicara
investasi perusahaan China artinya dana investasi itu berasal dari
negara.
Dedengkot
selanjutnya adalah Amerika yang tidak ingin hegemoni globalnya
diganggu. Kepentingan nasional AS adalah menjaga stabilitas suplai
minyak dan kebutuhan bahan baku bagi pemenuhan kelangsungan industri
dalam negerinya. Jumlah impor minyak AS dari Indonesia sendiri masih
misteri karena memang kita tidak pernah tahu berapa volumenya. Tapi yang
jelas, AS sangat berkepentingan dengan Indonesia karena faktor minyak
dan bahan baku tambang lain yang terkandung di Bumi Ibu Pertiwi. Free
Port di Papua misalnya, sejak 1967 tidak pernah berhenti mengeruk emas
dari Bumi Papua, demikian pula dengan Exxon dan kawan-kawan yang terus
memompa minyak kita tanpa kenal lelah, baik di darat maupun di laut. Dan
sekaligus menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran produk-produk
pertanian AS dan sekutunya yang tidak terbatas yang diatur melalui
tangan WTO. Diluar semua itu, ada agenda besar AS untuk membangun “Free
Port” kedua di Kalimantan, tapi kali ini merupakan proyek raksasa Partai
Demokrat Amerika. Konon investornya adalah Bill Gates, orang nomor satu
terkaya di Amerika. Selamat bergabung Bill Gates!
Tidak
mau ketinggalan adalah Belanda dan Uni Eropa (UE). Tampaknya krisis
yang berkepanjangan telah menyadarkan Uni Eropa untuk bangkit bergabung
dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang sedang menggeliat.
Survei-survei lembaga keuangan dunia telah menunjukkan bahwa UE akan
disalip oleh negara-negara berkembang seperti China, India, Korea
Selatan dan Indonesia dalam satu sampai dua dekade mendatang. Dan tidak
tanggung-tanggung konon Rp. 1.000 trilyun telah disiapkan oleh UE untuk
membangun Great Garuda sebagi pusat keuangan dan perdagangan dunia di
Utara Jakarta.
Tidak
salah juga jika disebut VOC datang lagi. Proyek ini memang dibungkus
sebagai sebuah bentuk kerjasama G to G, antara pemerintah Belanda dengan
Indonesia. Tidak mengherankan bila Retno Lestari Priansari menjadi
Menteri Luar Negeri Indonesia yang memang karir dan pendidikannya
ditempa di Uni Eropa sibuk menjadi tuan rumah yang baik.
Proyek Great Garuda Di Utara Jakarta
Masuknya
UE ke Indonesia membangun proyek raksasa bukan sekedar pertarungan EURO
dan DOLLAR dan transaksi minyak dunia – tetapi lebih perebutan
penguasaan SDA Indonesia yang terbukti, seperti migas dan minerba yang
sangat berlimpah mulai Aceh sampai Papua. Tinggal bagaimana AS dan UE
membagi kavling daratan Sulawesi, Kalimantan dan Aceh yang tersisa.
Sedangkan posisi China tampaknya sudah cukup nyaman dengan menguasai
ekonomi, industri dan pasar Indonesia – tinggal bagaimana regulasi
pemerintah Indonesia menyikapi investasi, relokasi pabrik dan sdmnya ke
Indonesia. Skema Jalur Sutera abad 21, tinggal membereskan Malaysia dan
menaklukkan Indonesia. China tampaknya telah menemukan skema yang pas
untuk menguasai Malaysia. Namun menemui kesulitan besar untuk
menaklukkan bangsa Indonesia – karena alam bawah sadar bangsa Indonesia
memiliki reflek anti China. Nah, hal inilah yang menjadi ganjalan
terbesar bagi mulusnya skema Jalur Sutera abad 21 tersebut.
Masalah
yang krusial dalam waktu dekat ini adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
yang sudah di depan mata. Indonesia jelas tidak siap menghadapi
persaingan “pasar bebas” dengan negara tetangga. Terbukanya bursa tenaga
kerja asing tentu akan merugikan tenaga kerja potensial Indonesia di
tanah air – yang memang kalah tingkat pendidikannya dengan negara
tetangga. Belum lagi relasi konglomerasi asing yang membanjiri Indonesia
tentu mereka lebih nyaman mempekerjakan orang mereka sendiri dilevel
tertentu. Nah, ancaman paling serius mungkin di sektor pariwisata –
dimana Indonesia kalah bersaing di kawasan – sehingga bisa saja sektor
pariwisata kita akan dikuasai oleh Malaysia, Singapura dan Thailand. Dan
seperti yang sudah-sudah Indonesia tetap dijadikan pasar yang sangat
besar dan menguntungkan bagi MEA 2015 dengan 250 juta penduduknya yang
sebagian besar sangat konsumtif dan rakus dengan dengan merk dagang
asing. Sekali lagi, Indonesia adalah pasar tunggal MEA 2015. No way out!
KONTRA SKEMA
Dari
uraian diatas dapat kita bayangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan
menjadi arena pertempuran Non Militer dari berbagai kepentingan di
atas. Lalu apa persiapan Indonesia menghadapi skema Perang Non Militer
tersebut. Hal pertama yang harus disadari oleh bangsa kita adalah bahwa
Indonesia bukan lagi sebuah negara merdeka karena sudah memiliki
ketergantungan kebutuhan primer yakni pangan dan energi kepada banyak
negara. Indonesia memiliki ketergantungan impor pangan dan energi lebih
dari 20 negara. Kalau dengan logika terbalik skema Perang Non Militer,
Indonesia saat ini sedang digempur habis-habisan oleh lebih dari 20
negara dunia.
Friedrich Ratzel dengan tegas mengatakan bahwa,
“suatu negara yang mempunyai ketergantungan atas kebutuhan primer,
tidak dapat dikatakan lagi sebagai negara yang telah merdeka.” Oleh
karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membentuk
sistem Ketahanan pangan dan energi nasional yang terintegrasi dalam
rangka menciptakan keamanan nasional.
Memang
perlu sebuah paradigma baru doktrin pertahanan keamanan yang berwawasan
Nusantara – seperti membuat kontra skema menghadapi ancaman Non Militer
yang sudah di depan mata. Misalnya dengan membentuk zona pertahanan
keamanan yang terintegrasi sesuai dengan kondisi ancaman yang nyata.
Berikut beberapa ancaman Non Militer yang paling nyata. Pertama, skema
Jalur Sutera Abad 21. Kedua, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Ketiga,
Kepentingan Nasional AS. Keempat, Kepentingan Jepang. Dan Kelima,
Kembalinya VOC dan kawan-kawan ke Bumi Ibu Pertiwi.
Menghadapi
kepentingan besar negara-negara tersebut, maka Indonesia perlu segera
merumuskan pola ancaman yang sedang berlangsung secara senyap sekarang
ini. Disamping membentengi geografi dan teritori ketahanan nasional
dengan membagi zona pertahanan sebagai doktrin pertahanan, antara lain:
Pertama, Kontra Skema Zona Jalur Sutera Abad 21. Kedua, Kontra Skema
Zona Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga, Pertahanan Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE). Keempat, Pertahanan Konvensional Teritorial Darat, Laut, dan
Udara. Kelima, Pertahanan Distrik.
KOMANDO PERTAHANAN NUSANTARA
Solusi
untuk mengatasi ancaman pangan dan energi, serta ancaman lain dalam
skala yang lebih luas adalah dengan segera membentuk Komando Pertahanan
Nusantara yang komprehensif dan terintegrasi. Komando Pertahanan
Nusantara (KPN) dibentuk guna kepentingan efisiensi dan efektifitas
kerja TNI dalam menyikapi Perang Non Militer yang tengah berlangsung di
Bumi Nusantara. Bila dibiarkan, mungkin pada 2020 kita hanya jadi
penonton Perang Non Militer antara negara maju di Indonesia. Jadi hal
ini dirasa memang sangat mendesak – mengingat konstitusi kita yang telah
di amandemen – sekarang justru menjadi pintu masuk bagi kepentingan
asing untuk menguasai ekonomi kita. Bahkan sektor pangan yang tadinya
tertutup bagi investasi asing, kini telah dibuka pintunya lebar-lebar
oleh Presiden SBY melalui PP Nomor 39 Tahun 2014.
Demikian
pula untuk sektor ketahanan energi kita harus menata kembali tata
kelola migas nasional. sesuai dengan semangat UU No. 8 Tahun 1971 –
dimana PERTAMINA kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita
harus mencontoh keberanian Chavez dan pada Pemimpin negara-negara
Amerika Latin lainnya dalam menghadapi tekanan AS dan sekutunya,
khususnya dalam masalah Migas.
Nah,
inilah saatnya kita berpacu dengan waktu menyelamatkan NKRI yang sudah
diujung tanduk. Tampaknya dimasa pemerintahan Jokowi inilah kesempatan
terbaik AS, UE, Jepang dan China untuk “finishing” seluruh agenda
kepentingan mereka secara serentak di Bumi Nusantara.
Bila
kita cermati, situasi negara sebetulnya sudah genting dengan derasnya
arus impor pangan yang telah banyak “membunuh” petani kita, tercatat
pada awal tahun 2014 ada 280 ribu petani yang sudah meninggalkan
profesinya pindah ke sektor lain. Bahkan menurut beberapa survei
independen bila terjadi kenaikan harga BBM dan pemerintah tidak mampu
membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran maka pada 2015
mendatang angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat dengan tajam
sampai lebih dari 100 juta orang. Fakta tersebut diperkuat oleh laporan
Bank Dunia bahwa sekitar 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin
karena pendapatan mereka hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
keluarga miskin, demikian kata Rodrigo A. Chavez Kepala Perwakilan Bank
Dunia untuk Indonesia. Sedikit guncangan ekonomi seperti jatuh sakit,
kehilangan pekerjaan atau kenaikan harga dengan mudah membuat mereka
kembali jatuh miskin.
Jadi
tujuan utama komando pertahanan nusantara tersebut selain
mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI tanpa kompromi dengan membentuk
sistem ketahanan dan keamanan pangan dan energi yang komprehensif dan
terintegrasi dengan penciptaan lapangan kerja baru secara besar-besaran.
Komando pertahanan Nusantara ini terbagi dalam tiga wilayah komando
pertahanan yakni: Barat, Tengah dan Timur.
Agar pelaksanaan pembentukan
Komando Pertahanan Nusantara berjalan dengan baik, maka perlu
dikeluarkan Undang-Undang “Darurat Perang” oleh Presiden sebagai payung
hukum “operasi militer” TNI dalam melakukan Perang Non Militer terhadap
gempuran ketahanan pangan dan energi nasional. Sedangkan Panglima Perang
bisa dipimpin langsung oleh Menteri Pertahanan. Strategi Perang Non
Militer dijalankan dengan sistem hankamrata dan siskamling yang
diperluas. Dan untuk melibatkan masyarakat sipil aktif yang dibiayai
oleh negara maka perlu dikeluarkan Undang-Undang Bela Negara (Pasal 30)
sebagai bentuk partisipasi sipil mempertahankan kedaulatan NKRI bersama
TNI dalam Perang Non Militer. Dalam skala yang lebih luas UU Bela Negara
bisa diintegrasikan dengan program mengatasi pengangguran (Pasal 27),
dan sekaligus mengayomi fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34) dalam
sistem pertahanan keamanan terpadu sesuai dengan UUD 1945.
Nah,
UU Bela Negara ini bisa dijadikan kontra skema menghadapi Perang Non
Militer guna mengembalikan kembali kedaulatan pangan dan energi
nasional. Dalam bidang energi kita bisa mengembangkan teknologi
alternatif yang ramah lingkungan seperti membangun pembangkit listrik
tenaga surya dan tenaga angin. Bahkan kalau perlu segera membangun
pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL) yang terintegrasi dengan
kluster-kluster perikanan di kepulauan Nusantara. Dan masih banyak lagi
jenis-jenis energi yang bisa kita kembangkan bila ada kemauan.
Sedangkan
di sektor pangan dengan membangun kluster-kluster pangan dengan sistem
pertanian modern yang terintegrasi. Kluster pangan merupakan kontra
skema mengatasi ketergantungan impor pangan, sekaligus juga dapat
dijadikan solusi jangka pendek untuk membuka lapangan kerja
besar-besaran secara nasional sebagai pendukung pasukan ZENI TNI dalam
melakukan operasi Perang Non Militer untuk mengembalikan kembali
kedaulatan pangan dan energi nasional.
POSTUR PERTAHANAN KEAMANAN TNI JANGKA PENDEK
Ditengah
situasi yang tidak menguntungkan ini, perlu dibangun suatu bentuk
kontra skema pertahanan keamanan konvensional jangka pendek yang
sederhana tapi memiliki daya tangkal yang tinggi terhadap serangan
Militer maupun Non Militer yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI. Sistem
pertahanan ini harus terintegrasi dengan sistem Komando Pertahanan
Nusantara dan Doktrin TNI yang bersifat defensif-preventif aktif.
Pertahanan
keamanan sederhana dengan daya tangkal tinggi itu adalah dengan
membangun pertahanan “statis” terpadu dengan basis Satelit, Radar, Sonar
dan Rudal di ZEE dengan teknologi canggih yang mandiri agar lebih
efektif dan efisien menjaga wilayah kedaulatan NKRI. Sehingga alutsista
yang ada dapat diberdayakan secara optimal. Dan untuk kebutuhan
perangkat lunak memang dituntut menggunakan produk sendiri guna lebih
menjaga keamanan dan kenyamanan tentunya. Sebetulnya sudah banyak
generasi muda bangsa Indonesia yang mampu membuat software untuk
keperluan militer – membuat sistem pertahanan dan keamanan Nusantara
yang handal.
Skema
pertahanan sederhana tersebut bisa berupa model “SISKAMLING LAUT” yang
merupakan zona pertahanan pertama NKRI. Dengan Sishankamrata yang
terintegrasi maka kita dapat menciptakan jaringan pertahanan yang
meliputi pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga. Berikut model siskamling laut yang dimaksud:
Sedangkan
sishankamrata plus di laut yang “dinamis” dapat dilakukan dengan model
daratan, yakni melibatkan semua elemen yang ada, termasuk para nelayan
misalnya:
Untuk
pertahanan keamanan teritorial kedaulatan NKRI konvensional adalah
dengan membagi kawasan Nusantara dalam distrik-distrik strategis – baik
menyangkut pangan, energi, industri, dan sebagainya guna untuk
penempatan zona komando matra TNI yang terintegrasi dengan sishankamrata
plus. Terutama di daerah-daerah medan pertempuran Non Militer.
PENUTUP
Sebagai
bahan renungan, diakhir tulisan ini penulis mencoba berimajinasi
membuat kontra skema komprehensif Perang Non Militer Jangka Pendek
dimasa Presiden Jokowi guna menghadapi gempuran koalisi imperialis
global yang mencoba menjarah kekayaan Ibu Pertiwi.
Penulis
membayangkan seandainya kita bisa membangun sebuah Kota Mandiri di
“Titik Nol Derajad” Kalimantan untuk mengembalikan kedaulatan pangan dan
energi sekaligus membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran dalam
skala nasional dengan melalui Undang-Undang “Darurat Perang” Non
Militer dan “Bela Negara” yang diperluas. Maka sebagai tulang punggung
operasi Perang Non Militer adalah Pasukan ZENI TNI yang didukung oleh
Relawan Bela Negara. Sedangkan alusista TNI yang digunakan harus
dimodifikasi khusus disesuaikan dengan kebutuhan medan tempur guna
membuka lahan pertanian dan perkebunan terpadu. Alutsista TNI yang
diturunkan diprioritaskan yang sudah tua tapi masih bisa dimodifikasi
dan diproduktifkan daripada teronggok menjadi besi tua. Bayangkan bila
ada ribuan Tank dan Panser yang telah dimodifikasi didukung rampur lain
masuk ke “Titik Nol Derajad” Khatulistiwa di Kalimantan. Pasti akan
mengejutkan banyak negara, terutama negara tetangga.
Nah,
sebagai pusat kendali operasi disiapkan pusat komando yang bernama
“Jakarta Dua.” Jakarta Dua adalah sebuah konsep kota mandiri yang
dijalankan dengan menerapkan manajemen “birokrat minimalis.” Jakarta Dua
sengaja dibangun di “Titik Nol Derajad” Khatulistiwa di Kalimantan
sebagai “adik” ibukota Jakarta. Kota Mandiri ini diharapkan dapat
menjadi sebuah solusi jangka pendek guna membuka lapangan kerja baru
secara besar-besaran dalam rangka menciptakan lumbung pangan dan energi
nasional. Membagi beban “Sang Kakak” yang sudah terlampau berat.
Jakarta
Dua dibangun terintegrasi dan terkoneksi langsung dengan kawasan
pemukiman, kawasan industri terpadu, bandara, Trans Kalimantan,
kota-kota perbatasan, kluster pangan, kluster papan, kilang minyak serta
pelabuhan. Jakarta Dua menjadi jantung kehidupan yang mensuplai
berbagai kebutuhan operasi Non Militer di Kalimantan, khususnya di
perbatasan – sekaligus sebagai Pusat Komando Pertahanan Nusantara II
yang meliputi kawasan Indonesia bagian Tengah.
Sebagai
jalur penghubung utama antar kawasan adalah jalan Tol Samarinda sampai
Entikong. Jalan Tol Trans Kalimantan merupakan proyek infrastruktur
multifungsi raksasa yang akan menjadi “ikon” Jakarta Dua. Jalan Tol
dibangun melintas diatas kluster-kluster pangan hingga menyusuri alur
jalur perbatasan. Teknologi pembuatan Tol Trans Kalimantan diharapkan
adalah hasil karya anak bangsa yang berasal dari berbagai perguruan
tinggi di tanah air .
Dan
sebagai pendukung operasi Perang Non Militer, Bandara Jakarta Dua
dibangun terintegrasi dengan Jalan Tol Trans Kalimantan. Bandara
dibangun dengan konsep minimalis dan terpadu. Bahkan Jalan Tol Trans
kalimantan bisa digunakan sebagai landasan pacu pesawat tempur, pesawat
angkut Hercules dan komersil sekelas Boeing 737. Demikian pula dengan
Bandara Entikong, terintegrasi dengan Jalan Tol Trans Kalimantan.
Bila
pembangunan kluster pangan dan kluster papan dan kluster industri sudah
berjalan, maka jumlah penerbangan Kalimantan – Jawa akan sangat padat.
Seandainya ada 1 juta orang yang berasal dari Pulau Jawa hilir mudik
setiap minggu ditambah 1 juta orang pulau Sulawesi juga hilir mudik.
Bisa-bisa pesawat terbang menjadi bus “Trans Jakarta” yang mengantar
orang hilir mudik setiap 10 menit. Bayangkan berapa besar jumlah
penerbangan Jawa – Kalimantan. Disinilah fungsi Jalan Tol Trans
Kalimantan yang multifungsi. Bahkan bila perlu bisa diintegrasikan
dengan Jalur Kereta Api Trans Kalimantan. Dream, dream, dream...
Jakarta, 14 Desember 2014
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16804&type=99#.VI623izv3U4
|
0 komentar:
Posting Komentar